Senin, 10 Februari 2014



BAB IX. PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK DAN CONTEKSTUAL TEACHING AND LEARNING
A.    Pendahuluan
Dapat kita ketahui bahwa pembelajaran yang digunakan ialah
Trianto (2007:18) mengemukakan bahwa teori konstruktivistik ini menyatakan bahwa siswa harus mengemukakan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar mereka benar-benar memahami dan menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide.

B.     Pembahasan
1.      Pembelajaran Konstruktivistik
a.      pengertian
Konstruktivisme merupakan pengetahuan, bukanlah tentang hal-hal yang terlepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia yang dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus, dan setiap kali terjadi reorganisasi atau rekonstruksi karena adanya pengalaman baru. Menurut konstruktivisme, pengetahuan bukan hal yang statis dan deterministik, tetapi suatu proses menjadi tahu. Dan hal ini terjadi secara terus menerus.
Trianto (2007:18) mengemukakan bahwa teori konstruktivistik ini menyatakan bahwa siswa harus mengemukakan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar mereka benar-benar memahami dan menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide.
Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar.
Konstruktivisme dapat dikaitkan dengan beberapa bidang, yaitu:
a)      Pancaindera dan Konstruktivisme
Seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkungannya melalui panca inderanya, lalu mengkonstruksi gambaran dunia pengalamannya itu. Pengetauan ada di dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang (dosen) ke kepala orang lain (mahasiswa). Mahasiswa sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan itu dengan cara menyesuaikannya terhadap pengalaman-pengalaman atau konstruksi yang telah dibangunnya sendiri dalam otaknya.
b)      Pengalaman dan Konstruktivisme
Pengetahuan merujuk pada pengalaman seseorang akan dunia. Tanpa pengalaman, seseorang tidak dapat membentuk pengetahuan. Pengalaman bukan hanya pengalaman fisik, tetapi juga pengalaman kognitif dan mental.
Pengetahuan dibentuk oleh struktur penerimaan konsep seseorang ketika ia beinteraksi dengan lingkungannya. Jadi, bagi orang itu lingkungan ialah semua objek dan proporsinya yang telah diabstraksikan ke dalam pengalaman orang itu. Maka pengalaman dan konstruktivistik ada saling keterkaitan.
c)      Konstruksi dan Pengetahuan
Semua pengetahuan yang diperoleh adalah hasil rekonstruksi kita sendiri. Kecil kemungkinan adanya transfer pengetahuan dari seseorang kepada orang lain. Pengetahuan bukan merupakan barang yang dapat ditransfer dari orang yang mempunyai pengetahuan kepada orang yang belum mempunyai pengetahuan.
Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan mahasiswa.
d)     Konstruktivisme dan Kenyataan
Konstruktivisme menyatakan bahwa seseorang tidak pernah dapat mengerti kenyataan yang sesungguhnya. Yang dimengerti adalah struktur konstruksi seseorang akan suatu objek. Konstruktivisme tidak bertujuan untuk mengerti kenyataan, tetapi lebih menggambarkan proses kita menjadi tahu akan sesuatu.
Pengaruh terhadap konstruksi pengetahuan yaitu: (a) hasil konstruksi yang telah dimiliki seseorang, (b) domain pengalaman seseorang, (c) jaringan struktur kognitif seseorang.
b.      Aspek berfikir
Ada dua aspek berfikir dalam proses pembentukan pengetahuan menurut Piaget:
1)      Aspek berfikir figuratif
Merupakan imajinasi keadaan sesaat dan statis yang mencakup persepsi, imajinasi, dan gambaran mental seseorang terhadap suatu objek atau fenomena.
2)      Aspek berfikir operatif
Aspek ini lebih berkaitan dengan transformasi dari tahap yang satu ke tahap yang lain, yang menyangkut operasi initelektual atau sistem transformasi.

2.      Pembelajaran Contektual Teaching  and Learning (CTL)
Kontekstual menurut kamus umum adalah kata sifat, ajektif untuk kata benda “konteks”. Konteks artinya kondisi lingkungan yaitu keadaan atau kejadian yang membentuk lingkungan dari sebuah hal. Ringkasnya konteks adalah lingkungan. Dari sini dapat dirumuskan bahwa CTL adalah mengajar dan belajar yang menghubungkan isi pelajaran dengan lingkungan.
Di dalam pengajaran tradisional, isi pelajaran dipelajari secara terpisah. Di dalam CTL isi pelajaran dihubungkan dengan lingkungan fisik, personal, sosial, dan budaya.
CTL terdiri atas bagian-bagian yang terhubung. CTL terbentuk oleh delapan komponen yang melibatkan proses yang berbeda-beda, yang ketika digunakan secara bersama-sama memampukan siswa membuat hubungan yang menghasilkan makna. Delapan komponen CTL ialah sebagai berikut:
a.       Membuat hubungan-hubungan yang bermakna
CTL bertujuan membantu siswa melihat makna pada materi akademik yang mereka pelajari dengan cara berhubungan materi tersebut dengan konteks harian kehidupan mereka, konteks pribadi, sosial dan budaya mereka. Manusia adalah makhluk yang ditakdirkan untuk mencari makna. Makna diperoleh ketika orang melakukan penghubungan antara sebuah hal dengan hal atau hal-hal lainnya.
b.      Melakukan pekerjaan yang berarti
CTL tidak memisahkan teori dan praktik atau ilmu dan kerjaan lapangan. Di dalam CTL penguasaan isi pelajaran bukan dengan melalui kata-kata belaka, juga lebih dari sekedar mengamati peragaan atau demonstrasi. Tetapi dengan melakukan pekerjaan yang berarti bagi si pebelajar.
Belajar dengan bekerja (learning by doing), pengalaman si pebelajar menjadi lebih kaya lagi. Dengan bekerja, konsep-konsep yang ada menjadi terhubung dengan lingkungan. Karena, hubungan membuat konsep menjadi bermakna bagi siswa. Pendidik hendaknya memfasilitasi si pebelajar untuk dapat bekerja dengan konsep-konsep, dimulai dari operator dan bertahap menjadi pembuat atau pemodifikasi konsep.
c.       Melaksanakan proses belajar yang diatur sendiri
Hal ini adalah proses mengajar dan belajar yang bertumpu pada prinsip pengorganisasian diri. Bagaimana mekanisme atau strateginya agar prinsip ini terimplementasi dalam PBM? Fasilitasi lah siswa untuk dapat menemukan sendiri kemampuan dan minatnya masing-masing. Materi pelajarannya bisa sama, sebagaimana tuntutan persekolahan kita pada umumnya. Tetapi tentang bagaimana siswa mau bekerja dengan materi tersebut adalah urusan siswa secara individual dan guru melakukan fasilitasi agar urusan siswa ini terlaksana dan indikator-indikator pembelajaran tercapai. Pengorganisasian membutuhkan umpan balik, dan kemudian terjadi proses pemanfaatan umpan balik untuk perbaikan diri.
d.      Bekerja sama
CTL menuntut siswa bekerja dalam kelompok dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Kerja kelompok dapat menghasilkan kompetensi-kompetensi yang dipersyaratkan oleh sebuah mata pelajaran akademik juga kompetensi-kompetensi sosial. Guru sebaiknya mempersiapkan disain agar kerja kelompok ini efektif mencapai target-target pembelajaran yang diharapkan.
e.       Berpikir kritis dan kreatif
Pemikiran kritis dan kreatif dibutuhkan oleh masing-masing siswa dalam kelompok agar proses-proses dan hasil-hasil pembelajaran yang sudah didisain sebelumnya dapat tercapai.  Reber (Psikologi Belajar: 2011:123) menyatakan bahwa di dalam hal berfikir kritis, siswa dituntut menggunakan strategi kognitif tertentu yang tepat untuk menguji keandalan gagasan pemecahan masalah dan mengatasi kesalahan atau kekurangan. Berfikir kritis konkretnya adalah dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Dan berfikir kreatif adalah dengan melibatkan imajinasi dalam membuat suatu usulan untuk pemecahan masalah.
f.       Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang
Pertumbuhan dan perkembanagn individu dapat dipandang sebagai pertumbuhan dan perkembangan kecakapan-kecakapan dalam arti luas, melibatkan banyak dimensi kepribadian, bukan hanya dimensinya yang kognitif tetapi juga dimensi emosi, sosial, dan bahkan spiritual. Dan semua itu membutuhkan fasilitas guru.
g.      Mencapai standar tinggi
CTL memungkinkan pencapaian hasil belajar tingkat tinggi karena pembelajaran melalui kerja siswa yang berkaitan dengan bahan ajar.
h.      Menggunakan penilaian otentik.
Penilaian otentik memberikan kesempatan kepada para siswa untuk mendapatkan umpan-balik yang realistik bagi perbaikan proses dan hasil pembelajaran mereka.

C.    Simpulan
Konstruktivisme merupakan pengetahuan, bukanlah tentang hal-hal yang terlepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia yang dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus, dan setiap kali terjadi reorganisasi atau rekonstruksi karena adanya pengalaman baru. Menurut konstruktivisme, pengetahuan bukan hal yang statis dan deterministik, tetapi suatu proses menjadi tahu. Dan hal ini terjadi secara terus menerus. Selain itu, konstruktivis juga dapat dihubungkan dengan beberapa bidang, di antaranya yaitu: pancaindera dan konstruktivisme, pengalaman dan konstruktivisme, konstruksi dan pengetahuan, konstruktivisme dengan kenyataan.
Sehubungan dengan teori konstruktivistik, juga terdapat model Contekstual Teaching and Learning (CTL) yang dapat dirumuskan bahwa CTL adalah mengajar dan belajar yang menghubungkan isi pelajaran dengan lingkungan. Jadi antara kedua teori atau model tersebut ada kesamaan dan perbedaan masing-masing. Yang mana antara kedua teori tersebut dapat dikaitkan antara pengalaman, pengetahuan dengan lingkungan yang sebenarnya.
Selain itu, CTL juga memiliki delapan komponen, di antaranya yaitu: (a) membuat hubungan-hubungan yang bermakna, (b) melakukan pekerjaan yang berarti, (c) melaksanakan proses belajar yang diatur sendiri, (d) bekerja sama, (e) berfikir kritis dan kreatif, (f) membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, (g) mencapai standar tinggi, (h) mengguankan penilaian otentik.

DAFTAR PUSTAKA
Dharma, Dkk. 2010. Contekstual Teaching and Learning. Yogyakarta: Rahayasa.
Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Muhibbin Syah. 2011. Psikologi Belajar. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

BAB X. EVALUASI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

A.    PENDAHULUAN
Sebagaimna pentingnya penetapan atau perumusan tujuan, pentingnya aktivitas dalam suatu kegiatan, maka kedudukan evaluasi dalam proses kegiatan juga memiliki kedudukan yang sama pentingnya karena evaluasi merupakan bagian lengkap dari proses kegiatan secarakeseluruhan. Karena itu secara sederhana evaluasi akan menjadi wahana untuk mengetahui tingkat keberhasilan dari keseluruhan aktivitas yang kita lakukan serta menjadi sumber informasi yang terukur hambatan-hambatan atau kendala yang dihadapi di dalam proses pencapaian tujuan yang telah dirumuskan.
Dalam proses pembelajaran, evaluasi menempati kedudukan yang penting dan merupakan bagian utuh dari proses dan tahapan kegiatan pembelajaran. Dengan melakukan evaluasi, guru dapat mengukur tingkat keberhasilan proses pembelajaran yang dilakukannya, pada tiap kali pertemuan, setiap semester, setiap tahun, bahkan selama berada pada satuan pendidikan tertentu. Dengan demikian setiap kali membahas proses pembelajaran maka berarti kita juga membahas tentang evaluasi karena evaluasi inklusif di dalam proses pembelajaran.
Untuk dapat melaksanakan evaluasi pembelajaran dengan benar maka setiap guru dipersyaratkan mengetahui berbagai dimensi yang terkait dengan evaluasi, terutama berkaitan dengan hakikat evaluasi, prinsip-prinsip evaluasi, tujuan evaluasi, prosedur dan jenis-jenis evaluasi. Oleh karena itu, pada bab ini akan dibahas mengenai hal-hal tersebut.
B.     PEMBAHASAN
1.      Pengertian dan Prinsip Umum Evaluasi
Wiersma dan Jurs membedakan antara  evaluasi adalah suatu proses yang mencakup pengukuran dan mungkin juga testing yang juga berisi pengambilan keputusan tentang nilai. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Arikunto yang menyatakan bahwa evaluasi merupakan kegiatan mengukur dan menilai. Dari kedua pendapat tersebut Rusliana (Aunurrahman, 2011: 205) menyimpulkan secara implisit menyatakan bahwa evaluasi memiliki cakupan yang lebih luas daripada pengukuran dan testing.
Michael Scriven, seorang teoritis evaluasi mengamati bahwa evaluasi terdiri dari penetapan nilai. Karena itu, evaluasi pendidikan terdiri dari penetapan nilai sehubungan dengan fenomena pendidikan. Penetapan nilai yang dimaksudkan adalah penentuan manfaat atau kebaikan relative dari segala sesuatu yang dievaluasi. Selain itu, Asmawi Zainul dan Noehi Nasution mengartikan pengukuran sebagai pemberian angka kepada suatu atribut atau karakteristik tertentu yang dimiliki oleh orang, hal atau obyek tertentu menurut aturan yang jelas. Sedangkan penilaian adalah suatu proses untuk mengambil keputusan dengan menggunakan informasi yang diperoleh melalui pengukuran hasil belajar baik yang menggunakan tes maupun non tes. Arikunto dalam hal ini juga membedakan antara pengukuran, penilaian dan evaluasi. Arikunto berpendapat bahwa mengukur adalah membandingkan sesuatu dengan satu ukuran. Pengukuran bersifat kuantitatif. Sedangkan menilai adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk. Penilaian bersifat kualitatif (Aunurrahman, 2011).
Secara khusus dalam konteks pembelajaran di kelas, penilaian dilakukan untuk mengetahui kemajuan dan hasil belajar peserta didik, menentukan gejala-gejala kesulitan dalam belajar, memberikan umpan balik/perbaikan proses belajar mengajar dan penentuan kenaikan kelas melalui penilaian dapat diperoleh informasi yang akurat tentang penyelenggaraan pembelajaran dan keberhasilan belajar peserta didik, guru serta proses pembelajaran itu sendiri.
Jika kita cermati kembali komponen-komponen pembelajaran, kita menemukan bahwa evaluasi merupakan salah satu komponen sistem pendidikan atau pembelajaran. Oleh sebab itu, kemampuan guru melaksanakan evaluasi secara tepat akan memberikan pengaruh bagi peningkatan kualitas pembelajaran. Untuk dapat melaksanakan evaluasi dengan benar, maka guru dituntut memiliki perangkat pengetahuan tentang berbagai jenis evaluasi, prinsip evaluasi, memilih jenis-jenis evaluasi sesuai dengan karakteristik dan tujuan pembelajaran serta prosedur implementasi dalam kegiatan pembelajaran. Dimyati dan Mudjiono (2010) mengemukakan bahwa hal penting yang harus diketahui guru adalah bahwa secara umum evaluasi mencakup evaluasi hasil belajar dan evaluasi pembelajaran. Guru harus dapat membedakan antara kegiatan evaluasi hasil belajar dan evaluasi pembelajaran. Evaluasi hasil belajar menekankan pada diperolehnya informasi tentang seberapakah perolehan siswa dalam pmencapai tujuan pegajaran yang ditetapkan. Sedangkan evaluasi pembelajaran merupakan proses sistematis untuk memperoleh informasi tentang tingkat keefektifan proses pembelajaran dalam membantu siswa mecapai tujuan pembelajaran secara optimal. Dengan demikian evaluasi belajar menyatakan baik buruknya hasil dari kegiatan pembelajaran, sedangkan evaluasi pembelajaran menyatakan baik buruknya proses dari kegiatan pembelajaran.
Arikunto (Aunurrahman, 2011) mengemukakan ada satu prinsip umum dan penting dalam kegiatan evaluasi, yaitu adanya hubungan erat antara tiga komponen, diantaranya yaitu:
1)      Tujuan
2)      Kegiatan pembelajaran atau KBM
3)      Evaluasi
Ketiga komponen tersebut digambarkan dalam bagan sebagai berikut:
Tujuan


KBM                           Evaluasi

Dari bagan di atas dapat difahami bahwa kegiatan pembelajaran yang dirancang dalam bentuk rencana mengajar yang disusun oleh guru mengacu pada tujuan yang hendak dicapai. Evaluasi merupakan kegiatan pengumpulan data untuk mengukur sejauhmana tujuan telah tercapai. Oleh karena itu di dalam menyusun evaluasi hendaknya memperhatikan secara seksama rumusan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dan harus dapat mengukur sejauhmana proses pembelajaran telah dilaksanakan.
2.      Tujuan Evaluasi
\secara umum evaluasi bertujuan untuk melihat sejauhmana suatu program atau suatu kegiatan tertentu dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan. Karena itu menurut Reece dan Walker (Aunurrahman, 2011) terdapat beberapa alas an mengapa evaluasi harus dilakukan, yaitu:
a.       Memperkuat kegiatan belajar
b.      Menguji pemahaman dan kemampuan siswa
c.       Memastikan pengetahuan  prasyarat yang sesuai
d.      Mendukung terlaksananya kegiatan pembelajaran
e.       Memotivasi siswa
f.       Memberi umpan balik bagi siswa
g.      Memberi umpan balik bagi guru
h.      Memelihara standar mutu
i.        Mencapai kemajuan proses dan hasil belajar
j.        Memprediksi kinerja pembelajaran selanjtnya
k.      Menilai kualitas belajar
Sebagai bagian dari proses pembelajaran, di samping evaluasi pembelajaran harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip evaluasi, juga harus memperhatikan kesesuaiannya dengan komponen-komponen kegiatan pembelajaran lainnya. Ketidaktepatan di dalam pelaksanaan evaluasi tidak hanya menyebabkan kurang serasinya pelaksanaan proses pembelajaran, akan tetapi juga berakibat rendahnya keakuratan di dalam menentukan kompetensi dan performance belajar siswa.
Pelaksanaan evaluasi dalam pendidikan mempunyai manfaat yang luas, tidak sekedar mengukur keberhasilan proses belajar akan tetapi dapat memberikan manfaat dalam berbagai kegiatan lain baik guru maupun siswa (Nurkancana, 1986). Beberapa manfaat evaluasi pendidikan dan pembelajaran tersebut adalah sebagai berikut:
1)      Mengetahui taraf kesiapan anak untuk menempuh suatu pendidikan tertentu;
2)      Mengetahui seberapa jauh hasil yang telah dicapai dalam proses pendidikan;
3)      Mengetahui apakah suatu mata pelajaran yang kita ajarkan dapat dilanjutkan dengan bahan yang baru ataukah harus mengulang pelajaran-pelajaran yang telah lampau;
4)      Mendapatkan bahan-bahan informasi dalam memberikan bimbingan tentang jenis pendidikan dan jabatan yang sesuai untuk siswa;
5)      Mendapatkan bahan-bahan informasi apakah seorang anak dapat dinaikkan ke kelas yang lebih tinggi atau harus mengulang di kelas semula;
6)      Membandingkan apakah prestasi yang belum dicapai anak sudah sesuai dengan kapasitasnya atau belum.
7)      Untuk menafsirkan apakah seorang anak telah cukup matang untuk kita lepaskan ke dalam masyarakat atau untuk melanjutkan ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi;
8)      Untuk mengadakan seleksi;
9)      Untuk mengetahui taraf efisiensi metode yang dipergunakan dalam lapangan pendidikan.
Untuk dapat melaksanakan evaluasi secara benar, maka guru harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang aspek-aspek berkaitan dengan evaluasi dan memiliki komitmen untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut di dalam proses pembelajaran. Kemampuan memahami dan melaksanakan evaluasi ini menjadi tanggung jawab setiap gur. Sebagaimana diketahui kegiatan belajar dan proses pembelajaran merupakan kegiatan yang dinamis sehingga guru harus selalu aktif mencermati perubahan-perubahan yang terjadi pada siswa, termasuk hal-hal yang berkitan dengan evaluasi.
3.      Syarat-syarat Umum Belajar
Agar evaluasi dapat berfungsi secaraoptimal, dapat memberikan manfaat untuk perbaikan program dan kegiatan-kegiatan pembelajaran, maka evaluasi harus memenuhi beberapa persyaratan. Diantaranya yaitu:
1)      Kesahihan
Kesahihan dapat diartikan sebagai ketepatan evaluasi dalam mengevaluasi apa yang perlu dievaluasi. Nurkancana dan Sumartana(Aunurrahman, 2011) mengemukakan bahwa kesahihan atau Validitas dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu sebagai berikut:
a.       Validitas ramalan (predictive validity)
Validitas ramalan dapat diartikan sebagai ketepatan dari suatu alat pengukur ditinjau dari kemampuan ters tersebut untuk meramalkan prestasi yang dicapai kemudian.
b.       Validitas bandingan (concurrent validity)
Adalah ketepatan dari suatu tes dilihat dari korelasinya terhadap kecakapan yang telah dimiliki saat ini secara nyata.
c.       Validitas isi (content validity)
Validitas isi diartikan sebagai ketepatan suatu tes ditinjau dari isi tes tersebut. suatu tes hasil belajar dikatakan valid menurut vidalitas ini apabila materi tes tersebut betul-betul dapat mewakili secara menyeluruh dari bahan-bahan yang diberikan.
d.      Validitas konstruk (construct validity)
Validitas ini dapat diartikan sebagai ketepatan suatu tes ditinjau dari susunan (konstruksi) tes tersebut. untuk mengetahui apakah tes yang kita susun memenuhi syarat-syarat validitas konstruk ini, maka kita harus membandingkan susunan tes tersebut dengan syarat-syarat penyusunan tes yang baik.
Kesahihan hasil evaluasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
-          Faktor instrument evaluasi
Faktor yang terdapat di dalam intrumen evaluasi dan yang mempengaruhi diantaranya yaitu: ketidakjelasan petunjuk, tingkat kesulitan kosakatadan struktur kalimatserta susunan item yang kurang baik.
-          Faktor-faktor administrasi dan penskoran
Faktor yang berkaitan dengan administrasi, seperti: pengaturan waktu yang kurang tepat dan yang berhubungan dengan hal tersebut.
-          Faktor berkaitan dengan respon siswa
Kecenderungan siswa untuk merespon secara cepat, atau kecenderungan siswa secara tiba-tiba atau penggunaan gaya tertentu siswa dalam merespon bentuk evaluasi.
2)      Keterandalan
Hal ini berhubungan dengan masalah kepercayaan, bahwa suatu instrument evaluasi mampu memberikan hasil yang tetap (Arikunto, 1990)
Nurkancana dan Sumartana (Aunurrahman, 2011) menjelaskan beberapa cara yang dapat ditempuh untuk mencari taraf keterandalan suatu tes.

a.       Teknik ulangan
Yaitu suatu cara yang ditempuh untuk mencari keterandalan suatu tes dengan cara memberikan tes tersebut kepada sekelompok anak dalam dua kesempatan yang berlainan.
b.      Teknik bentuk paralel
Teknik ini menggunakan dua bentuk tes yang sejenis tetapi tidak identik, baik mengenai isinya, proses mental yang diukur, tingkat kesukaran maupun jumlah item.
c.       Teknik belah dua
Dalam teknik ini, tes yang telah diberikan kepada sekelompok subyek dibagi menjadi dua bagian;
a)      Prosedur ganjil genap, artinya masing-masing dibedakan antara kelompok ganjil dengan kelompok genap.
b)      Prosedur secara random, misal dengan menggunakan undian dan lain sebagainya.
3)      Kepraktisan
Kepraktisan evaluasi merupakan kemudahan-kemudahan yang ada kaitan dengan instrumen evaluasi, baik dalam mempersiapkan, menggunakan, dan mengolah hasil, menginterpretasi hasil maupun kemudahan-kemudahan dalam penyimpanan (Dimyati dan Mudjiono, 2010).
a.       Kemudahan administrasi
Yaitu kemudahan yang berkaitan dengan sistem pengadministrasian instrument evaluasi dan pengaturan pelaksanaannya.
b.      Waktu yang disediakan
Waktu yang disediakan untuk evaluasi hendaknya diperhitungkat secara cermat.
c.       Kemudahan menskor
Untuk memberikan kemudahan penskoran diperlukan ketersediaan petunjuk yang jelas untuk penskoran.
d.      Kemudahan interpretasi
Untuk memudahkan interpretasi dan aplikasi hasil evaluasi diperlukan petunjuk yang jelas.
e.       Tersedianya bentuk instrument evaluasi yang ekuivalen atau sebanding
Yaitu bentuk-bentuk ekuivalen dari sebuah tes mengukur aspek-aspek perilkau melalui butir-butir tes yang memiliki isi yang sama, tingkat kesulitan, dan karakteristik lainnya.
4.      Jenis-jenis Evaluasi Pembelajaran
1)      Evaluasi Formatif
Tes formatif adalah tes yang dilaksanakn ketika program pendidikan sedang berjalan. Tes formatif merupakan kegiatan evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir pembahasan suatu pokok bahasan. Tujuannya yang paling utama ialah untuk mengetahui sejauh mana suatu proses pembelajaran telah berjalan sebagaimana yang telah direncanakan. Winkel menyatakan bahwa evaluasi formatif adalah penggunaan tes-tes selama proses pembelajaran yang masih berlangsung, agar siswa memperoleh informasi (feedback) mengenai kemajuan yang telah dicapai.
2)      Evaluasi Sumatif
Evaluasi sumatif yaitu evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir satu satuan waktu yang di dalamnya tercakup lebih dari satu pokok bahasan dan dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana peserta didik telah dapat berpindah dari satu unit ke unit berikutnya. Artinya tes akhir program (semester, kenaikan kelas atau kelulusan) yang mana hasilnya digunakan untuk menetapkan apakah seorang siswa naik kelas atau lulus dari suatu program pendidikan. Oleh sebab itu segala upaya yang diperlukan harus dilakukan untuk menjamin bahwa tes yang dilaksanakan memenuhi syarat tes yang baik sehingga keputusan yang dibuat berkaitan dengan kenaikan kelas atau kelulusan siswa cukup baik dan didasarkan pada kriteria tes yang baik. Kriteria tes yang baik yaitu: valid/kesahihan. Reliable/kebenaran yang tetap, dan praktis.
3)      Diagnostik
Evaluasi diagnostik adalah evaluasi yang digunakan untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan yang ada pada siswa sehingga dapat diberikan perlakuan yang tepat. Evaluasi diagnostik dapat dilakukan dalam beberapa tahap, baik tahap awal, selama proses, maupun akhir pembelajaran.

5.      Pendekatan Evaluasi Pembelajaran
Setiap guru perlu memahami cara yang dapat dipergunakan untuk mengubah skor mentah menjadi skor standar. Hal itu deperlukan untuk mengetahui seberapa tinggi prestasi belajar yang dicapai oleh siswa. Nurkancana dan Sukarayana (Aunurrahman, 2011) mengemukakan pendapatnya mengenai pendekatan evaluasi belajar dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

1)      Penilaian Acuan Patokan (PAP)
Penilaian Acuan Patokan yang juga disebut penilaian dengan norma absolut atau norma aktual merupakan norma penilaian yang ditetapkan secara mutlak oleh guru atau pembuat tes, berdasarkan jumlah dan bobot masing-masing soal serta prosentase penguasaan yang dipersyaratkan. Tujuan penggunaan tes acuan patokan berfokus pada kelompok perilaku siswa yang khusus. dengan didasarkan pada kritria atau standar khusus. dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang performan peserta tes dengan dengan performan yang lain.
2)      Penilaian Acuan Normatif (PAN)
Norma relatif adalah suatu norma yang disusun secara relatif berdasarkan distribusi skor yang dicapai oleh peserta tes. Pada pendekatan acuan norma, standar performan digunakan bersifat relatif. Artinya tingkat performan seorang siswa sangat bergantung pada posisi dalam kelompoknya. Tujuan penggunaan tes acuan norma biasanya lebih umum dan komprehensif. Tes acuan norma dimaksudkan untuk mengetahui status peserta tes dalam hubungannya dengan performan kelompok peserta yang lain yang telah mengikuti tes.
Baik penilaian melalui Penilaian Acuan Patokan (PAP) maupun penilaian acuan norma, keduanya memiliki kelemahan Norma Absolut (mutlak) baik dipergunakan apabila derajat kesukaran dari tes yang dipergunakan betul-betul telah memenuhi syarat tes yang baik, misal pada tes yang sudah distandardisasikan.
Penilaian Acuan Norma (PAN) tepat dipergunakan apabila distribusi kecakapan atau kemampuan kelompok anak yang diberikan tes mengikuti hokum norma. Akan tetapi, jika distribusi kecakapan anak-anak yang mengikuti tes tidak mengikuti hokum status normal maka penggunaan norma relative tidak dapat memberikan gambaran yang obyektif.

C.    SIMPULAN
Evaluasi merupakan salah satu komponen penting di dalam seluruh rangkaian kegiatan pembelajaran. Dengan melakukan evaluasi secara benar, guru dapat mengetahui tingkat keberhasilan proses pembelajaran yang dilakukannya, pada tiap kali pertemuan, setiap catur wulan, setiap semester, setiap tahun, bahkan selama berada pada satuan pendidikan tertentu. Melalui evaluasi ini pula guru dapat mengetahui efektivitas penggunaan metode pembelajaran, kemampuan mengelola proses pembelajaran, kemampuan memotivasi siswa serta kemampuan mendayagunakan sumber-sumber belajar yang tersedia.
Oleh karena evaluasi merupakan satu kesatuan yang utuh di dalam proses pembelajaran, maka setiap guru dituntut memiliki kapasitas kemampuan untuk melaksanakan evaluasi secara tepat agar hasil yang diperoleh melalui kegiatan evaluasi tersebut mampu memberikan gambaran yang benar dari tingkat kemampuan siswa. Mengenai pemahaman guru yang baik pada hakikat, prosedur, jenis serta prinsip evaluasi merupakan kerangka dasar untuk membangun kemampuan melaksanakan evaluasi secara tepat.
Evaluasi yang tepat dapat dijadikan wahana untuk mengukur kompetensi siswa, menentukan tujuan pembelajaran mana yang belum dioptimalkan pencapaiannya, merumuskan rangking siswa, memberikan informais kepada guru tentang ketepatan strategi pembelajaran yang digunakan dan untuk merencanakan prosedur perbaikan rencana pelajaran. banyak sekali manfaat yang diperoleh jika evaluasi pembelajaran dilakukan secar tepat.  Perlu diperhatikan syarat-syarat evaluasi untuk mencapai ketepatan evaluasi, terutama yang berkaitan dengan validitas dan realibilitas. Selain itu juga perlu diperhatikan syarat kepraktisan evaluasi tanpa mengabaikan kedua syarat utama sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Aunurrahman. 2011. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Alfabeta.
Dimyati dan Mudjiono. 2010. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Gintings, Abdurrakhman. 2010. Esensi Praktis Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Humaniora.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar