Nama : Nur Hafidloh
NIM : 126673
PRODI : Bahasa dan sastra Indonesia 2012 A
MATKUL : Belajar dan Pembelajaran
BAB
I. PARADIGMA ALTERNATIF PEMBELAJARAN
A.
Pendahuluan
Banyak
pandangan yang memberikan arah baru terhadap proses dan dimensi-dimensi
pendidikan yang semakin mendorong terjadinya perubahan konsep dan cara pandang
terhadap eksistensi pemebelajaran sehingga dapat dijadikan sebagai perangkat
berpikir didalam memahami lebih dalam persoalan-persoalan pembelajaran. Dengan
mengkaji paradigma alternatif pembelajaran ini pula para pendidik atau calon
pendidik diharapkan dapat memandang sesuatu masalah, mengambil tindakan atau
keputusan yang terkait dengan praktik pembelajaran secara bijaksana sehingga
upaya pengembangan potensi peserta didik sebagai muara dari seluruh kegiatan
pembelajaran dapat menjadi lebih terarah dan pada akhirnya dapat
dioptimalisasikan sebagaimana yang
diharapkan. Jadi, pada bab ini akan dijelaskan mengenai perlunya paradigma baru
pendidikan, pembelajaran sebagai pilar utama pendidikan, pembelajaran sebagai
proses pemberdayaan, paradigma konstruktivisme sebagai pembelajaran.
B. Pembahasan
1.
Perlunya Paradigma Baru
Pendidikan
Menurut Tilaar (Paradigma Baru Pendidikan Nasional, 2004: 15) bahwa
pendidikan yang kompetitif dan inovatif sangat perlu diterapkan di dalam dunia
pendidikan, karena kehidupan global dalam dunia terbuka dengan perdagangan
bebas serta kerja sama regional memerlukan manusia-manusia yang berkualitas.
Manusia yang berkualitas adalah manusia yang bisa bersaing di dalam arti yang
baik.
Membentuk masyarakat baru yaitu masyarakat madani yang tentunya
memerlukan berbagai paradigma baru. Paradigma lama tidak memadai lagi. Suatu
masyarakat yang demokratis tentunya memerlukan berbagai kegiatan pendidikan
yang dapat menumbuhkan individu dan masyarakat yang demokratis. Masyarakat yang
tertutup, yang sentralistik, yang mematikan inisiatif berpikir manusia bukanlah
merupakan pendidikan yang kita inginkan. Pada dasarnya paradigma pendidikan
yang baru harus dapat mengembangkan tingkah laku yang menjawab tantangan
internal dan global.
Untuk membangun masyarakat yang terdidik, masyarakat yang cerdas, maka
perlu merubah paradigma dan sistem pendidikan. Formalitas dan legalitas tetap
menjadi sesuatu yang penting, akan tetapi perlu diingat bahwa substansi juga
bukan sesuatu yang bisa diabaikan hanya untuk mengejar tataran formal saja.
Jadi, yang perlu dilakukan sekarang adalah bukanlah mengahpus formalitas yang
ada dan telah berjalan, melainkan menata kembali sistem pendidikan yang ada
dengan paradigma baru yang lebih baik. Dengan paradigm baru, praktik
pembelajaran akan digeser menjadi pembelajaran yang lebih bertumpu pada teori
kognitif dan konstruktivistik pembelajaran akan berfokus pada pengembangan
kemampuan intelektual yang berlangsung secara sosial dan kultural, mendorong
siswa untuk membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri dalam konteks
sosial, dan belajar dimulai dari pengetahuan awal dan perspektif budaya. Tugas
belajar didesain menantang dan menarik untuk mencapai derajat berpikir tingkat
tinggi (Kamdi, 2008).
Abdorrakhman (Belajar dan Pembelajaran, 2008: 215) mengungkapkan
bahwasanya para guru telah lupa bahwa teori – teori modern belajar dan
pembelajaran terutama teori medan,
teori konstruktivisme dan teori humanisme mengingatkan bahwa siswa adalah
sesuatu yang aktif dan unik serta mampu memberdayakan dirinya sendiri jika
difasilitasi secara tepat. Jadi, pada paham ini lebih menyarankan penerapan
belajar dan pembelajaran yang berpusat pada siswa atau bisa disebut “student centered”.
2.
Pembelajaran Sebagai Pilar
Utama Pendidikan
Komisi Pendidikan telah mengemukakan bahwa pendidikan bertumpu pada empat
pilar, yaitu: (a) learning to know,
(b) learning to do, (c) learning to live together, learning to live
with other, dan (d) learning to be.
a. Learning to know adalah
usaha untuk memahami segala aspek pengetahuan baik sebagai alat maupun sebagai
tujuan. Sebagai alat, pengetahuan tersebut diharapkan akan memberikan kemampuan
setiap orang untuk memahami berbagai aspek lingkungan agar mereka dapat hidup
dengan harkat dan martabatnya dalam rangka mengembangkan keterampilan kerja dan
berkomunikasi dengan berbagai pihak yang diperlukan.
b. Learning to do, lebih ditekankan pada bagaimana
mengajarkan anak-anak untuk mempraktikkan segala sesuatu yang telah
dipelajarinya dan dapat mengadaptasikan pengetahuan-pengetahuan yang telah
diperolehnya tersebut dengan pekerjaan-pekerjaan di masa depan. Memperhatikan
secara cermat kemajuan-kemajuan serta perubahan-perubahan yang terjadi, maka
pendidikan tidak cukup hanya dipandang sebagai transmisi atau melaksanakan
tugas-tugas rutin, akan tetapi harus mengarah pada pemberian kemampuan untuk
berbuat menjangkau kebutuhan-kebutuhan dinamis masa mendatang.
c. Learning to live together,
learning to live with other, pada dasarnya adalah mengajarkan, melatih dan
membimbing peserta didik aar mereka dapat menciptakan hubungan melalui
komunikasi yang baik, menjauhi prasangka buruk terhadap orang lain serta
menjauhi dan menghindari terjadinya perselisihan dan konflik.
Dalam
proses pembelajaran, pengembangan kemampuan berkomunikasi yang baik dengan guru
dan sesame siswa yang dilandasi sikap saling menghargai harus perlu secara
terus menerus dikembangkan di dalam setiap waktu pembelajaran.
d. Learning to be, sebagaimana diungkapkan secara tegas
oleh komisi pendidikan, bahwa prinsip fundamental pendidikan hendaklah mampu
memberikan konstribusi untuk perkembangan seutuhnya setiap orang, jiwa dan
raga, kecerdasan, kepekaan, rasa etika, tanggung jawab pribadi dan nilai-nilai
spiritual. Kehawatiran terhadap terjadinya “dehumanisasi” sebagai akibat
terjadinya perubahan, merupakan salah satu pertimbangan mendasar untuk pentingnya
penekanan kembali belajar untuk menjadi diri sendiri ini. oleh sebab itu,
melalui kegiatan pembelajaran, setiap siswa harus terus didorong agar mampu
memberdayakan dirinya melalui latihan-latihan pemecahan masalah-masalahnya
sendiri, mengambil keputusan sendiri dan memikul tanggung jawab sendiri.
Keempat pilar pendidikan yang dipaparkan di atas, merupakan misi dan
tanggung jawab yang harus diemban oleh pendidikan. Melalui kegiatan belajar
mengetahui, belajar berbuat, belajar hidup bersama dan belajar menjadi
seseorang atau diri sendiri yang didasari dengan keinginan yang sungguh-sungguh
maka akan semakin luas wawasan seseorang tentang pengetahuan, tentang
nilai-nilai positif, tentang orang lain serta tentang berbagai dinamika
perubahan yang terjadi.
3.
Pembelajaran Sebagai Proses
Pemberdayaan
Pandangan yang menempatkan pembelajaran sebagai proses transfer informasi
atau transfer of knowledge dari guru kepada siswa semakin banyak mendapat
kritikan. Penempatan guru sebagai satu-satunya suber informasi menempatkan
siswa tidak sebagai individu yang mandiri atau dinamis, akan tetapi lebih
sebagai obyek yang pasif sehingga potensi-potensi keindividualannya tidak dapat
berkembang secara optimal. Ketidaktepatan pandangan ini juga semakin terasa
jika dikaji dari pesatnya perkembangan arus informasi dan media komunikasi yang
sangat memungkinkan siswa secara aktif mengakses berbagai informasi yang mereka
butuhkan. Dalam keadaan ini guru hendaknya dapat memberikan dorongan dan arahan
kepada siswa untuk mencari berbagai sumber yang dapat membantu peningkatan
pengetahuan dan pemahaman mereka tentang aspek-aspek yang dipelajari.
Dalam proses pembelajaran, pengenalan terhadap diri sendiri atau
kepribadian diri merupakan hal yang sangat penting dalam upaya-upaya pemberdayaan
diri (self empowering). Pengenalan
terhadap diri sendiri berarti pula kita mengenal kelebihan-kelebihan atau
kekuatan yang kita miliki untuk mencapai hasil belajar yang kita harapkan. Pada
sisi lain pula berarti kita mengenal kelemahan-kelemahan pada diri kita sendiri
sehingga kita dapat berupaya mencari cara-cara yang konstruktif untuk mengatasi
kelemahan-kelemahan tersebut. Jika kelemahan-kelemahan pribadi diri tidak kita
pahami dengan baik, maka akan membawa kita pada ketidakberhasilan.
Menurut kajian psikologi untuk dapat mencapai keberhasilan atu sukses
yang diharapkan oleh setiap individu, maka diperlukan upaya-upaya intensif dan
sistematik untuk pemberdayaan diri sendiri yaitu sebaiknya dimulai dengan
membangun “konsep diri positif”. Konsep ini mengandung arti bahwa individu
harus mampu meletakkan atau memposisikan dirinya sebagai diri yang berdaya,
tidak memandang diri pribadinya dari perspektif negatif. Konsep diri positif
diantaranya ditandai beberapa hal:
a. Pengetahuan yang luas
tentang diri sendiri
b. Memahami kelebihan dan
kelemahan diri
c. Memiliki keinginan yang kuat
untuk berubah
d. Mampu menghargai orang dan
mampu menerima orang lain apa adanya
e. Mampu secara terbuka
menerima kritikan orang lain
f. Memiliki sistem pertahanan
diri yang kuat
g. Memiliki kontrol internal
diri
Selain konsep diri positif juga terdapat konsep diri yang sebaliknya.
Jika seseorang mampu membentuk citra diri atau konsep diri positif maka secara
bertahap ia dapat mengembangkan diri menjadi unggul.
4.
Paradigma Konstruktivisme dalam
Pembelajaran
a. Memahami paradigm
konstruktivisme
Kajian paradigma konstruktivisme dalam pembahasan pembelajaran merupakan
suatu tuntutan baru di tengah terjadinya perubahan besar dalam memaknai proses
pendidikan dan pembelajaran. Pergeseran paradigm pembelajaran yang sebelumnya
menitikberatkan pada peran guru, fasilitator, instruktur yang demikian besar,
dalam perjalanannya semakin bergeser pada pemberdayaan peserta didik atau siswa
dalam mengambil inisiatif dan partisipasi di dalam kegiatan belajar. Dalam
kajian filsafat, berkembangnya konstruktivisme tidak terlepas dari perubahan
pandangan yang cukup lama yang menempatkan pengetahuan sebagai representasi
(ungkapan atau gambaran) kenyataan dunia yang terlepas dari pengamat
(objektivisme). Pandangan yang menganggap bahwa pengetahuan merupakan kumpulan
fakta.
Konstruktivisme merupakan respons terhadap berkembangnya harapan-harapan
baru berkaitan dengan proses pembelajaran yang menginginkan peran aktif siswa
dalam merekayasa dan memprakarsai kegiatan belajarnya sendiri. Hampir semua
kalangan yang terlibat di dalam mengkaji masalah-masalah pembelajaran
mengetahui bahwa konstruktivisme merupakan paradigma alternatif pembelajaran
yang muncul sebagai akibat revolusi ilmiah yang terjadi beberapa dasawarsa
belakangan ini. konstruktivisme merupakan suatu filsafat pengetahuan yang
menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri
(Von Glasersfeld dalam Battencourt, 1989 dan Matthews, 1994). Von Glasersfeld
mengemukakan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas).
Pengetahuan yang dimiliki seseorang terkaitan erat dengan
pengalaman-pengalamannya. Tanpa pengalaman seseorang tidak dapat membentuk
pengetahuan.
b. Implikasi konstruktivisme
dalam pembelajaran
Belajar merupakan suatu proses mengasimilasikan dan menghubungkan atau
mengaitkan bahan yang dipelajari dengan pengalaman-pengalaman yang dimiliki
seseorang sehingga pengetahuannya tentang obyek tertentu menjadi lebih kuat.
Oleh karena itu, terdapat beberapa prinsip yang berkaitan dengan pemahaman
tentang belajar:
1) Belajar berarti membentuk
makna, dalam hal ini makna merupakan hasil bentukan siswa sendiri yang
bersumber dari apa yang mereka lihat, rasakan dan alami.
2) Konstruksi merupakan suatu
proses yang berlangsung secara dinamis, yaitu konstruksi dalam arti terkait
dengan pengertian yang telah ia miliki. Setiap kali siswa berhadapan dengan
fenomena atau pengalaman-pengalaman baru, siswa melakukan rekonstruksi.
3) Secara substansial, belajar
bukanlah untuk menimbun fakta atau informasi, akan tetapi lebih kepada upaya
pengembangan pemikiran-pemikiran baru. Belajar bukan hasil perkembangan, tetapi
merukan perkembangan itu sendiri (Fosnot, 1996).
4) Proses belajar yang
sebenarnya terjadi ketika skema pemikiran seseorang dalam keraguan yang
mendorong pemikiran-pemikiran lebih lanjut.
5) Hail belajar dipengaruhi
oleh pengalaman siswa tentang lingkungannya.
6) Hasil belajar siswa
tergantung dari apa yang telah ia ketahui, baik mengenai pengertian, konsep,
dan lain sebagainya.
Konstruktivisme memandang bahwa kegiatan belajar merupakan kegiatan aktif
siswa dalam upaya menemukan pengetahuan, konsep, kesimpulan, dan bukan
merupakan kegiatan permesinan untuk
mengumpulkan fakta atau informasi. Dalam proses belajar siswa bertanggung jawab
atas hasil belajarnya sendiri.
Karena belajar merupakan suatu proses organik, di mana seseorang
menemukan sesuatu, bukan suatu proses mekanik sekedar mengumpulkan fakta atau
informasi, maka dalam pandangan konstruktivisme proses belajar seseorang mengalami
perubahan konsep. Pengetahuan yang dimiliki seseorang bukanlah sesuatu yang
sekali jadi, akan tetapi melalui suatu proses dinamis yang berlangsung
secaraterus menerus. Dalam perkembangan tersebut, ada yang mengalami perubahan
besar yang berkenaan dengan perubahan konsep lama melalui fasilitas yang ada,
dan ada pula yang mengembangkan atau memperluas konsep yang sudah ada melalui
penyesuaian atau pemaduan (Pannen, Mustafa dan Sekarwinahyu, 2005). Ketika
siswa aktif membangun pengetahuan mereka sendiri, maka guru membantu berperan
sebagai mediator untuk membangun pengetahuan mereka tersebut.
Karena siswa yang aktif berperan membangun pengetahuan dan pemahamannya
sendiri, maka setiap siswa harus mengetahui kekuatan dan kelemahan yang ia
miliki. Siswa hendakanya memahami karakteristik belajarnya, bagaimana cara yang
ia anggap sesuai untuk membangun pengetahuannya yang seringkali berbeda dengan
cara yang digunakan oleh individu-individu yang lain. Memahami kekuatan diri,
cara-cara dan model belajar yang sesuai untuk diri sendiri, dalam pandangan
konstruktivis menjadi bagian yang sangat penting dalam upaya mencapai hasil
belajar yang diharapkan.
Meskipun menurut pandangan konstruktivis upaya membangun pengetahuan
dilakukan oleh siswa melalui kegiatan belajar yang ia lakukan, namun peran guru
tetap menempati arti penting dalam proses pembelajaran. Dalam pandangan ini,
mengajar memang tidak hanya diartikan menyampaikan informasi, akan tetapi lebih
menitikberatkan perannya sebagai mediator dan fasilitator (Suparno, 1997).
Dalam kegiatan pembelajaran fungsi guru sebagai mediator dan fasilitator dapat
dijabarkan dalam beberapa wujud tugas sebagai berikut:
1) Menyediakan pengalaman
belajar yang memungkinkan murid bertanggung jawab dalam membuat rancangan,
proses dan penelitian.
2) Memberikan kegiatan yang
merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan
gagasan-gagasannya serta ide-ide ilimiahnya.
3) Menmonitor, mengevaluasi dan
menunjukkan apakah pemikiran-pemikiran siswa dapat didorong secara aktif.
C.
Simpulan
Paradigma baru pendidikan
haruslah dituangkan dan dijabarkan di dalam berbagai program pengembangan
pendidikan nasional secara bertahap dan berkelanjutan.
Terjadinya
perubahan-perubahan paradigma pendidikan yang menempatkan manusia sebagai sumber
daya yang utuh memberikan arah kebijakan bagi pembangunan pendidikan masa
mendatang. Jadi menurut kelompok kami empat
pilar yang sudah disebutkan dalam makalah sangatlah perlu untuk diterapkan.
Karena keempat pilar itu saling berhubungan. Jika salah satu dihilangkan maka
hasilnya tidak akan maksimal.
Untuk mendukung terwujudnya proses pembelajaran yang
dapat mendorong pengembangan potensi siswa secara komprehensip, maka guru harus
memiliki wawasan dan kerangka pikir yang bersifat menyeluruh tentang pembelajaran.
Pembelajaran harus merupakan bagian dari proses pemberdayaan diri siswa secara
utuh. Karena itu pembelajaran harus mampu mendorong tumbuhnya keaktifan dan
kreativitas optimal dari setiap siswa. Karena itu paradigma konstruktivisme
menjadi alternative yang perlu dikaji secaracermat agar prinsip-prinsip
dasarnya dapat diimplementasikan di dalam proses pembelajaran.
DAFTAR
PUSTAKA
Aunurrahman. Belajar dan Pembelajaran. 2011.
Alfabeta: Jakarta.
Gintings, Abdurrakhman. Belajar dan Pembelajaran. 2008.
Humaniora: Bandung.
Tilaar, H.A.R. Paradigma Baru Pendidikan Nasional.
2004. Jakarta:
Rineka Cipta.
BAB
II. HAKIKAT DAN CIRI-CIRI BELAJAR
A.
Pendahuluan
Pengertian belajar tidak terbatas penggunaannya
dalam kegiatan formal pendidikan di sekolah, akan tetapi juga dipergunakan
untuk menyatakan aktivitas keseharian yang berkenaan dengan upaya untuk
mendapatkan informasi, pengetahuan atau keterampilan baru yang belum diketahui
atau untuk memperluas dan memperkokoh pengetahuan tentang sesuatu yang telah
dimiliki sebelumnya. Dalam kegiatan-kegiatan di sekolah, tentu istilah ini
semakin tidak asing lagi karena setiap hari bahkan setiap jam dipergunakan
untuk menyatakan aktivitas belajar siswa.
Meskipun istilah belajar sudah tidak asing lagi,
namun dipandang perlu untuk mengkaji kembali secara lebih mendalam agar kita
dapat menemukan makna esensial belajar, sekaligus pula mengklarifikasi apakah
kegiatan-kegiatan yang selama ini kita sebut belajar, sudah sesuai dengan
hakikat belajar sesungguhnya, terutama jika mengacu pada paradigma pembelajaran
yang telah kita bahas pada bab sebelumnya. Oleh sebab itu, pada bab ini akan dijelaskan
mengenai hakikat belajar dan ciri-ciri belajar.
B.
Pembahasan
1.
Pengertian Belajar
Gagne berpendapat bahwa belajar merupakan kegiatan yang kompleks. Hasil
belajar berupa kapabilitas. Setelah belajar orang memiliki keterampilan,
pengetahuan, sikap dan nilai.
Belajar merupakan kegiatan penting setiap orang, termasuk di dalamnya
belajar bagaimana harusnya belajar. Menurut Dimyati dan Mudjiono (Belajar dan
Pembelajaran, 2009: 5) menyatakan bahwa belajar merupakan tindakan dan perilaku
siswa yang kompleks. Sebagai tindakan, maka belajar hanya dialami siswa
sendiri.
Muhibbin
Syah (2011:59) mengemukakan bahwa belajar mempunyai arti penting yang dibagi
menjadi dua, yaitu:
a. Arti penting belajar bagi perkembangan manusia
Perubahan
dan kemampuan untuk berubah merupakan batasan dan makna yang terkandung dalam
belajar. Disebabkan oleh kemampuan berubah karena belajarlah maka manusia dapat
berkembang lebih jauh daripada makhluk-makh;uk lainnya sehingga ia terbebas
dari kemandekan fungsinya sebagai Khalifah Tuhan di muka bumi ini. Boleh jadi
karena kemampuan berkembang melalui belajar itu pula manusia secara bebas dapat
mengeksplorasi, memilih dan menetapkan keputusan-keputusan penting untuk
kehidupannya.
b. Arti penting belajar bagi kehidupan manusia
Belajar
dapat diartikan memainkan peran penting dalam mempertahankan kehidupan
sekelompok manusia (bangsa) di tengah-tengah persaingan yang semakin ketat di
antara bangsa-bangsa lainnya yang lebih dahulu maju karena belajar.
Selanjutnya,
di dalam perspektif keagamaan pun (dalam hal ini Islam), belajar merupakan
kewajiban bagi setiap orang beriman agar memperoleh ilmu pengetahuan dalam
rangka meningkatkan derajat kehidupan mereka.
Selain
itu, ada beberapa terminology yang
terkait dengan belajar yang seringkali menimbulkan keraguan dalam penggunaannya
terutama di kalangan siswa atau mahasiswa, yakni terminology tentang mengajar,
pembelajaran dan belajar. Meskipun belajar, mengajar dan pembelajaran menunjuk
kepada aktivitas yang berbeda, namun keduanya bermuara pada tujuan yang sama. Belajar
mungkin saja terjadi tanpa pembelajaran, namun pengaruh aktivitas pembelajaran
dalam belajar hasilnya lebih sering menguntungkan dan biasanya lebih mudah
diamati. Mengajar diartikan sebagai suatu keadaan atau suatu aktivitas untuk
menciptakan suatu situasi yang mampu mendorong siswa untuk belajar. Situasi ini
tidak harus berupa transformasi pengetahuan dari guru kepada siswa saja, akan
tetapi dapat dengan cara lain misalnya belajar melalui media pembelajaran yang
sudah disiapkan. Dalam pembelajaran, situasi atau kondisi yang memungkinkan
terjadinya proses belajar harus dirancang dan dipertimbangkan terlebih dahulu
oleh guru.
Pembelajaran berupaya mengubah masukan berupa siswa yang belum terdidik,
menjadi siswa yang terdidik, siswa yang belum memiliki pengetahuan tentang
sesuatu, menjadi siswa yang memiliki pengetahuan. Demikian pula siswa yang memiliki sikap, kebiasaan atau tingkah laku yang belum mencerminkan
eksistensi dirinya sebagai pribadi baik atau positif, menjadi siswa yang
meiliki sikap, kebiasaan dan tingkah laku yang baik. Sebenarmya belajar dapat
terjadi tanpa pembelajaran, namun hasil belajar akan tampak jelas dari suatu
aktivitas pembelajaran. Pembelajaran yang efektif ditandai dengan terjadinya
proses belajar dalam diri siswa. Beberapa ciri umum kegiatan belajar sebagai
berikut:
a) Belajar menunjukkan suatu
aktivitas pada diri seseorang yang disadari atau yang disengaja.
b) Belajar merupakan interaksi
individu dengan lingkungannya.
c) Hasil belajar ditandai
dengan perubahan tingkah laku.
Beberapa tokoh psikologi
belajar memiliki persepsi dan penekanan tersendiri tentang hakikat belajar dan
proses ke arah perubahan sebagai hasil belajar. Berikut adalah beberapa
kelompok teori yang memberikan pandangan khusus tentang belajar, yaitu:
1) Behaviorisme
Para penganut teori ini meyakini
bahwa manusia sangat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di dalam lingkungannya
yang memberikan pengelaman-pengalaman tertentu. Teori ini menekankan pada apa
yang dilihat, yaitu tingkah laku, dan kurang memperhatikan apa yang terjadi di
dalam pikiran karena tidak dapat dilihat. Behaviorisme juga melihat bahwa
belajar adalah merupakan perubahan tingkah laku. Cirri yang paling mendasar
dari aliran ini adalah bahwa perubahan tingkah laku yang terjadi adalah
berdasarkan paradigma S-R (Stimulus Respons), yaitu suatu proses yang
memberikan response tertentu terhadap sesuatu yang datng dari luar.
Aliran
ini disebut dengan behaviorisme karena sangat menekankan kepada perlunya
perilaku (behavior) yang dapat diamati. Ada beberapa ciri dari teori ini,
yaitu: (a) mengutamakan unsur-unsur atau bagian-bagian kecil, (b) bersifat
mekanistis, (c) menekankan peranan lingkungan, (d) mementingkan pembentukan
respon, (e) menekankan pentingnya latihan. Pembelajaran behaviorisme bersifat
lebih menekankan kepada elemen-elemen pembelajaran.
Tokoh aliran behaviorisme adalah Thordike. Ia merupak orang pertama yang
menerangkan hubungan S-R ini. Berikut ini beberapa macam tori behaviorisme yang
terkenal, yaitu:
a. Classical Conditioning (Pavlov)
Teori
ini atas dasar reaksi sistem tak terkontrol di dalam diri seseorang dan reaksi
emosional yang dikontrol oleh sistem urat syaraf otonom serta gerak reflek
setelah menerima stimulus dari luar.
b. Operarnt Conditioning (Skiner)
Menurut
Skinner, setiap kali memperoleh stimulus maka seseorang akan memberikan respon
berdasarkan hubungan S-R. Respon yang diberikan ini sesuai “R” (benar) atau
tidak sesuai “F” (salah) seperti apa yang diharapkan. Respon yang benar perlu
diberikan penguatan agar siswa terdorong untuk melakukannya kembali. Oleh
karena itu, pemberian penguatan terhadap respon dapat dilakukan secara kontinu
dan dapat dilakukan secara selang-seling.
2) Kognitivisme
Menurut teori kognitivisme tingkah laku seseorang ditentukan oleh
persepsi atau pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan
tujuan-tujuannya. Oleh karena itu, belajar menurut teori ini diartikan sebagai
perubahan persepsi dan pemahaman, perubahan tersebut tidak selalu dapat dilihat
sebagaimana perubahan tingkah laku.
Sehubungan
dengan teori behaviorisme yang telah dikemukakan sebelumnya, banyak para ahli
dan pemikiran pendidikan yang kurang puas terhadap ungkapan para behavioris
bahwa belajar sekadar hubungan antara stimulus dengan respon. Menurut mereka
perilaku seseorang selalu didasarkan oleh kognitif, yaitu tindakan mengenal
atau memikirkan situasi di mana perilaku itu terjadi.
Kognitivisme memberikan pengaruh dalam pengembangan prinsip-prinsip
pembelajaran sebagai berikut:
a) Peserta didik akan lebih
mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun
berdasarkan pola dan logika tertentu.
b) Penyusunan materi pelajaran
harus dari sederhana ke kompleks.
c) Belajar dengan memahami
lebih baik daripada dengan hanya menghafal, apalagi tanpa pengertian dan
pemahaman.
d) Adanya perbedaan individual
pada peserta didik perlu diperhatikan, karena factor ini sangat mempengaruhi
proses belajar peserta didik.
3) Teori Belajar Psikologi
Sosial
Pandangan psikologi sosial secara mendasar mengungkapkan bahwa belajar
pada hakikatnya merupakan suatu proses alami. Semua orang mempunyai keinginan
untuk belajar tanpa dapat dibendung oleh orang lain. Hal ini pada dasarnya
disebabkan karena setiap orang memiliki rasa ingin tahu, ingin menyerap
informasi, ingin mengambil keputusan serta ingin memecahkan masalah.
Setiap orang mempunyai kebutuhan-kebutuhan dan tujuan yang menjadi
motivator penting untuk belajarnya. Belajar akan lebih lancer bilamana yang
dipelajari sesuai dengan kebutuhan dan pribadi orang yang belajar, serta ia
diberi kesempatan untuk bertanggung jawab atas belajarnya sendiri.
Menurut teori belajar psikologi sosial proses belajar jarang sekali
merupakan proses yang terjadi dalam keadaan menyendiri, akan tetapi melalui
interaksi-interaksi. Yaitu meliputi; (1) searah (one directional), yaitu
bilamana adanya dorongan dari luar menyebabkan timbulnya respon, (2) dua arah,
yaitu apabila tingkah laku yang terjadi merupakan hasil interaksi antara individu
yang belajar, atau sebaliknya.
Di dalam proses pembelajaran tampak nyata bahwa suasana kelompok belajar,
adanya persaingan dan kerjasama, kebebasan atau ketidakbebasan, nilai-nilai
yang dianut kelompok akan memberikan
pengaruh yang besar terhadap keberhasilan orang yang belajar. Proses belajar
yang mengikutsertakan emosi dan perasaan peserta didik ternyata mampu
memberikan hasil lebih baik dibandingkan dengan hanya memanipulasi dorongan
dari luar.
4) Teori Belajar Gagne
Teori yang disusun oleh Gagne merupakan perpaduan yang seimbang antara
teori behaviorisme dan kognitivisme yang bertumpu pada pengolahan informasi.
Menurut Gagne cara berpikir seseorang tergantung pada; (a) keterampilan apa
yang telah dimilikinya, (b) keterampilan serta hirarki apa yang diperlukan
untuk mempelajari suatu tugas.
Gagne
menyimpulkan ada lima macam hasil belajar dari teori yang dikemukakannya,
yaitu:
1.
Keterampilan intelektual, yaitu
pegetahuan prosedural yang mencakup belajar konsep, prinsip dan pemecahan
masalah yang diperoleh dari penyampaian materi di sekolah.
2.
Strategi kognitif, yaitu
kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah baru dengan jalan mengatur proses
dari dalam masing-masing individu dalam memperhatikan, belajar, mengingat, dan
berfikir.
3.
Informasi verbal, yaitu kemampuan
untuk mendeskripsikan sesuatu dengan kata-kata dengan jalan mengatur
informasi-informasi yang yang saling berkaitan.
4.
Keterampilan motorik, yaitu
kemampuan untuk melaksanakan dan mengkoordinasikan gerakan-gerakan yang
berhubungan dengan otot.
5.
Sikap, yaitu suatu kemampuan
dari dalam yang mempengaruhi tingkah laku seseorang yang didasari oleh emosi,
kepercayaan-kepercayaan serta faktor itelektual.
Jadi, pembelajaran yang efektif
ditandai dengan terjadinya proses belajar dalam diri siswa. Oleh sebab itu,
melalui proses pembelajaran, guru harus berupaya secara optimal menciptakan
kondisi yang memungkinkan siswa terdorong untuk berperan aktif sebagai wujud
nyata terjadinya proses belajar yang sesuai dengan kenyataan yang ada saat ini
dengan menghubungkan antara teori dan kenyataan yang ada.
2.
Ciri-ciri dan Tujuan Belajar
Belajar merupakan merupakan
proses internal yang kompleks. Internal ini dalam artian seluruh mental, yang
meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Dari segi guru proses
belajar tersebut dapat diamati secara
tidak langsung. Artinya proses belajar yang merupakan proses internal siswa
tidak dapat diamati, akan tetapi dapat dipahami oleh guru.
Siswa yang belajar berarti
menggunakan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Berikut penjelasan
dari masing-masing ranah, yaitu:
a) Ranah Kognitif (Bloom, dkk),
terdiri dari enam jenis perilaku, yaitu:
1) Pengetahuan
2) Pemahaman
3) Penerapan
4) Analisis
5) Sintesis
6) Evaluasi
b) Ranah Afektif (Krathowohl
& Bloom, dkk), terdiri dari tujuh jenis perilaku, yaitu:
1) Penerimaan
2) Partisipasi
3) Penilaian dan penentuan
sikap
4) Organisasi
5) Pembentukan pola hidup
c) Ranah Psikomotor (Simpson),
terdiri dari tujuh perilaku, yaitu:
1) Persepsi
2) Kesiapan
3) Gerakan terbimbing
4) Gerakan terbiasa
5) Gerakan kompleks
6) Penyesuaian pola gerakan
7) Kreativitas
3. Tujuan Belajar dan
Pembelajaran
Belajar merupakan peristiwa sehari-hari di sekolah. Belajar merupakan hal
yang kompleks. Kompleksitas belajar tersebut dapat dipandang dari dua subjek,
yaitu dari siswa dan dari guru. Dari segi siswa, belajar dialami sebagai suatu
proses. Siswa mengalami proses mental dalam menghadapi bahan belajar. Dari segi
guru, proses belajar tersebut tampak sebagai perilaku belajar tentang sesuatu
hal.
Siswa belajar didorong oleh rasa keingintahuan atau kebutuhannya.
Belajar
merupakan proses internal yang kompleks. Yang terlibat dalam proses internal
tersebut adalah seluruh mental yang meliputi ranah-ranah kognitif, afektif dan
psikomotorik. Proses belajar yang mengaktualisasikan ranah-ranah tersebut
tertuju pada bahan belajar tertentu yang telah kita bahas pada ciri-ciri
belajar sebelumnya.
Tujuan belajar sangat penting, baik bagi guru maupun siswa. Dalam desain
instruksional guru merumuskan tujuan khusus atau sasaran belajar siswa. Rumusan
tersebut disesuaikan dengan perilaku yang hendaknya dapat dilakukan siswa. Dengan belajar, maka kemampuan siswa
meningkat. Meningkatnya kemampuan siswa untuk mencapai tujuan belajar yang
baru. Bila semua siswa menerima ssaran belajar dari guru, maka makin lama siswa
membuat tujuan belajar sendiri. Dengan demikian, makin lama siswa akan dapat
membuat program belajarnya sendiri.
C.
Simpulan
Pengertian belajar dan
perspektif mengenai belajar dapat kita jumpai di berbagai literatur atau
sumber, baik itu sama maupun berbeda pandangan. Meskipun terdapat perbedaan
pandangan, namun prinsipnya mengarah pada esensi yang sama, bahwa belajar
menunjukkan pada suatu aktivitas menuju suatu perubahan tingkah laku padadiri
individu melalui proses interaksi dengan lingkungannya. Pembelajaran yang
efektif ditandai dengan terjadinya proses belajar dalam diri siswa. Oleh sebab
itu melalui proses pembelajaran, guru harus berupaya secara optimal menciptakan
kondisi yang memungkinkan siswa terdorong untuk berperan aktif sebagai wujud
nyata terjadinya proses belajar.
Ada beberapa aliran atau teori belajar yang sangat
berpengaruh terhadap berkembangnya pandangan dan konsep tentang belajar,
diantaranya; Behaviorisme, Kognitivisme, Teori belajar Psikologi Sosial, dan
Teori belajar Gagne. Keempat teori ini memberikan penekanan aktivitas dan hasil
belajar pada dimensi-dimensi tingkah laku tertentu, sehingga memberikan
pemahaman yang lebih luas.
Untuk memahami secara
spesifik tentang perubahan tingkah laku sebagai akibat terjadinya proses
belajar ini, beberapa ahli memilah perilaku individu dalam tiga ranah atau
kawasan, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dan ketiga ranah
tersebut saling memiliki keterkaitan.
Belajar merupakan peristiwa
sehari-hari di sekolah. Belajar merupakan hal yang kompleks. Tujuan belajar sangat penting, baik bagi guru
maupun siswa. Dengan belajar, maka kemampuan siswa meningkat. Meningkatnya
kemampuan siswa untuk mencapai tujuan belajar yang baru.
DAFTAR
PUSTAKA
Aunurrahman. Belajar dan Pembelajaran. 2011.
Alfabeta: Jakarta.
Dimyati dan Mudjiono. Belajar dan Pembelajaran. 2009. Jakarta: Rineka Cipta.
Syah, Muhibbin. 2011. Psikologi Belajar.
Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Suyono dan Hariyanto. 2011. Belajar dan
Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarta.