BAB
IX. PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK DAN CONTEKSTUAL TEACHING AND LEARNING
A.
Pendahuluan
Dapat
kita ketahui bahwa pembelajaran yang digunakan ialah
Trianto
(2007:18) mengemukakan bahwa teori konstruktivistik ini menyatakan bahwa siswa
harus mengemukakan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek
informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan
itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar mereka benar-benar memahami dan
menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan
segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide.
B.
Pembahasan
1.
Pembelajaran Konstruktivistik
a.
pengertian
Konstruktivisme merupakan
pengetahuan, bukanlah tentang hal-hal yang terlepas dari pengamat tetapi
merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia yang
dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus, dan setiap kali terjadi
reorganisasi atau rekonstruksi karena adanya pengalaman baru. Menurut
konstruktivisme, pengetahuan bukan hal yang statis dan deterministik, tetapi
suatu proses menjadi tahu. Dan hal ini terjadi secara terus menerus.
Trianto (2007:18) mengemukakan
bahwa teori konstruktivistik ini menyatakan bahwa siswa harus mengemukakan
sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru
dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi
sesuai. Bagi siswa agar mereka benar-benar memahami dan menerapkan pengetahuan,
mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk
dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide.
Menurut teori konstruktivis
ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa
guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus
membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan
kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan
atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan
secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar.
Konstruktivisme dapat dikaitkan
dengan beberapa bidang, yaitu:
a)
Pancaindera dan Konstruktivisme
Seseorang berinteraksi dengan
objek dan lingkungannya melalui panca inderanya, lalu mengkonstruksi gambaran
dunia pengalamannya itu. Pengetauan ada di dalam diri seseorang yang sedang
mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang
(dosen) ke kepala orang lain (mahasiswa). Mahasiswa sendirilah yang harus
mengartikan apa yang telah diajarkan itu dengan cara menyesuaikannya terhadap
pengalaman-pengalaman atau konstruksi yang telah dibangunnya sendiri dalam
otaknya.
b)
Pengalaman dan Konstruktivisme
Pengetahuan merujuk pada
pengalaman seseorang akan dunia. Tanpa pengalaman, seseorang tidak dapat
membentuk pengetahuan. Pengalaman bukan hanya pengalaman fisik, tetapi juga
pengalaman kognitif dan mental.
Pengetahuan dibentuk oleh
struktur penerimaan konsep seseorang ketika ia beinteraksi dengan
lingkungannya. Jadi, bagi orang itu lingkungan ialah semua objek dan
proporsinya yang telah diabstraksikan ke dalam pengalaman orang itu. Maka
pengalaman dan konstruktivistik ada saling keterkaitan.
c)
Konstruksi dan Pengetahuan
Semua pengetahuan yang
diperoleh adalah hasil rekonstruksi kita sendiri. Kecil kemungkinan adanya
transfer pengetahuan dari seseorang kepada orang lain. Pengetahuan bukan
merupakan barang yang dapat ditransfer dari orang yang mempunyai pengetahuan
kepada orang yang belum mempunyai pengetahuan.
Pengetahuan bukanlah merupakan
gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan
melalui kegiatan mahasiswa.
d)
Konstruktivisme dan Kenyataan
Konstruktivisme menyatakan
bahwa seseorang tidak pernah dapat mengerti kenyataan yang sesungguhnya. Yang
dimengerti adalah struktur konstruksi seseorang akan suatu objek.
Konstruktivisme tidak bertujuan untuk mengerti kenyataan, tetapi lebih
menggambarkan proses kita menjadi tahu akan sesuatu.
Pengaruh terhadap konstruksi
pengetahuan yaitu: (a) hasil konstruksi yang telah dimiliki seseorang, (b)
domain pengalaman seseorang, (c) jaringan struktur kognitif seseorang.
b.
Aspek berfikir
Ada dua aspek berfikir dalam
proses pembentukan pengetahuan menurut Piaget:
1)
Aspek berfikir figuratif
Merupakan imajinasi keadaan
sesaat dan statis yang mencakup persepsi, imajinasi, dan gambaran mental
seseorang terhadap suatu objek atau fenomena.
2)
Aspek berfikir operatif
Aspek ini lebih berkaitan
dengan transformasi dari tahap yang satu ke tahap yang lain, yang menyangkut
operasi initelektual atau sistem transformasi.
2.
Pembelajaran Contektual
Teaching and Learning (CTL)
Kontekstual
menurut kamus umum adalah kata sifat, ajektif untuk kata benda “konteks”.
Konteks artinya kondisi lingkungan yaitu keadaan atau kejadian yang membentuk
lingkungan dari sebuah hal. Ringkasnya konteks adalah lingkungan. Dari sini
dapat dirumuskan bahwa CTL adalah mengajar dan belajar yang menghubungkan isi
pelajaran dengan lingkungan.
Di
dalam pengajaran tradisional, isi pelajaran dipelajari secara terpisah. Di
dalam CTL isi pelajaran dihubungkan dengan lingkungan fisik, personal, sosial,
dan budaya.
CTL
terdiri atas bagian-bagian yang terhubung. CTL terbentuk oleh delapan komponen
yang melibatkan proses yang berbeda-beda, yang ketika digunakan secara
bersama-sama memampukan siswa membuat hubungan yang menghasilkan makna. Delapan
komponen CTL ialah sebagai berikut:
a.
Membuat hubungan-hubungan yang
bermakna
CTL bertujuan membantu siswa
melihat makna pada materi akademik yang mereka pelajari dengan cara berhubungan
materi tersebut dengan konteks harian kehidupan mereka, konteks pribadi, sosial
dan budaya mereka. Manusia adalah makhluk yang ditakdirkan untuk mencari makna.
Makna diperoleh ketika orang melakukan penghubungan antara sebuah hal dengan
hal atau hal-hal lainnya.
b.
Melakukan pekerjaan yang
berarti
CTL tidak memisahkan teori dan
praktik atau ilmu dan kerjaan lapangan. Di dalam CTL penguasaan isi pelajaran
bukan dengan melalui kata-kata belaka, juga lebih dari sekedar mengamati
peragaan atau demonstrasi. Tetapi dengan melakukan pekerjaan yang berarti bagi
si pebelajar.
Belajar dengan bekerja
(learning by doing), pengalaman si pebelajar menjadi lebih kaya lagi. Dengan
bekerja, konsep-konsep yang ada menjadi terhubung dengan lingkungan. Karena,
hubungan membuat konsep menjadi bermakna bagi siswa. Pendidik hendaknya
memfasilitasi si pebelajar untuk dapat bekerja dengan konsep-konsep, dimulai
dari operator dan bertahap menjadi pembuat atau pemodifikasi konsep.
c.
Melaksanakan proses belajar
yang diatur sendiri
Hal ini adalah proses mengajar
dan belajar yang bertumpu pada prinsip pengorganisasian diri. Bagaimana
mekanisme atau strateginya agar prinsip ini terimplementasi dalam PBM?
Fasilitasi lah siswa untuk dapat menemukan sendiri kemampuan dan minatnya
masing-masing. Materi pelajarannya bisa sama, sebagaimana tuntutan persekolahan
kita pada umumnya. Tetapi tentang bagaimana siswa mau bekerja dengan materi
tersebut adalah urusan siswa secara individual dan guru melakukan fasilitasi
agar urusan siswa ini terlaksana dan indikator-indikator pembelajaran tercapai.
Pengorganisasian membutuhkan umpan balik, dan kemudian terjadi proses
pemanfaatan umpan balik untuk perbaikan diri.
d.
Bekerja sama
CTL menuntut siswa bekerja
dalam kelompok dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Kerja kelompok dapat menghasilkan
kompetensi-kompetensi yang dipersyaratkan oleh sebuah mata pelajaran akademik
juga kompetensi-kompetensi sosial. Guru sebaiknya mempersiapkan disain agar
kerja kelompok ini efektif mencapai target-target pembelajaran yang diharapkan.
e.
Berpikir kritis dan kreatif
Pemikiran kritis dan kreatif
dibutuhkan oleh masing-masing siswa dalam kelompok agar proses-proses dan
hasil-hasil pembelajaran yang sudah didisain sebelumnya dapat tercapai. Reber (Psikologi Belajar: 2011:123) menyatakan
bahwa di dalam hal berfikir kritis, siswa dituntut menggunakan strategi
kognitif tertentu yang tepat untuk menguji keandalan gagasan pemecahan masalah
dan mengatasi kesalahan atau kekurangan. Berfikir kritis konkretnya adalah
dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Dan berfikir kreatif adalah
dengan melibatkan imajinasi dalam membuat suatu usulan untuk pemecahan masalah.
f.
Membantu individu untuk tumbuh
dan berkembang
Pertumbuhan dan perkembanagn
individu dapat dipandang sebagai pertumbuhan dan perkembangan kecakapan-kecakapan
dalam arti luas, melibatkan banyak dimensi kepribadian, bukan hanya dimensinya
yang kognitif tetapi juga dimensi emosi, sosial, dan bahkan spiritual. Dan
semua itu membutuhkan fasilitas guru.
g.
Mencapai standar tinggi
CTL memungkinkan pencapaian hasil
belajar tingkat tinggi karena pembelajaran melalui kerja siswa yang berkaitan
dengan bahan ajar.
h.
Menggunakan penilaian otentik.
Penilaian otentik memberikan
kesempatan kepada para siswa untuk mendapatkan umpan-balik yang realistik bagi
perbaikan proses dan hasil pembelajaran mereka.
C.
Simpulan
Konstruktivisme
merupakan pengetahuan, bukanlah tentang hal-hal yang terlepas dari pengamat
tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau
dunia yang dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus, dan
setiap kali terjadi reorganisasi atau rekonstruksi karena adanya pengalaman
baru. Menurut konstruktivisme, pengetahuan bukan hal yang statis dan
deterministik, tetapi suatu proses menjadi tahu. Dan hal ini terjadi secara
terus menerus. Selain itu, konstruktivis juga dapat dihubungkan dengan beberapa
bidang, di antaranya yaitu: pancaindera dan konstruktivisme, pengalaman dan
konstruktivisme, konstruksi dan pengetahuan, konstruktivisme dengan kenyataan.
Sehubungan
dengan teori konstruktivistik, juga terdapat model Contekstual Teaching and
Learning (CTL) yang dapat dirumuskan bahwa CTL adalah mengajar dan belajar yang
menghubungkan isi pelajaran dengan lingkungan. Jadi antara kedua teori atau
model tersebut ada kesamaan dan perbedaan masing-masing. Yang mana antara kedua
teori tersebut dapat dikaitkan antara pengalaman, pengetahuan dengan lingkungan
yang sebenarnya.
Selain
itu, CTL juga memiliki delapan komponen, di antaranya yaitu: (a) membuat
hubungan-hubungan yang bermakna, (b) melakukan pekerjaan yang berarti, (c)
melaksanakan proses belajar yang diatur sendiri, (d) bekerja sama, (e) berfikir
kritis dan kreatif, (f) membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, (g)
mencapai standar tinggi, (h) mengguankan penilaian otentik.
DAFTAR
PUSTAKA
Dharma,
Dkk. 2010. Contekstual Teaching and Learning. Yogyakarta: Rahayasa.
Trianto.
2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik.
Jakarta: Prestasi Pustaka.
Muhibbin
Syah. 2011. Psikologi Belajar. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
BAB
X. EVALUASI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
A.
PENDAHULUAN
Sebagaimna
pentingnya penetapan atau perumusan tujuan, pentingnya aktivitas dalam suatu
kegiatan, maka kedudukan evaluasi dalam proses kegiatan juga memiliki kedudukan
yang sama pentingnya karena evaluasi merupakan bagian lengkap dari proses
kegiatan secarakeseluruhan. Karena itu secara sederhana evaluasi akan menjadi
wahana untuk mengetahui tingkat keberhasilan dari keseluruhan aktivitas yang
kita lakukan serta menjadi sumber informasi yang terukur hambatan-hambatan atau
kendala yang dihadapi di dalam proses pencapaian tujuan yang telah dirumuskan.
Dalam
proses pembelajaran, evaluasi menempati kedudukan yang penting dan merupakan
bagian utuh dari proses dan tahapan kegiatan pembelajaran. Dengan melakukan
evaluasi, guru dapat mengukur tingkat keberhasilan proses pembelajaran yang
dilakukannya, pada tiap kali pertemuan, setiap semester, setiap tahun, bahkan
selama berada pada satuan pendidikan tertentu. Dengan demikian setiap kali
membahas proses pembelajaran maka berarti kita juga membahas tentang evaluasi
karena evaluasi inklusif di dalam proses pembelajaran.
Untuk
dapat melaksanakan evaluasi pembelajaran dengan benar maka setiap guru
dipersyaratkan mengetahui berbagai dimensi yang terkait dengan evaluasi,
terutama berkaitan dengan hakikat evaluasi, prinsip-prinsip evaluasi, tujuan
evaluasi, prosedur dan jenis-jenis evaluasi. Oleh karena itu, pada bab ini akan
dibahas mengenai hal-hal tersebut.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian dan Prinsip Umum
Evaluasi
Wiersma dan Jurs membedakan
antara evaluasi adalah suatu proses yang
mencakup pengukuran dan mungkin juga testing yang juga berisi pengambilan
keputusan tentang nilai. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Arikunto yang
menyatakan bahwa evaluasi merupakan kegiatan mengukur dan menilai. Dari kedua
pendapat tersebut Rusliana (Aunurrahman, 2011: 205) menyimpulkan secara
implisit menyatakan bahwa evaluasi memiliki cakupan yang lebih luas daripada
pengukuran dan testing.
Michael Scriven, seorang
teoritis evaluasi mengamati bahwa evaluasi terdiri dari penetapan nilai. Karena
itu, evaluasi pendidikan terdiri dari penetapan nilai sehubungan dengan
fenomena pendidikan. Penetapan nilai yang dimaksudkan adalah penentuan manfaat
atau kebaikan relative dari segala sesuatu yang dievaluasi. Selain itu, Asmawi
Zainul dan Noehi Nasution mengartikan pengukuran sebagai pemberian angka kepada
suatu atribut atau karakteristik tertentu yang dimiliki oleh orang, hal atau
obyek tertentu menurut aturan yang jelas. Sedangkan penilaian adalah suatu
proses untuk mengambil keputusan dengan menggunakan informasi yang diperoleh
melalui pengukuran hasil belajar baik yang menggunakan tes maupun non tes.
Arikunto dalam hal ini juga membedakan antara pengukuran, penilaian dan
evaluasi. Arikunto berpendapat bahwa mengukur adalah membandingkan sesuatu
dengan satu ukuran. Pengukuran bersifat kuantitatif. Sedangkan menilai adalah
mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk. Penilaian
bersifat kualitatif (Aunurrahman, 2011).
Secara khusus dalam konteks
pembelajaran di kelas, penilaian dilakukan untuk mengetahui kemajuan dan hasil
belajar peserta didik, menentukan gejala-gejala kesulitan dalam belajar,
memberikan umpan balik/perbaikan proses belajar mengajar dan penentuan kenaikan
kelas melalui penilaian dapat diperoleh informasi yang akurat tentang
penyelenggaraan pembelajaran dan keberhasilan belajar peserta didik, guru serta
proses pembelajaran itu sendiri.
Jika kita cermati kembali
komponen-komponen pembelajaran, kita menemukan bahwa evaluasi merupakan salah
satu komponen sistem pendidikan atau pembelajaran. Oleh sebab itu, kemampuan
guru melaksanakan evaluasi secara tepat akan memberikan pengaruh bagi
peningkatan kualitas pembelajaran. Untuk dapat melaksanakan evaluasi dengan
benar, maka guru dituntut memiliki perangkat pengetahuan tentang berbagai jenis
evaluasi, prinsip evaluasi, memilih jenis-jenis evaluasi sesuai dengan
karakteristik dan tujuan pembelajaran serta prosedur implementasi dalam
kegiatan pembelajaran. Dimyati dan Mudjiono (2010) mengemukakan bahwa hal
penting yang harus diketahui guru adalah bahwa secara umum evaluasi mencakup
evaluasi hasil belajar dan evaluasi pembelajaran. Guru harus dapat membedakan
antara kegiatan evaluasi hasil belajar dan evaluasi pembelajaran. Evaluasi
hasil belajar menekankan pada diperolehnya informasi tentang seberapakah
perolehan siswa dalam pmencapai tujuan pegajaran yang ditetapkan. Sedangkan
evaluasi pembelajaran merupakan proses sistematis untuk memperoleh informasi
tentang tingkat keefektifan proses pembelajaran dalam membantu siswa mecapai
tujuan pembelajaran secara optimal. Dengan demikian evaluasi belajar menyatakan
baik buruknya hasil dari kegiatan pembelajaran, sedangkan evaluasi pembelajaran
menyatakan baik buruknya proses dari kegiatan pembelajaran.
Arikunto (Aunurrahman, 2011)
mengemukakan ada satu prinsip umum dan penting dalam kegiatan evaluasi, yaitu
adanya hubungan erat antara tiga komponen, diantaranya yaitu:
1)
Tujuan
2)
Kegiatan pembelajaran atau KBM
3)
Evaluasi
Ketiga komponen tersebut
digambarkan dalam bagan sebagai berikut:
Tujuan
KBM Evaluasi
Dari bagan di atas dapat
difahami bahwa kegiatan pembelajaran yang dirancang dalam bentuk rencana
mengajar yang disusun oleh guru mengacu pada tujuan yang hendak dicapai.
Evaluasi merupakan kegiatan pengumpulan data untuk mengukur sejauhmana tujuan
telah tercapai. Oleh karena itu di dalam menyusun evaluasi hendaknya
memperhatikan secara seksama rumusan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan
dan harus dapat mengukur sejauhmana proses pembelajaran telah dilaksanakan.
2.
Tujuan Evaluasi
\secara umum evaluasi bertujuan
untuk melihat sejauhmana suatu program atau suatu kegiatan tertentu dapat
mencapai tujuan yang telah ditentukan. Karena itu menurut Reece dan Walker (Aunurrahman,
2011) terdapat beberapa alas an mengapa evaluasi harus dilakukan, yaitu:
a.
Memperkuat kegiatan belajar
b.
Menguji pemahaman dan kemampuan
siswa
c.
Memastikan pengetahuan prasyarat yang sesuai
d.
Mendukung terlaksananya
kegiatan pembelajaran
e.
Memotivasi siswa
f.
Memberi umpan balik bagi siswa
g.
Memberi umpan balik bagi guru
h.
Memelihara standar mutu
i.
Mencapai kemajuan proses dan
hasil belajar
j.
Memprediksi kinerja
pembelajaran selanjtnya
k.
Menilai kualitas belajar
Sebagai bagian dari proses
pembelajaran, di samping evaluasi pembelajaran harus dilaksanakan sesuai dengan
prinsip-prinsip evaluasi, juga harus memperhatikan kesesuaiannya dengan
komponen-komponen kegiatan pembelajaran lainnya. Ketidaktepatan di dalam pelaksanaan
evaluasi tidak hanya menyebabkan kurang serasinya pelaksanaan proses
pembelajaran, akan tetapi juga berakibat rendahnya keakuratan di dalam
menentukan kompetensi dan performance belajar siswa.
Pelaksanaan evaluasi dalam
pendidikan mempunyai manfaat yang luas, tidak sekedar mengukur keberhasilan
proses belajar akan tetapi dapat memberikan manfaat dalam berbagai kegiatan
lain baik guru maupun siswa (Nurkancana, 1986). Beberapa manfaat evaluasi
pendidikan dan pembelajaran tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Mengetahui taraf kesiapan anak
untuk menempuh suatu pendidikan tertentu;
2)
Mengetahui seberapa jauh hasil
yang telah dicapai dalam proses pendidikan;
3)
Mengetahui apakah suatu mata
pelajaran yang kita ajarkan dapat dilanjutkan dengan bahan yang baru ataukah
harus mengulang pelajaran-pelajaran yang telah lampau;
4)
Mendapatkan bahan-bahan
informasi dalam memberikan bimbingan tentang jenis pendidikan dan jabatan yang
sesuai untuk siswa;
5)
Mendapatkan bahan-bahan
informasi apakah seorang anak dapat dinaikkan ke kelas yang lebih tinggi atau
harus mengulang di kelas semula;
6)
Membandingkan apakah prestasi
yang belum dicapai anak sudah sesuai dengan kapasitasnya atau belum.
7)
Untuk menafsirkan apakah
seorang anak telah cukup matang untuk kita lepaskan ke dalam masyarakat atau
untuk melanjutkan ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi;
8)
Untuk mengadakan seleksi;
9)
Untuk mengetahui taraf
efisiensi metode yang dipergunakan dalam lapangan pendidikan.
Untuk dapat melaksanakan
evaluasi secara benar, maka guru harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang
baik tentang aspek-aspek berkaitan dengan evaluasi dan memiliki komitmen untuk
menerapkan prinsip-prinsip tersebut di dalam proses pembelajaran. Kemampuan
memahami dan melaksanakan evaluasi ini menjadi tanggung jawab setiap gur. Sebagaimana
diketahui kegiatan belajar dan proses pembelajaran merupakan kegiatan yang
dinamis sehingga guru harus selalu aktif mencermati perubahan-perubahan yang
terjadi pada siswa, termasuk hal-hal yang berkitan dengan evaluasi.
3.
Syarat-syarat Umum Belajar
Agar evaluasi dapat berfungsi
secaraoptimal, dapat memberikan manfaat untuk perbaikan program dan
kegiatan-kegiatan pembelajaran, maka evaluasi harus memenuhi beberapa
persyaratan. Diantaranya yaitu:
1)
Kesahihan
Kesahihan dapat diartikan
sebagai ketepatan evaluasi dalam mengevaluasi apa yang perlu dievaluasi.
Nurkancana dan Sumartana(Aunurrahman, 2011) mengemukakan bahwa kesahihan atau
Validitas dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu sebagai berikut:
a.
Validitas ramalan (predictive validity)
Validitas ramalan dapat
diartikan sebagai ketepatan dari suatu alat pengukur ditinjau dari kemampuan
ters tersebut untuk meramalkan prestasi yang dicapai kemudian.
b.
Validitas bandingan (concurrent validity)
Adalah ketepatan dari suatu tes
dilihat dari korelasinya terhadap kecakapan yang telah dimiliki saat ini secara
nyata.
c.
Validitas isi (content validity)
Validitas isi diartikan sebagai
ketepatan suatu tes ditinjau dari isi tes tersebut. suatu tes hasil belajar
dikatakan valid menurut vidalitas ini apabila materi tes tersebut betul-betul
dapat mewakili secara menyeluruh dari bahan-bahan yang diberikan.
d.
Validitas konstruk (construct validity)
Validitas ini dapat diartikan
sebagai ketepatan suatu tes ditinjau dari susunan (konstruksi) tes tersebut.
untuk mengetahui apakah tes yang kita susun memenuhi syarat-syarat validitas
konstruk ini, maka kita harus membandingkan susunan tes tersebut dengan
syarat-syarat penyusunan tes yang baik.
Kesahihan hasil evaluasi
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
-
Faktor instrument evaluasi
Faktor yang terdapat di dalam
intrumen evaluasi dan yang mempengaruhi diantaranya yaitu: ketidakjelasan
petunjuk, tingkat kesulitan kosakatadan struktur kalimatserta susunan item yang
kurang baik.
-
Faktor-faktor administrasi dan
penskoran
Faktor yang berkaitan dengan
administrasi, seperti: pengaturan waktu yang kurang tepat dan yang berhubungan
dengan hal tersebut.
-
Faktor berkaitan dengan respon
siswa
Kecenderungan siswa untuk
merespon secara cepat, atau kecenderungan siswa secara tiba-tiba atau
penggunaan gaya tertentu siswa dalam merespon bentuk evaluasi.
2)
Keterandalan
Hal ini berhubungan dengan
masalah kepercayaan, bahwa suatu instrument evaluasi mampu memberikan hasil
yang tetap (Arikunto, 1990)
Nurkancana dan Sumartana
(Aunurrahman, 2011) menjelaskan beberapa cara yang dapat ditempuh untuk mencari
taraf keterandalan suatu tes.
a.
Teknik ulangan
Yaitu suatu cara yang ditempuh
untuk mencari keterandalan suatu tes dengan cara memberikan tes tersebut kepada
sekelompok anak dalam dua kesempatan yang berlainan.
b.
Teknik bentuk paralel
Teknik ini menggunakan dua
bentuk tes yang sejenis tetapi tidak identik, baik mengenai isinya, proses
mental yang diukur, tingkat kesukaran maupun jumlah item.
c.
Teknik belah dua
Dalam teknik ini, tes yang
telah diberikan kepada sekelompok subyek dibagi menjadi dua bagian;
a)
Prosedur ganjil genap, artinya
masing-masing dibedakan antara kelompok ganjil dengan kelompok genap.
b)
Prosedur secara random, misal
dengan menggunakan undian dan lain sebagainya.
3)
Kepraktisan
Kepraktisan evaluasi merupakan
kemudahan-kemudahan yang ada kaitan dengan instrumen evaluasi, baik dalam
mempersiapkan, menggunakan, dan mengolah hasil, menginterpretasi hasil maupun
kemudahan-kemudahan dalam penyimpanan (Dimyati dan Mudjiono, 2010).
a.
Kemudahan administrasi
Yaitu kemudahan yang berkaitan
dengan sistem pengadministrasian instrument evaluasi dan pengaturan
pelaksanaannya.
b.
Waktu yang disediakan
Waktu yang disediakan untuk
evaluasi hendaknya diperhitungkat secara cermat.
c.
Kemudahan menskor
Untuk memberikan kemudahan
penskoran diperlukan ketersediaan petunjuk yang jelas untuk penskoran.
d.
Kemudahan interpretasi
Untuk memudahkan interpretasi
dan aplikasi hasil evaluasi diperlukan petunjuk yang jelas.
e.
Tersedianya bentuk instrument
evaluasi yang ekuivalen atau sebanding
Yaitu bentuk-bentuk ekuivalen
dari sebuah tes mengukur aspek-aspek perilkau melalui butir-butir tes yang
memiliki isi yang sama, tingkat kesulitan, dan karakteristik lainnya.
4.
Jenis-jenis Evaluasi
Pembelajaran
1)
Evaluasi Formatif
Tes formatif adalah tes yang
dilaksanakn ketika program pendidikan sedang berjalan. Tes formatif merupakan
kegiatan evaluasi yang dilakukan pada setiap akhir pembahasan suatu pokok
bahasan. Tujuannya yang paling utama ialah untuk mengetahui sejauh mana suatu
proses pembelajaran telah berjalan sebagaimana yang telah direncanakan. Winkel
menyatakan bahwa evaluasi formatif adalah penggunaan tes-tes selama proses pembelajaran
yang masih berlangsung, agar siswa memperoleh informasi (feedback) mengenai kemajuan yang telah dicapai.
2)
Evaluasi Sumatif
Evaluasi sumatif yaitu evaluasi
yang dilakukan pada setiap akhir satu satuan waktu yang di dalamnya tercakup
lebih dari satu pokok bahasan dan dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana
peserta didik telah dapat berpindah dari satu unit ke unit berikutnya. Artinya
tes akhir program (semester, kenaikan kelas atau kelulusan) yang mana hasilnya
digunakan untuk menetapkan apakah seorang siswa naik kelas atau lulus dari
suatu program pendidikan. Oleh sebab itu segala upaya yang diperlukan harus
dilakukan untuk menjamin bahwa tes yang dilaksanakan memenuhi syarat tes yang
baik sehingga keputusan yang dibuat berkaitan dengan kenaikan kelas atau
kelulusan siswa cukup baik dan didasarkan pada kriteria tes yang baik. Kriteria
tes yang baik yaitu: valid/kesahihan. Reliable/kebenaran yang tetap, dan
praktis.
3)
Diagnostik
Evaluasi diagnostik adalah
evaluasi yang digunakan untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan yang ada pada
siswa sehingga dapat diberikan perlakuan yang tepat. Evaluasi diagnostik dapat
dilakukan dalam beberapa tahap, baik tahap awal, selama proses, maupun akhir
pembelajaran.
5.
Pendekatan Evaluasi
Pembelajaran
Setiap guru perlu memahami cara
yang dapat dipergunakan untuk mengubah skor mentah menjadi skor standar. Hal
itu deperlukan untuk mengetahui seberapa tinggi prestasi belajar yang dicapai
oleh siswa. Nurkancana dan Sukarayana (Aunurrahman, 2011) mengemukakan
pendapatnya mengenai pendekatan evaluasi belajar dapat dilakukan dengan dua
cara, yaitu:
1)
Penilaian Acuan Patokan (PAP)
Penilaian Acuan Patokan yang
juga disebut penilaian dengan norma absolut atau norma aktual merupakan norma
penilaian yang ditetapkan secara mutlak oleh guru atau pembuat tes, berdasarkan
jumlah dan bobot masing-masing soal serta prosentase penguasaan yang
dipersyaratkan. Tujuan penggunaan tes acuan patokan berfokus pada kelompok
perilaku siswa yang khusus. dengan didasarkan pada kritria atau standar khusus.
dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang performan peserta tes
dengan dengan performan yang lain.
2)
Penilaian Acuan Normatif (PAN)
Norma relatif adalah suatu
norma yang disusun secara relatif berdasarkan distribusi skor yang dicapai oleh
peserta tes. Pada pendekatan acuan norma, standar performan digunakan bersifat
relatif. Artinya tingkat performan seorang siswa sangat bergantung pada posisi
dalam kelompoknya. Tujuan penggunaan tes acuan norma biasanya lebih umum dan
komprehensif. Tes acuan norma dimaksudkan untuk mengetahui status peserta tes
dalam hubungannya dengan performan kelompok peserta yang lain yang telah
mengikuti tes.
Baik penilaian melalui
Penilaian Acuan Patokan (PAP) maupun penilaian acuan norma, keduanya memiliki
kelemahan Norma Absolut (mutlak) baik dipergunakan apabila derajat kesukaran
dari tes yang dipergunakan betul-betul telah memenuhi syarat tes yang baik, misal
pada tes yang sudah distandardisasikan.
Penilaian Acuan Norma (PAN)
tepat dipergunakan apabila distribusi kecakapan atau kemampuan kelompok anak
yang diberikan tes mengikuti hokum norma. Akan tetapi, jika distribusi
kecakapan anak-anak yang mengikuti tes tidak mengikuti hokum status normal maka
penggunaan norma relative tidak dapat memberikan gambaran yang obyektif.
C.
SIMPULAN
Evaluasi
merupakan salah satu komponen penting di dalam seluruh rangkaian kegiatan
pembelajaran. Dengan melakukan evaluasi secara benar, guru dapat mengetahui
tingkat keberhasilan proses pembelajaran yang dilakukannya, pada tiap kali
pertemuan, setiap catur wulan, setiap semester, setiap tahun, bahkan selama
berada pada satuan pendidikan tertentu. Melalui evaluasi ini pula guru dapat
mengetahui efektivitas penggunaan metode pembelajaran, kemampuan mengelola
proses pembelajaran, kemampuan memotivasi siswa serta kemampuan mendayagunakan
sumber-sumber belajar yang tersedia.
Oleh
karena evaluasi merupakan satu kesatuan yang utuh di dalam proses pembelajaran,
maka setiap guru dituntut memiliki kapasitas kemampuan untuk melaksanakan
evaluasi secara tepat agar hasil yang diperoleh melalui kegiatan evaluasi
tersebut mampu memberikan gambaran yang benar dari tingkat kemampuan siswa.
Mengenai pemahaman guru yang baik pada hakikat, prosedur, jenis serta prinsip
evaluasi merupakan kerangka dasar untuk membangun kemampuan melaksanakan
evaluasi secara tepat.
Evaluasi
yang tepat dapat dijadikan wahana untuk mengukur kompetensi siswa, menentukan
tujuan pembelajaran mana yang belum dioptimalkan pencapaiannya, merumuskan
rangking siswa, memberikan informais kepada guru tentang ketepatan strategi
pembelajaran yang digunakan dan untuk merencanakan prosedur perbaikan rencana
pelajaran. banyak sekali manfaat yang diperoleh jika evaluasi pembelajaran
dilakukan secar tepat. Perlu
diperhatikan syarat-syarat evaluasi untuk mencapai ketepatan evaluasi, terutama
yang berkaitan dengan validitas dan realibilitas. Selain itu juga perlu
diperhatikan syarat kepraktisan evaluasi tanpa mengabaikan kedua syarat utama
sebelumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Aunurrahman.
2011. Belajar dan Pembelajaran.
Jakarta: Alfabeta.
Dimyati
dan Mudjiono. 2010. Belajar dan
Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Gintings,
Abdurrakhman. 2010. Esensi Praktis Belajar dan Pembelajaran. Bandung:
Humaniora.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar