Senin, 10 Februari 2014

Materi Belajar dan Pembelajaran



Nama              : Nur Hafidloh
NIM                : 126673
PRODI           : Bahasa dan sastra Indonesia 2012 A
MATKUL      : Belajar dan Pembelajaran

BAB I. PARADIGMA ALTERNATIF PEMBELAJARAN
A.    Pendahuluan
Banyak pandangan yang memberikan arah baru terhadap proses dan dimensi-dimensi pendidikan yang semakin mendorong terjadinya perubahan konsep dan cara pandang terhadap eksistensi pemebelajaran sehingga dapat dijadikan sebagai perangkat berpikir didalam memahami lebih dalam persoalan-persoalan pembelajaran. Dengan mengkaji paradigma alternatif pembelajaran ini pula para pendidik atau calon pendidik diharapkan dapat memandang sesuatu masalah, mengambil tindakan atau keputusan yang terkait dengan praktik pembelajaran secara bijaksana sehingga upaya pengembangan potensi peserta didik sebagai muara dari seluruh kegiatan pembelajaran dapat menjadi lebih terarah dan pada akhirnya dapat dioptimalisasikan  sebagaimana yang diharapkan. Jadi, pada bab ini akan dijelaskan mengenai perlunya paradigma baru pendidikan, pembelajaran sebagai pilar utama pendidikan, pembelajaran sebagai proses pemberdayaan, paradigma konstruktivisme sebagai pembelajaran.
B.     Pembahasan
1.      Perlunya Paradigma Baru Pendidikan
Menurut Tilaar (Paradigma Baru Pendidikan Nasional, 2004: 15) bahwa pendidikan yang kompetitif dan inovatif sangat perlu diterapkan di dalam dunia pendidikan, karena kehidupan global dalam dunia terbuka dengan perdagangan bebas serta kerja sama regional memerlukan manusia-manusia yang berkualitas. Manusia yang berkualitas adalah manusia yang bisa bersaing di dalam arti yang baik.
Membentuk masyarakat baru yaitu masyarakat madani yang tentunya memerlukan berbagai paradigma baru. Paradigma lama tidak memadai lagi. Suatu masyarakat yang demokratis tentunya memerlukan berbagai kegiatan pendidikan yang dapat menumbuhkan individu dan masyarakat yang demokratis. Masyarakat yang tertutup, yang sentralistik, yang mematikan inisiatif berpikir manusia bukanlah merupakan pendidikan yang kita inginkan. Pada dasarnya paradigma pendidikan yang baru harus dapat mengembangkan tingkah laku yang menjawab tantangan internal dan global.
Untuk membangun masyarakat yang terdidik, masyarakat yang cerdas, maka perlu merubah paradigma dan sistem pendidikan. Formalitas dan legalitas tetap menjadi sesuatu yang penting, akan tetapi perlu diingat bahwa substansi juga bukan sesuatu yang bisa diabaikan hanya untuk mengejar tataran formal saja. Jadi, yang perlu dilakukan sekarang adalah bukanlah mengahpus formalitas yang ada dan telah berjalan, melainkan menata kembali sistem pendidikan yang ada dengan paradigma baru yang lebih baik. Dengan paradigm baru, praktik pembelajaran akan digeser menjadi pembelajaran yang lebih bertumpu pada teori kognitif dan konstruktivistik pembelajaran akan berfokus pada pengembangan kemampuan intelektual yang berlangsung secara sosial dan kultural, mendorong siswa untuk membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri dalam konteks sosial, dan belajar dimulai dari pengetahuan awal dan perspektif budaya. Tugas belajar didesain menantang dan menarik untuk mencapai derajat berpikir tingkat tinggi (Kamdi, 2008).
Abdorrakhman (Belajar dan Pembelajaran, 2008: 215) mengungkapkan bahwasanya para guru telah lupa bahwa teori – teori modern belajar dan pembelajaran terutama teori medan, teori konstruktivisme dan teori humanisme mengingatkan bahwa siswa adalah sesuatu yang aktif dan unik serta mampu memberdayakan dirinya sendiri jika difasilitasi secara tepat. Jadi, pada paham ini lebih menyarankan penerapan belajar dan pembelajaran yang berpusat pada siswa atau bisa disebut “student centered”.
2.      Pembelajaran Sebagai Pilar Utama Pendidikan
Komisi Pendidikan telah mengemukakan bahwa pendidikan bertumpu pada empat pilar, yaitu: (a) learning to know, (b) learning to do, (c) learning to live together, learning to live with other, dan (d) learning to be.
a.       Learning to know adalah usaha untuk memahami segala aspek pengetahuan baik sebagai alat maupun sebagai tujuan. Sebagai alat, pengetahuan tersebut diharapkan akan memberikan kemampuan setiap orang untuk memahami berbagai aspek lingkungan agar mereka dapat hidup dengan harkat dan martabatnya dalam rangka mengembangkan keterampilan kerja dan berkomunikasi dengan berbagai pihak yang diperlukan.
b.      Learning to do, lebih ditekankan pada bagaimana mengajarkan anak-anak untuk mempraktikkan segala sesuatu yang telah dipelajarinya dan dapat mengadaptasikan pengetahuan-pengetahuan yang telah diperolehnya tersebut dengan pekerjaan-pekerjaan di masa depan. Memperhatikan secara cermat kemajuan-kemajuan serta perubahan-perubahan yang terjadi, maka pendidikan tidak cukup hanya dipandang sebagai transmisi atau melaksanakan tugas-tugas rutin, akan tetapi harus mengarah pada pemberian kemampuan untuk berbuat menjangkau kebutuhan-kebutuhan dinamis masa mendatang.
c.       Learning to live together, learning to live with other, pada dasarnya adalah mengajarkan, melatih dan membimbing peserta didik aar mereka dapat menciptakan hubungan melalui komunikasi yang baik, menjauhi prasangka buruk terhadap orang lain serta menjauhi dan menghindari terjadinya perselisihan dan konflik.
Dalam proses pembelajaran, pengembangan kemampuan berkomunikasi yang baik dengan guru dan sesame siswa yang dilandasi sikap saling menghargai harus perlu secara terus menerus dikembangkan di dalam setiap waktu pembelajaran.
d.      Learning to be, sebagaimana diungkapkan secara tegas oleh komisi pendidikan, bahwa prinsip fundamental pendidikan hendaklah mampu memberikan konstribusi untuk perkembangan seutuhnya setiap orang, jiwa dan raga, kecerdasan, kepekaan, rasa etika, tanggung jawab pribadi dan nilai-nilai spiritual. Kehawatiran terhadap terjadinya “dehumanisasi” sebagai akibat terjadinya perubahan, merupakan salah satu pertimbangan mendasar untuk pentingnya penekanan kembali belajar untuk menjadi diri sendiri ini. oleh sebab itu, melalui kegiatan pembelajaran, setiap siswa harus terus didorong agar mampu memberdayakan dirinya melalui latihan-latihan pemecahan masalah-masalahnya sendiri, mengambil keputusan sendiri dan memikul tanggung jawab sendiri.
Keempat pilar pendidikan yang dipaparkan di atas, merupakan misi dan tanggung jawab yang harus diemban oleh pendidikan. Melalui kegiatan belajar mengetahui, belajar berbuat, belajar hidup bersama dan belajar menjadi seseorang atau diri sendiri yang didasari dengan keinginan yang sungguh-sungguh maka akan semakin luas wawasan seseorang tentang pengetahuan, tentang nilai-nilai positif, tentang orang lain serta tentang berbagai dinamika perubahan yang terjadi.
3.      Pembelajaran Sebagai Proses Pemberdayaan
Pandangan yang menempatkan pembelajaran sebagai proses transfer informasi atau transfer of knowledge dari guru kepada siswa semakin banyak mendapat kritikan. Penempatan guru sebagai satu-satunya suber informasi menempatkan siswa tidak sebagai individu yang mandiri atau dinamis, akan tetapi lebih sebagai obyek yang pasif sehingga potensi-potensi keindividualannya tidak dapat berkembang secara optimal. Ketidaktepatan pandangan ini juga semakin terasa jika dikaji dari pesatnya perkembangan arus informasi dan media komunikasi yang sangat memungkinkan siswa secara aktif mengakses berbagai informasi yang mereka butuhkan. Dalam keadaan ini guru hendaknya dapat memberikan dorongan dan arahan kepada siswa untuk mencari berbagai sumber yang dapat membantu peningkatan pengetahuan dan pemahaman mereka tentang aspek-aspek yang dipelajari.
Dalam proses pembelajaran, pengenalan terhadap diri sendiri atau kepribadian diri merupakan hal yang sangat penting dalam upaya-upaya pemberdayaan diri (self empowering). Pengenalan terhadap diri sendiri berarti pula kita mengenal kelebihan-kelebihan atau kekuatan yang kita miliki untuk mencapai hasil belajar yang kita harapkan. Pada sisi lain pula berarti kita mengenal kelemahan-kelemahan pada diri kita sendiri sehingga kita dapat berupaya mencari cara-cara yang konstruktif untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut. Jika kelemahan-kelemahan pribadi diri tidak kita pahami dengan baik, maka akan membawa kita pada ketidakberhasilan.
Menurut kajian psikologi untuk dapat mencapai keberhasilan atu sukses yang diharapkan oleh setiap individu, maka diperlukan upaya-upaya intensif dan sistematik untuk pemberdayaan diri sendiri yaitu sebaiknya dimulai dengan membangun “konsep diri positif”. Konsep ini mengandung arti bahwa individu harus mampu meletakkan atau memposisikan dirinya sebagai diri yang berdaya, tidak memandang diri pribadinya dari perspektif negatif. Konsep diri positif diantaranya ditandai beberapa hal:
a.       Pengetahuan yang luas tentang diri sendiri
b.      Memahami kelebihan dan kelemahan diri
c.       Memiliki keinginan yang kuat untuk berubah
d.      Mampu menghargai orang dan mampu menerima orang lain apa adanya
e.       Mampu secara terbuka menerima kritikan orang lain
f.       Memiliki sistem pertahanan diri yang kuat
g.      Memiliki kontrol internal diri
Selain konsep diri positif juga terdapat konsep diri yang sebaliknya. Jika seseorang mampu membentuk citra diri atau konsep diri positif maka secara bertahap ia dapat mengembangkan diri menjadi unggul.

4.      Paradigma Konstruktivisme dalam Pembelajaran
a.       Memahami paradigm konstruktivisme
Kajian paradigma konstruktivisme dalam pembahasan pembelajaran merupakan suatu tuntutan baru di tengah terjadinya perubahan besar dalam memaknai proses pendidikan dan pembelajaran. Pergeseran paradigm pembelajaran yang sebelumnya menitikberatkan pada peran guru, fasilitator, instruktur yang demikian besar, dalam perjalanannya semakin bergeser pada pemberdayaan peserta didik atau siswa dalam mengambil inisiatif dan partisipasi di dalam kegiatan belajar. Dalam kajian filsafat, berkembangnya konstruktivisme tidak terlepas dari perubahan pandangan yang cukup lama yang menempatkan pengetahuan sebagai representasi (ungkapan atau gambaran) kenyataan dunia yang terlepas dari pengamat (objektivisme). Pandangan yang menganggap bahwa pengetahuan merupakan kumpulan fakta.
Konstruktivisme merupakan respons terhadap berkembangnya harapan-harapan baru berkaitan dengan proses pembelajaran yang menginginkan peran aktif siswa dalam merekayasa dan memprakarsai kegiatan belajarnya sendiri. Hampir semua kalangan yang terlibat di dalam mengkaji masalah-masalah pembelajaran mengetahui bahwa konstruktivisme merupakan paradigma alternatif pembelajaran yang muncul sebagai akibat revolusi ilmiah yang terjadi beberapa dasawarsa belakangan ini. konstruktivisme merupakan suatu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (Von Glasersfeld dalam Battencourt, 1989 dan Matthews, 1994). Von Glasersfeld mengemukakan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan yang dimiliki seseorang terkaitan erat dengan pengalaman-pengalamannya. Tanpa pengalaman seseorang tidak dapat membentuk pengetahuan.
b.      Implikasi konstruktivisme dalam pembelajaran
Belajar merupakan suatu proses mengasimilasikan dan menghubungkan atau mengaitkan bahan yang dipelajari dengan pengalaman-pengalaman yang dimiliki seseorang sehingga pengetahuannya tentang obyek tertentu menjadi lebih kuat. Oleh karena itu, terdapat beberapa prinsip yang berkaitan dengan pemahaman tentang belajar:
1)      Belajar berarti membentuk makna, dalam hal ini makna merupakan hasil bentukan siswa sendiri yang bersumber dari apa yang mereka lihat, rasakan dan alami.
2)      Konstruksi merupakan suatu proses yang berlangsung secara dinamis, yaitu konstruksi dalam arti terkait dengan pengertian yang telah ia miliki. Setiap kali siswa berhadapan dengan fenomena atau pengalaman-pengalaman baru, siswa melakukan rekonstruksi.
3)      Secara substansial, belajar bukanlah untuk menimbun fakta atau informasi, akan tetapi lebih kepada upaya pengembangan pemikiran-pemikiran baru. Belajar bukan hasil perkembangan, tetapi merukan perkembangan itu sendiri (Fosnot, 1996).
4)      Proses belajar yang sebenarnya terjadi ketika skema pemikiran seseorang dalam keraguan yang mendorong pemikiran-pemikiran lebih lanjut.
5)      Hail belajar dipengaruhi oleh pengalaman siswa tentang lingkungannya.
6)      Hasil belajar siswa tergantung dari apa yang telah ia ketahui, baik mengenai pengertian, konsep, dan lain sebagainya.
Konstruktivisme memandang bahwa kegiatan belajar merupakan kegiatan aktif siswa dalam upaya menemukan pengetahuan, konsep, kesimpulan, dan bukan merupakan  kegiatan permesinan untuk mengumpulkan fakta atau informasi. Dalam proses belajar siswa bertanggung jawab atas hasil belajarnya sendiri.
Karena belajar merupakan suatu proses organik, di mana seseorang menemukan sesuatu, bukan suatu proses mekanik sekedar mengumpulkan fakta atau informasi, maka dalam pandangan konstruktivisme proses belajar seseorang mengalami perubahan konsep. Pengetahuan yang dimiliki seseorang bukanlah sesuatu yang sekali jadi, akan tetapi melalui suatu proses dinamis yang berlangsung secaraterus menerus. Dalam perkembangan tersebut, ada yang mengalami perubahan besar yang berkenaan dengan perubahan konsep lama melalui fasilitas yang ada, dan ada pula yang mengembangkan atau memperluas konsep yang sudah ada melalui penyesuaian atau pemaduan (Pannen, Mustafa dan Sekarwinahyu, 2005). Ketika siswa aktif membangun pengetahuan mereka sendiri, maka guru membantu berperan sebagai mediator untuk membangun pengetahuan mereka tersebut.
Karena siswa yang aktif berperan membangun pengetahuan dan pemahamannya sendiri, maka setiap siswa harus mengetahui kekuatan dan kelemahan yang ia miliki. Siswa hendakanya memahami karakteristik belajarnya, bagaimana cara yang ia anggap sesuai untuk membangun pengetahuannya yang seringkali berbeda dengan cara yang digunakan oleh individu-individu yang lain. Memahami kekuatan diri, cara-cara dan model belajar yang sesuai untuk diri sendiri, dalam pandangan konstruktivis menjadi bagian yang sangat penting dalam upaya mencapai hasil belajar yang diharapkan.
Meskipun menurut pandangan konstruktivis upaya membangun pengetahuan dilakukan oleh siswa melalui kegiatan belajar yang ia lakukan, namun peran guru tetap menempati arti penting dalam proses pembelajaran. Dalam pandangan ini, mengajar memang tidak hanya diartikan menyampaikan informasi, akan tetapi lebih menitikberatkan perannya sebagai mediator dan fasilitator (Suparno, 1997). Dalam kegiatan pembelajaran fungsi guru sebagai mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa wujud tugas sebagai berikut:
1)      Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan murid bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses dan penelitian.
2)      Memberikan kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya serta ide-ide ilimiahnya.
3)      Menmonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran-pemikiran siswa dapat didorong secara aktif.

C.    Simpulan
Paradigma baru pendidikan haruslah dituangkan dan dijabarkan di dalam berbagai program pengembangan pendidikan nasional secara bertahap dan berkelanjutan.
Terjadinya perubahan-perubahan paradigma pendidikan yang menempatkan manusia sebagai sumber daya yang utuh memberikan arah kebijakan bagi pembangunan pendidikan masa mendatang. Jadi menurut kelompok kami empat pilar yang sudah disebutkan dalam makalah sangatlah perlu untuk diterapkan. Karena keempat pilar itu saling berhubungan. Jika salah satu dihilangkan maka hasilnya tidak akan maksimal.
Untuk mendukung terwujudnya proses pembelajaran yang dapat mendorong pengembangan potensi siswa secara komprehensip, maka guru harus memiliki wawasan dan kerangka pikir yang bersifat menyeluruh tentang pembelajaran. Pembelajaran harus merupakan bagian dari proses pemberdayaan diri siswa secara utuh. Karena itu pembelajaran harus mampu mendorong tumbuhnya keaktifan dan kreativitas optimal dari setiap siswa. Karena itu paradigma konstruktivisme menjadi alternative yang perlu dikaji secaracermat agar prinsip-prinsip dasarnya dapat diimplementasikan di dalam proses pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA
Aunurrahman. Belajar dan Pembelajaran. 2011. Alfabeta: Jakarta.
Gintings, Abdurrakhman. Belajar dan Pembelajaran. 2008. Humaniora: Bandung.
Tilaar, H.A.R. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. 2004. Jakarta: Rineka Cipta.

BAB II. HAKIKAT DAN CIRI-CIRI BELAJAR
A.    Pendahuluan
Pengertian belajar tidak terbatas penggunaannya dalam kegiatan formal pendidikan di sekolah, akan tetapi juga dipergunakan untuk menyatakan aktivitas keseharian yang berkenaan dengan upaya untuk mendapatkan informasi, pengetahuan atau keterampilan baru yang belum diketahui atau untuk memperluas dan memperkokoh pengetahuan tentang sesuatu yang telah dimiliki sebelumnya. Dalam kegiatan-kegiatan di sekolah, tentu istilah ini semakin tidak asing lagi karena setiap hari bahkan setiap jam dipergunakan untuk menyatakan aktivitas belajar siswa.
Meskipun istilah belajar sudah tidak asing lagi, namun dipandang perlu untuk mengkaji kembali secara lebih mendalam agar kita dapat menemukan makna esensial belajar, sekaligus pula mengklarifikasi apakah kegiatan-kegiatan yang selama ini kita sebut belajar, sudah sesuai dengan hakikat belajar sesungguhnya, terutama jika mengacu pada paradigma pembelajaran yang telah kita bahas pada bab sebelumnya. Oleh sebab itu, pada bab ini akan dijelaskan mengenai hakikat belajar dan ciri-ciri belajar.
B.     Pembahasan
1.      Pengertian Belajar
Gagne berpendapat bahwa belajar merupakan kegiatan yang kompleks. Hasil belajar berupa kapabilitas. Setelah belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai.
Belajar merupakan kegiatan penting setiap orang, termasuk di dalamnya belajar bagaimana harusnya belajar. Menurut Dimyati dan Mudjiono (Belajar dan Pembelajaran, 2009: 5) menyatakan bahwa belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Sebagai tindakan, maka belajar hanya dialami siswa sendiri.
Muhibbin Syah (2011:59) mengemukakan bahwa belajar mempunyai arti penting yang dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Arti penting belajar bagi perkembangan manusia
Perubahan dan kemampuan untuk berubah merupakan batasan dan makna yang terkandung dalam belajar. Disebabkan oleh kemampuan berubah karena belajarlah maka manusia dapat berkembang lebih jauh daripada makhluk-makh;uk lainnya sehingga ia terbebas dari kemandekan fungsinya sebagai Khalifah Tuhan di muka bumi ini. Boleh jadi karena kemampuan berkembang melalui belajar itu pula manusia secara bebas dapat mengeksplorasi, memilih dan menetapkan keputusan-keputusan penting untuk kehidupannya.
b.      Arti penting belajar bagi kehidupan manusia
Belajar dapat diartikan memainkan peran penting dalam mempertahankan kehidupan sekelompok manusia (bangsa) di tengah-tengah persaingan yang semakin ketat di antara bangsa-bangsa lainnya yang lebih dahulu maju karena belajar.
Selanjutnya, di dalam perspektif keagamaan pun (dalam hal ini Islam), belajar merupakan kewajiban bagi setiap orang beriman agar memperoleh ilmu pengetahuan dalam rangka meningkatkan derajat kehidupan mereka.

Selain itu, ada beberapa terminology yang terkait dengan belajar yang seringkali menimbulkan keraguan dalam penggunaannya terutama di kalangan siswa atau mahasiswa, yakni terminology tentang mengajar, pembelajaran dan belajar. Meskipun belajar, mengajar dan pembelajaran menunjuk kepada aktivitas yang berbeda, namun keduanya bermuara pada tujuan yang sama. Belajar mungkin saja terjadi tanpa pembelajaran, namun pengaruh aktivitas pembelajaran dalam belajar hasilnya lebih sering menguntungkan dan biasanya lebih mudah diamati. Mengajar diartikan sebagai suatu keadaan atau suatu aktivitas untuk menciptakan suatu situasi yang mampu mendorong siswa untuk belajar. Situasi ini tidak harus berupa transformasi pengetahuan dari guru kepada siswa saja, akan tetapi dapat dengan cara lain misalnya belajar melalui media pembelajaran yang sudah disiapkan. Dalam pembelajaran, situasi atau kondisi yang memungkinkan terjadinya proses belajar harus dirancang dan dipertimbangkan terlebih dahulu oleh guru.
Pembelajaran berupaya mengubah masukan berupa siswa yang belum terdidik, menjadi siswa yang terdidik, siswa yang belum memiliki pengetahuan tentang sesuatu, menjadi siswa yang memiliki pengetahuan. Demikian pula siswa yang memiliki sikap, kebiasaan atau tingkah laku yang belum mencerminkan eksistensi dirinya sebagai pribadi baik atau positif, menjadi siswa yang meiliki sikap, kebiasaan dan tingkah laku yang baik. Sebenarmya belajar dapat terjadi tanpa pembelajaran, namun hasil belajar akan tampak jelas dari suatu aktivitas pembelajaran. Pembelajaran yang efektif ditandai dengan terjadinya proses belajar dalam diri siswa. Beberapa ciri umum kegiatan belajar sebagai berikut:
a)      Belajar menunjukkan suatu aktivitas pada diri seseorang yang disadari atau yang disengaja.
b)      Belajar merupakan interaksi individu dengan lingkungannya.
c)      Hasil belajar ditandai dengan perubahan tingkah laku.
Beberapa tokoh psikologi belajar memiliki persepsi dan penekanan tersendiri tentang hakikat belajar dan proses ke arah perubahan sebagai hasil belajar. Berikut adalah beberapa kelompok teori yang memberikan pandangan khusus tentang belajar, yaitu:
1)      Behaviorisme
Para penganut teori ini meyakini bahwa manusia sangat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di dalam lingkungannya yang memberikan pengelaman-pengalaman tertentu. Teori ini menekankan pada apa yang dilihat, yaitu tingkah laku, dan kurang memperhatikan apa yang terjadi di dalam pikiran karena tidak dapat dilihat. Behaviorisme juga melihat bahwa belajar adalah merupakan perubahan tingkah laku. Cirri yang paling mendasar dari aliran ini adalah bahwa perubahan tingkah laku yang terjadi adalah berdasarkan paradigma S-R (Stimulus Respons), yaitu suatu proses yang memberikan response tertentu terhadap sesuatu yang datng dari luar.
Aliran ini disebut dengan behaviorisme karena sangat menekankan kepada perlunya perilaku (behavior) yang dapat diamati. Ada beberapa ciri dari teori ini, yaitu: (a) mengutamakan unsur-unsur atau bagian-bagian kecil, (b) bersifat mekanistis, (c) menekankan peranan lingkungan, (d) mementingkan pembentukan respon, (e) menekankan pentingnya latihan. Pembelajaran behaviorisme bersifat lebih menekankan kepada elemen-elemen pembelajaran.
Tokoh aliran behaviorisme adalah Thordike. Ia merupak orang pertama yang menerangkan hubungan S-R ini. Berikut ini beberapa macam tori behaviorisme yang terkenal, yaitu:
a.       Classical Conditioning (Pavlov)
Teori ini atas dasar reaksi sistem tak terkontrol di dalam diri seseorang dan reaksi emosional yang dikontrol oleh sistem urat syaraf otonom serta gerak reflek setelah menerima stimulus dari luar.
b.      Operarnt Conditioning (Skiner)
Menurut Skinner, setiap kali memperoleh stimulus maka seseorang akan memberikan respon berdasarkan hubungan S-R. Respon yang diberikan ini sesuai “R” (benar) atau tidak sesuai “F” (salah) seperti apa yang diharapkan. Respon yang benar perlu diberikan penguatan agar siswa terdorong untuk melakukannya kembali. Oleh karena itu, pemberian penguatan terhadap respon dapat dilakukan secara kontinu dan dapat dilakukan secara selang-seling.
2)      Kognitivisme
Menurut teori kognitivisme tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi atau pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan-tujuannya. Oleh karena itu, belajar menurut teori ini diartikan sebagai perubahan persepsi dan pemahaman, perubahan tersebut tidak selalu dapat dilihat sebagaimana perubahan tingkah laku.
Sehubungan dengan teori behaviorisme yang telah dikemukakan sebelumnya, banyak para ahli dan pemikiran pendidikan yang kurang puas terhadap ungkapan para behavioris bahwa belajar sekadar hubungan antara stimulus dengan respon. Menurut mereka perilaku seseorang selalu didasarkan oleh kognitif, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi di mana perilaku itu terjadi. 
Kognitivisme memberikan pengaruh dalam pengembangan prinsip-prinsip pembelajaran sebagai berikut:
a)      Peserta didik akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu.
b)      Penyusunan materi pelajaran harus dari sederhana ke kompleks.
c)      Belajar dengan memahami lebih baik daripada dengan hanya menghafal, apalagi tanpa pengertian dan pemahaman.
d)     Adanya perbedaan individual pada peserta didik perlu diperhatikan, karena factor ini sangat mempengaruhi proses belajar peserta didik.
3)      Teori Belajar Psikologi Sosial
Pandangan psikologi sosial secara mendasar mengungkapkan bahwa belajar pada hakikatnya merupakan suatu proses alami. Semua orang mempunyai keinginan untuk belajar tanpa dapat dibendung oleh orang lain. Hal ini pada dasarnya disebabkan karena setiap orang memiliki rasa ingin tahu, ingin menyerap informasi, ingin mengambil keputusan serta ingin memecahkan masalah.
Setiap orang mempunyai kebutuhan-kebutuhan dan tujuan yang menjadi motivator penting untuk belajarnya. Belajar akan lebih lancer bilamana yang dipelajari sesuai dengan kebutuhan dan pribadi orang yang belajar, serta ia diberi kesempatan untuk bertanggung jawab atas belajarnya sendiri.
Menurut teori belajar psikologi sosial proses belajar jarang sekali merupakan proses yang terjadi dalam keadaan menyendiri, akan tetapi melalui interaksi-interaksi. Yaitu meliputi; (1) searah (one directional), yaitu bilamana adanya dorongan dari luar menyebabkan timbulnya respon, (2) dua arah, yaitu apabila tingkah laku yang terjadi merupakan hasil interaksi antara individu yang belajar, atau sebaliknya.
Di dalam proses pembelajaran tampak nyata bahwa suasana kelompok belajar, adanya persaingan dan kerjasama, kebebasan atau ketidakbebasan, nilai-nilai yang dianut kelompok  akan memberikan pengaruh yang besar terhadap keberhasilan orang yang belajar. Proses belajar yang mengikutsertakan emosi dan perasaan peserta didik ternyata mampu memberikan hasil lebih baik dibandingkan dengan hanya memanipulasi dorongan dari luar.

4)      Teori Belajar Gagne
Teori yang disusun oleh Gagne merupakan perpaduan yang seimbang antara teori behaviorisme dan kognitivisme yang bertumpu pada pengolahan informasi. Menurut Gagne cara berpikir seseorang tergantung pada; (a) keterampilan apa yang telah dimilikinya, (b) keterampilan serta hirarki apa yang diperlukan untuk mempelajari suatu tugas.
Gagne menyimpulkan ada lima macam hasil belajar dari teori yang dikemukakannya, yaitu:
1.    Keterampilan intelektual, yaitu pegetahuan prosedural yang mencakup belajar konsep, prinsip dan pemecahan masalah yang diperoleh dari penyampaian materi di sekolah.
2.    Strategi kognitif, yaitu kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah baru dengan jalan mengatur proses dari dalam masing-masing individu dalam memperhatikan, belajar, mengingat, dan berfikir.
3.    Informasi verbal, yaitu kemampuan untuk mendeskripsikan sesuatu dengan kata-kata dengan jalan mengatur informasi-informasi yang yang saling berkaitan.
4.    Keterampilan motorik, yaitu kemampuan untuk melaksanakan dan mengkoordinasikan gerakan-gerakan yang berhubungan dengan otot.
5.    Sikap, yaitu suatu kemampuan dari dalam yang mempengaruhi tingkah laku seseorang yang didasari oleh emosi, kepercayaan-kepercayaan serta faktor itelektual.
Jadi, pembelajaran yang efektif ditandai dengan terjadinya proses belajar dalam diri siswa. Oleh sebab itu, melalui proses pembelajaran, guru harus berupaya secara optimal menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa terdorong untuk berperan aktif sebagai wujud nyata terjadinya proses belajar yang sesuai dengan kenyataan yang ada saat ini dengan menghubungkan antara teori dan kenyataan yang ada.
2.      Ciri-ciri dan Tujuan Belajar
Belajar merupakan merupakan proses internal yang kompleks. Internal ini dalam artian seluruh mental, yang meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Dari segi guru proses belajar  tersebut dapat diamati secara tidak langsung. Artinya proses belajar yang merupakan proses internal siswa tidak dapat diamati, akan tetapi dapat dipahami oleh guru.
Siswa yang belajar berarti menggunakan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Berikut penjelasan dari masing-masing ranah, yaitu:
a)      Ranah Kognitif (Bloom, dkk), terdiri dari enam jenis perilaku, yaitu:
1)      Pengetahuan
2)      Pemahaman
3)      Penerapan
4)      Analisis
5)      Sintesis
6)      Evaluasi
b)      Ranah Afektif (Krathowohl & Bloom, dkk), terdiri dari tujuh jenis perilaku, yaitu:
1)      Penerimaan
2)      Partisipasi
3)      Penilaian dan penentuan sikap
4)      Organisasi
5)      Pembentukan pola hidup
c)      Ranah Psikomotor (Simpson), terdiri dari tujuh perilaku, yaitu:
1)      Persepsi
2)      Kesiapan
3)      Gerakan terbimbing
4)      Gerakan terbiasa
5)      Gerakan kompleks
6)      Penyesuaian pola gerakan
7)      Kreativitas
3.      Tujuan Belajar dan Pembelajaran
Belajar merupakan peristiwa sehari-hari di sekolah. Belajar merupakan hal yang kompleks. Kompleksitas belajar tersebut dapat dipandang dari dua subjek, yaitu dari siswa dan dari guru. Dari segi siswa, belajar dialami sebagai suatu proses. Siswa mengalami proses mental dalam menghadapi bahan belajar. Dari segi guru, proses belajar tersebut tampak sebagai perilaku belajar tentang sesuatu hal.
Siswa belajar didorong oleh rasa keingintahuan atau kebutuhannya.
Belajar merupakan proses internal yang kompleks. Yang terlibat dalam proses internal tersebut adalah seluruh mental yang meliputi ranah-ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Proses belajar yang mengaktualisasikan ranah-ranah tersebut tertuju pada bahan belajar tertentu yang telah kita bahas pada ciri-ciri belajar sebelumnya.
Tujuan belajar sangat penting, baik bagi guru maupun siswa. Dalam desain instruksional guru merumuskan tujuan khusus atau sasaran belajar siswa. Rumusan tersebut disesuaikan dengan perilaku yang hendaknya dapat dilakukan siswa.  Dengan belajar, maka kemampuan siswa meningkat. Meningkatnya kemampuan siswa untuk mencapai tujuan belajar yang baru. Bila semua siswa menerima ssaran belajar dari guru, maka makin lama siswa membuat tujuan belajar sendiri. Dengan demikian, makin lama siswa akan dapat membuat program belajarnya sendiri.
C.    Simpulan
Pengertian belajar  dan  perspektif mengenai belajar dapat kita jumpai di berbagai literatur atau sumber, baik itu sama maupun berbeda pandangan. Meskipun terdapat perbedaan pandangan, namun prinsipnya mengarah pada esensi yang sama, bahwa belajar menunjukkan pada suatu aktivitas menuju suatu perubahan tingkah laku padadiri individu melalui proses interaksi dengan lingkungannya. Pembelajaran yang efektif ditandai dengan terjadinya proses belajar dalam diri siswa. Oleh sebab itu melalui proses pembelajaran, guru harus berupaya secara optimal menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa terdorong untuk berperan aktif sebagai wujud nyata terjadinya proses belajar.
Ada beberapa aliran atau teori belajar yang sangat berpengaruh terhadap berkembangnya pandangan dan konsep tentang belajar, diantaranya; Behaviorisme, Kognitivisme, Teori belajar Psikologi Sosial, dan Teori belajar Gagne. Keempat teori ini memberikan penekanan aktivitas dan hasil belajar pada dimensi-dimensi tingkah laku tertentu, sehingga memberikan pemahaman yang lebih luas.
Untuk memahami secara spesifik tentang perubahan tingkah laku sebagai akibat terjadinya proses belajar ini, beberapa ahli memilah perilaku individu dalam tiga ranah atau kawasan, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dan ketiga ranah tersebut saling memiliki keterkaitan.
Belajar merupakan peristiwa sehari-hari di sekolah. Belajar merupakan hal yang kompleks.  Tujuan belajar sangat penting, baik bagi guru maupun siswa. Dengan belajar, maka kemampuan siswa meningkat. Meningkatnya kemampuan siswa untuk mencapai tujuan belajar yang baru.

DAFTAR PUSTAKA
Aunurrahman. Belajar dan Pembelajaran. 2011. Alfabeta: Jakarta.
Dimyati dan Mudjiono. Belajar dan Pembelajaran. 2009. Jakarta: Rineka Cipta.
Syah, Muhibbin. 2011. Psikologi Belajar. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Suyono dan Hariyanto. 2011. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarta.