Senin, 10 Februari 2014

BAB V. MASALAH-MASLAH BELAJAR




A.    Pendahuluan
Kita telah mengkaji, juga memahami bahwa keberhasilan proses pembelajaran merupakan muara dari seluruh aktivitas yang dilakuakan guru dan siswa. Artinya, apapun bentuk kegiatan-kegiatan guru, mulai dari merancang pembelajaran, memilih dan menentukan materi, pendekatan, strategi dan metode pembelajaran, memilih dan menentukan teknik evaluasi, semuanya diarahkan untuk mencapai keberhasilan belajar siswa. Meskipun guru secara sungguh telah berupaya merancang dan melaksanakan pembelajaran dengan baik, namun masalah-masalah belajar tetap akan dijumpai guru. Hal ini merupak pertandabahwa belajar merupakan kegiatang yang dinamis sehingga guru perlu secara terus menerus mencermati perubahan-perubahan yang terjadi pada siswa di kelas.
Agar aktivitas-aktifitas pembelajaran yang dilakukan guru dapat lebih terarah, dan guru dapat memahami persoalan-persoalan belajar seringkali atau pada umumnya terjadi pada kebanyakan siswa dalam berbagai bentuk aktivitas pembelajaran, maka akan lebih baik bilamana guru memiliki bekal pemahaman tentang masalah-masalah belajar.pemahaman tentang masalah belajar memungkinkan guru dapat mengantisipasi berbagai kemungkinan munculnya masalah yang dapat menghambat tercapainya tujuan pembelajaran. Dengan pemahaman itu pula guru dapat menemukan solusi tindakan yang dianggap tepat jika menemukan masalah-masalah di dalam pelaksanaan proses pembelajaran.
B.     Pembahasan
1.      Masalah-masalah Internal Belajar
Masalah-masalah belajar dapat dilihat dari dimensi guru maupun siswa, juga bisa dari dimensi tahapannya, dimana masalah belajar dapat terjadi pada waktu sebelum belajar atau selama proses belajar dan sesudah belajar. Berikut ini adalah beberapa factor internal yang mempengaruhi proses belajar siswa, antara lain;
a)    Ciri khas/karakteristik siswa
Persoalan ini berkaitan dengan kondisi kepribadian siswa, baik fisik maupun mental. Berkaitan dengan aspek fisik tentu akan lebih mudah diamati dan dipahami, dibandingkan dengan dimensi mental atau emosional. Sedangkan peroalan-persoalan pembelajaran lebih banyak berkaiatan dengan dimensi tersebut dlam kenyataannya.
Masalah-masalah belajar yang berkenaan dengan siswa sebelum belajar pada umumnya berkenaan dengan minat, kecakapan dan pengalamn-pengalaman. Jika siswa memiliki minat yang tinggi untuk belajar, maka ia akan berupaya mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan apa yang akan dipelajari secara lebih baik.
b)   Sikap terhadap belajar
Sikap sesungguhnya berbeda dengan perbuatan, karena perbuatan merupakan implementasi atau wujud nyata dari sikap. Namun demikian sikap seseorang akan tercermin melalui tindakannya.
Sikap siswa dalam proses belajar, terutama sekali ketika memulai kegiatan belajar merupakan bagian penting untuk memperhatiakn karena aktivitas belajar siswa selanjutnya banyak ditentukan oleh sikap siswa ketika akan memulai kegiatan belajar. Apabila akan memulai kegiatan belajar siswa memiliki sikap menerima atau kesediaan emosional untuk belajar, maka ia akan cenderung untuk berusaha terlibat dalam kegiatan belajar dengan baik dan sebaliknya.
c)    Motivasi belajar
Motivasi merupakan kekuatan yang dapat menjadi pendorong bagi siswa untuk mendayagunakan potensi-potensi yang ada pada dirinya dan yang ada di luar dirinya untuk mewujudkan tujuan belajar. Siswa yang memiliki motivasi belajar akan tampak melalui kesungguhan untuk terlibat di dalam proses belajar, antara lain Nampak melalui keaktifan bertanya, mengemukakan pendapat, menyimpulkan pelajaran, mencatat, membuat rangkuman, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan keaktifan siswa karena adanya dorongan motivasi.
Motivasi berasal dari baik motivasi dari dalam dirinya sendiri (intrinsik) dan motivasi dari luar dirinya (ekstrinsik). Seperti yang dikemukakan oleh Abdurrakhman Gintings (2010:88) menyatakan bahwa motivasi merupakan hasil sejumlah proses, yang bersifat internal atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi (kegigihan) di dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu. Dan rendahnya motivasi merupakan masalah dalam belajar, karena hal ini memberikan dampak pada pencapaian hasil belajar yang diharapkan.
d)   Konsentrasi belajar
Kesulitan berkonsentrasi merupakan indikator adanya masalah belajar yang dihadapi siswa, karena hal itu akan menjadi kendala di dalam mencapai hasil belajar yang diharapkan. Untuk membantu siswa agar dapat berkonsentrasi dalam belajar tentu memerlukan waktu yang cukup lama. Menuntut ketelatenan guru jugadengan bimbingan,  perhatian serta bekal kecakapan yang dimiliki guru, maka secara bertahap hal ini akan dapat dilakukan.
e)    Mengolah bahan ajar
Hal ini dapat dikatakan sebagai proses berpikir seseorang untuk mengolah informasi-informasi yang diterima sehingga menjadi bermakna. Dalam kajian konstruktivisme mengolah bahan belajar atau mengolah informasi merupakan kemampuan penting agar seseorang dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri berdasarkan informasi yang telah ia dapatkan.
f)    Menggali hasil belajar
Suatu proses mengaktifkan kembali pesan-pesan yang telah tersimpan disebut menggali hasil belajar. Kesulitan di dalam proses menggali kembali pesan-pesan lam mer'upakan kendala di dalam proses pembelajaran karena siswa akan mengalami kesulitan untuk mengolah pesan-pesan baru yang memiliki keterkaitan dengan pesan-pesan lama yang telah diterima sebelumnya.
g)   Rasa percaya diri
Rasa percaya diri merupakan salah satu kondisi psikologis seseorang yang berpengaruh terhadap aktivitas fisik dan mental di dalam proses pembelajaran. Rasa percaya diri pada umumnya muncul ketika seseorang akan melakukan atau terlibat di dalam suatu aktivitas tertentu di mana pikirannya terarah untuk mencapai hasil yang diinginkannya. Mendidik dengan memberikan penghargaan dan pujian jauh lebih baik dari pada mendidik dengan cara mencemooh dan mencela. Oleh karena itu, orang tua dan guru supaya mendidik anak dengan penghargaan dan pujian maka anak akan tumbuh dengan percaya diri.
h)   Kebiasaan belajar
Kebiasaan ini adalah kebiasaan seseorang yang telah tertanam dalam waktu yang relatif lama sehingga memberikan ciri di dalam aktivitas belajar yang dilakukannya. Ada beberapa bentuk kebiasaan tidak baik siswa yang terjadi di dalam belajar, yaitu:
1)   Belajar tidak teratur
2)   Belajar secara tergesah-gesah(seperti sistem kebut semalam)
3)   Belajar apabila menjelang ulangan atau ujian
4)   Tidak memiliki catatan pelajaran yang lengkap
5)   Tidak terbiasa membuat ringkasan
6)   Tidak memiliki motivasi untuk memperkaya materi pelajaran
7)   Kurang percaya diri dalam menyelesaikan tugas
8)   Tidak disiplin waktu
9)   Melakukan kebiasaan-kebiasaan buruk
Misunita (2008) mengemukakan bahwa kesukaran belajar dapat dikelompokkan berdasarkan tahapan-tahapan dalam pengelolaan informasi, yaitu:
·      Input: kesukaran belajar pada kategori ini berkaitan dengan masalah penerimaan informasi melalui alat indera.
·      Integration: kesukaran belajar yang berkaitan dengan memori atau ingatan.
·      Storage: tahap inu sama halnya dengan tahap integration.
·      Output: informasi yang telah diproses oleh otak akan muncul dalam bentuk respon melalui kata-kata yang berupa bahasa, aktivitas otot berupa menuis dan lain sebagainya.
Dari beberapa tahap kesukaran belajar di atas, dapat disimpulkan mengenai kesukaran belajar yaitu sebagai gangguan pada satu atau lebih proses dasar psikologis termasuk dalam memahami atau menggunakan bahasa tulis dan lisan, yang mana tampak dalam kemampuan menyimak, berfikir, berbicara, membaca, mengeja, dan menyelesaikan hitungan matematis.

2.      Faktor-faktor Eksternal Belajar mengenal dan Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa
a)      Faktor guru
Guru adalah pengajar yang mendidik. Ia tidak hanya mengajar bidang studi yang sesuai dengan keahliannya, tetapi juga menjadi pendidik generasi muda bangsanya. Sebagai pendidik, ia memusatkan perhatian pada kepribadian siswa, khususnya berkenaan dengan kebangkitan belajar. Keinginan belajar tersebut merupakan wujud emansipasi diri siswa. Sebagai guru yang pengajar, ia bertugas mengelola kegiatan belajar siswa di sekolah.
b)      Lingkungan sosial (termasuk teman sebaya)
Siswa-siswa di sekolah membentuk suatu lingkungan pergaulan, yang dikenal sebagai lingkungan sosial siswa. Di dalam lingkungan tersebut ditemukan adanya kedudukan dan perananan tertentu yang diakui oleh sesama. Jika seorang siswa terterima maka ia dengan mudah menyesuaikan dengan lingkungannya dan dapat belajar dengan segera. Sebaliknya, jika ia tertolak maka ia akan merasa tertekan. Pengaruh lingkungan sosial dapat berupa; pengaruh kejiwaan yang bersifat menerima atau menolak siswa yang akan berakibat memperkuat atau memperlemah konsentrasi belajar. Lingkungan sosial meliputi suasana akrab, gembira, rukun dan lain-lain. Selain itu suasana kelas juga dapat berpengaruh pada semangat belajar siswa.
c)      Kurikulum sekolah
Program pembelajaran di sekolah mendasarkan diri pada suatu kurikulum. Kurikulum yang diberlakukan sekolah adalah kurikulum nasional yang disahkan oleh pemerintah atau yang telah disahkan oleh suatu yayasan pendidikan. Kurikulum terseut berisi tujuan pendidikan, isi pendidikan, kegiatan belajar-mengajar dan evaluasi. Berdasarkan kurikulum tersebut, guru menyusun desain instruksional untuk membelajarkan siswa. Hal itu berarti bahwa program pembelajaran di sekolah sesuai dengan sistem pendidikan nasional.
d)     Sarana dan prasarana
Sarana pembelajaran meliputi buku pelajaran, buku bacaan, alat dan fasilitas laboratorium sekolah, dan berbagai media pengajaran yang lain. Prasarana pembelajaran meliputi gedung sekolah, ruang belajar, lapangan olahraga, tempat ibadah, dan lain-lain. Lengkapnya sarana dan prasaran mendukung terciptanya pembelajaran yang cukup baik. Akan tetapi, bukan berarti dengan adanya sarana dan prasarana yang lengkap menentukan jaminan terselenggaranya proses belajar yang baik. Paling tidak dengan adanya sarana dan prasarana yang lengkap bagaimana mengelola sarana dan prasarana pembelajaran sehingga terselenggara proses belajar yang baik.

3.      Mengenal dan Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa
Di dalam pelaksanaan tugas pembelajaran, guru tidak hanya berkewajiban menyajikan materi pelajaran dan mengevaluasi pekerjaan siswa, akan tetapi juga bertanggung jawab terhadap pelaksanaan bimbingan belajar. Sebagai pembimbing belajar siswa, guru harus mengadakan pendekatan bukan saja melalui pendekatan intruksional, akan tetapi dibarengi dengan pendekatan yang bersifat pribadi dalam setiap proses belajar mengajar berlangsung. Abdillah (Aunurrahman, 2011:196) mengemukakan bahwa sebagai pembimbing dalam proses belajar mengajar, seorang guru diharapkan mampu;
1)      Memberikan informasi yang diperlukan dalam proses belajar.
2)      Membantu siswa dalam mengatasi setiap masalah pribadi yang dihadapinya.
3)      Mengevaluasi hasil setiap langkah kegiatan yang telah dilakukannya.
4)      Memberikan setiap kesempatan yang memadai agar setiap murid dapat belajar sesuai dengan karakteristik pribadinya.\
5)      Mengenal dan memahami setiap murid baik secara individual maupun kelompok.
Agar proses belajar dapat lebih terarah dalam upaya membantu siswa dalam mengatasi kesulitan belajar maka perlu diperhatikan langkah-langkah berikut:
a)      Identifikasi
Yaitu suatu kegiatan yang diarahkan untuk menemukan siswa yang mengalami kesulitan belajar. Seperti, data dokumen hasil belajar siswa.
b)      Diagnosis
Yaitu keputusan atau pennetuan mengenai hasil dari pengelolaan data tentang siswa yang mengalami kesulitan belajar dan jenis kesulitan ynag dialami siswa. Seperti, keputusan mengenai jenis kesulitan belajar siswa.
c)      Prognosis
Kegiatan ini merujuk pada aktivitas penyusunan rencana atau program yang diharapkan dapat membantu mengatasi masalah kesulitan belajar siswa. Seperti, bahan atau materi yang diperlukan, metode yang akan digunakan dana lain sebagainya.
d)     Terapi atau pemberian bantuan
Terapi ini berupa pemberian bantuan kepada siswa yang mengalami kesulitan belajar sesuai dengan program yang telah disusun pada program progosis. Seperti, bimbingan belajar kelompok.
e)      Tindakan lanjut atau follow up
Adalah usaha untuk mengetahui keberhasilan bantuan yang telah diberikan kepada siswa dan tindak lanjutnya yang didasari hasil evaluasi terhadap tindakan yang dilakukan dalam upaya pemberian bimbingan.
C.    Simpulan
Masalah belajar adalah  segala sesuatu yang dapat menghambat tercapainya tujuan belajar. Dari berbagai pendapat dapat disimpulkan bahwa maslah-maslah belajar baik intern atau ekstern dapat bersumber atau dalam dinamikanya dapat dikaji dari dimensi gurru maupun dari dimensi siswa. Juga dapat dilihat dari segi tahapannya, maslah belajar dapat terjadi pda waktu sebelum belajar, selama proses belajar dan sesudah belajar.
Dari dimensi siwa, maslah-maslah belajar dapat muncul pada waktu sebelum kegiatan belajar, selama proses belajar berlangsung dan sesudah proses belajar. Sebelum proses belajar, masalah belajar dapat berhubungan minat, kemampuan dan pengalaman-pengalaman siswa. Selama proses belajar, berhubungan dengan motivasi, sikap, konsentrasi dan kemampuan dalam pengolahan pesan yang disampaikan oleh guru dan mampu menggali kembali pesan-pesan yang telah tersimpan serta untuk hasil belajar. Sesudah proses belajar, kemungkinan masalah belajar berkaitan dengan penerapan prestasi atau keterampilan yang sudah diperoleh melalui proses belajar sebelumnya.
Dari dimensi guru, sebelum proses belajar maslah belajar berkaian dengan perencanaan belajar. Selama proses belajar, masalah belajar berkenaan dengan bahan belajar dan sumber belajar. Sesudah kegiatan belajar, maslah belajar yang seing dihadapi oleh guru ialah berkaitan dengan evaluasi hasil belajar.
Faktor-faktor internal dalam belajar ialah; a) karakteristik siswa, b) sikap terhadap belajar, c) motivasi belajar, d) konsentrasi belajar, e) kemampuan mengolah bahan belajar, f) kemampuan menggali hasil belajar, g) rasa percaya diri, h) kebiasaan belajar. Sedangkan dari faktor ekternal maslah belajar ialah; a) faktor guru, b) lingkungan sosial, terutama teman sebaya, c) kurikulum sekolah, sarana dan prasarana.
Guru perlu mengadakan pendekatan pribadi dalam mengatasi masalah belajar, selain pendekatan instruksional dalam berbagai bentuk yang memungkinkan guru dapat lebih mengenal dan memahami siswa serta masalah belajar.
Di dalam memahami maslah belajar guru hendaknya memiliki pandangan bahwa munculnya maslah belajar bukan karena kelemahan guru semata, akan tetapi menjadi salah satu pertanda bahwa kegiatan belajar merupakan aktivitas yang dinamis sehingga maslah-maslah tersebut dapat muncul dari berbagai dimensi, dilihat dari sumber, waktu maupun peristiwa. Oleh karena itu, pemahaman tentang masalah belajar kemungkinan guru dapat mengantisipasi berbagai kemungkinan masalah belajar  ketika proses belajar berlangsung yang dapat menghambat tercapainya tujuan belajar.

DAFTAR PUSTAKA
Aunurrahman. 2011. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Alfabeta.
Dimyati dan Mudjiono. 2010. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Gintings, Abdurrakhman. 2010. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Humaniora.


BAB VI. PERKEMBANGAN MORAL DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN

A.    Pendahuluan
Salah satu komponen penting dalam pelaksanaan pembelajaran adalah pemahaman peserta didik. Aspek-aspek yang terkait dengan peserta didik salah satu diantaranya berkenaan dengan pemahaman perkembangan fisik dan psikis. Dalam teori perkembangan moral, Kohlberg memberikan penekanan tentang pentingnya pemahaman guru terhadap perkembangan moral anak sebagai bagian dari karakteristik individual peserta didik. Dengan memahami perkembangan moral siswa, maka guru dapat mengeksplorasi, memilih dan menentukan bahan belajar, strategi pembelajaran, model-model pemberian motivasi serta bentuk-bentuk evaluasi yang tepat untuk mewujudkan proses pembelajaran yang efektif.
Pada bagian ini akan dibahas perkembangan moral dan implementasinya dalam pembelajaran, dengan menitikberatkan pembahasan pada beberapa teori terkait dengan perkembangan moral, antara lain teori Perkembangan Jean Piaget, teori perkembangan moral Kohlberg, pandangan Psikologi Sosial erik H. erikson, dan implementasi keterpaduan beberapa teori atau pandangan tentang perkembangan moral dalam pembelajaran.
B.     Pembahasan
1.      Teori Perkembangan Jean Peaget
Dalam proses pembelajaran, guru seringkali dihadapkan pada berbagai dinamika yang berkaitan dengan perkembangan peserta didik. Perubahan-perubahan dan perkembangan yang terjadi pada peserta didik ini harus mendapat perhatian dari guru, karena beranjak dari pemahaman ini guru dapat memilih strategi pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik yang terlibat dalam proses pembelajaran.
Dalam teorinya, Piaget mengemukakan bahwa secara umum semua anak berkembang melalui urutan yang sama, meskipun jenis dan tingkat pengalaman mereka berbeda satu sama lainnya. Perkembangan mental anak terjadi secara bertahap dari tahap yang satu ke tahap yang lebih tinggi. Semua perubahan yang  terjadi pada setiap tahap tersebut merupakan kondisi yang diperlukan untuk mengubah atau meningkatkan tahap perkembangan moral berikutnya.
Menurut Piaget tahap-tahap kognitif mempunyai kaitan yang sangat erat dengan empat karakteristik, yaitu:
-         Setiap anak pada usia yang berbeda akan menempatkan cara-cara yang berbeda secara kualitatif, utamanya dalam cara berfikir atau memecahkan permasalahan yang sama.
-         Perbedaan berfikir antara anak yang satu dengan anak yang lain seringkali dapat dilihat dari cara mereka menyusun kerangka berpikir yang saling berbeda.
-         Masing-masing cara berpikir akan membentuk satu kesatuan yang terstruktur.
-         Tiap-tiap urutan dari tahap kognitif pada dasarnya merupakan suatu integrasi hirarkhis dari apa yang telah dialami sebelumnys.
Dalam hal keadilan, Piaget menguraikan tentang pentingnya keadilan distributive (distributif justice), utamanya menyangkut bagaimana cara melaksanakan hukuman dan ganjaran yang seharusnya diberikan kepada tiap-tiap anggota kelompok. Keadilan yang distributif ini menurutnya dibedakan antara yang ekualitas dan ekuisitas. Ekualitas adalah pandangan di mana tiap-tiap orang harus diperlakukan secara sama. Sedangkan ekuitas juga memperhitungkan pertimbangan-pertimbangan dari masing-masing individu.
Kesimpulan mendasar dari hasil pengamatan Piaget adalah bahwa terdapat pola-pola yang konsisten pada perilaku anak yang bergerak dari satu tahap ke tahap berikutnya. Pola-pola perubahan ini terkait secara langsung dengan tingkah usia anak.
2.   Teori Perkembangan Moral Kohlberg
Kohlberg mencoba merevisi dan memperluas teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Piaget. Dalam perluasan teori ini Kohlberg tetap menggunakan pendekatan dasar Piaget yaitu mengahadapi anak-anak dengan serangkaian cerita-cerita yang memuat dilemma moral. Namun demikian cerita-cerita tau situasi yang dikembangkan Kohlberg agaknya lebih kompleks dari cerita-cerita yang digunakan oleh Piaget.
Searah dengan Piaget, Kohlberg melihat bahwa para remaja menerapkan struktur kognitif moral mereka pada dilemma moral. Mereka menafsirkan segala tindakan dan perilaku perkembangan menurut struktur mental mereka sendiri. Dengan demikian Kohlberg menyimpulkan bahwa: (1) penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional, (2) terdapat sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan Piaget, (3) penelitiannya membenarkan gagasan Piaget, bahwa sekitar usia 16 tahun, pada masa remaja merupakan tahap tertinggi dalam proses tercapainya pertimbangan moral. Pada tahap ini Kohlberg mengemukakan beberapa tahap, yaitu:
a.    The Punishment and Obedience Orientation  >  Orientasi pada hukum dan kepatuhan
Jadi, orientasi pada hukuman dan kepatuhan ini merupakan suatu moral yang datangnya bukan dari hati nurani atau bukan atas inisiatif sendiri. Melainkan mereka takut karena adanya aturan dan hukuman (sanksi) bagi yang melanggar peraturan yang ada.
b.    The Instrumental Relativist Orientation  >  Orientasi yang berperan relativis
Bahwasanya pada tahap ini manusia tergantung untuk memenuhi kebutuhannya sendiri terkadang orang lain. Dengan kata lain hal ini tidak menimbulkan kerugian dan merupakan sesuatu yang baik. Yang mana dalam hal ini manusia tidak dapat meninggalkan cara-cara yang dianggap paling sesuai dengan kenyataan untuk diterapkan  dalam kehidupan mereka sehari-hari.
-          Conventional level > Tingkat konvensioanal
Pada level ini, anak-anak sudah tumbuh kesadaran dan penghargaan terhadap individu lain yang dianggap memiliki nilai bagi dirinya. Level ini lebih menekankan pada usaha untuk mengidentifikasi hal-hal yang ada di sekitarnya. Ada dua tahap perkembangan pada level ini, yaitu:
c.    The Interpersonal Concordance of “ Good Boy Nice Girl”  >  Kesesuaian interpersonal anak yang baik.
Pada tahap ini, kesesuaian antara pribadi dengan prilaku, dimana mereka semestinya memiliki prilaku yang baik yang disesuaikan dengan lingkungan sekitar. Dan lingkungan juga mendukung bahwa dia memang berprilaku baik.
d.   The Law and Order Orientation > Orientasi pada hukum dan perintah.
Orientasi ini lebih menekankan pada pelaksanaan dan kepatuhan terhadap tugas dan tata aturan sosial tertentu yang diberlakukan.
-          Past- Conventional, Autonomy, or Principle Level  >  Konvensional, Otonomi, atau  Tingkat Prinsip
Pada level ini, anak-anak sudah ada usaha untuk menentukan nilai-nilai atau prinsip moral yang dianggap valid. Ada dua tahap pada level ini, yaitu:
e.    The Social Contract Legalistic Orientation  >  Orientasi kontrak sosial legalistik
Pada tahap ini, seseorang sudah mempunyai kesadaran yang cukup tinggi akan adanya perbedaan individu tentang nilai maupun pendapat.
f. The Universal Ethical Principle Orientasi  >  Orientasi Prinsip etika yang universal
Pada tahap ini menjelaskan bahwasanya moral dipandang benar tanpa harus dibatasi oleh aturan atau hokum sosial. Akan tetapi, lebih dibatasi oleh kesadaran diri (kata hati) prinsip-prinsip dalam beretika. Prinsip-prinsip tersebut bersifat universal, yaitu mengenai berbagai hal baik hubungan timbal balik, keadilan, persamaan hak asasi, termasuk saling menghormati serta menghargai sesama dan lain sebagainya.
3.      Pandangan Psikologi Sosial Erik H. Erikson
Pada tahap ini Erikson mengemukakan delapan tahap perkembangan, yaitu:
g.    Trust vs Mistrust  >  Kepercayaan vs Ketidakpercayaan.
Tahap ini berkaitan dengan hal-hal yang patut dipercaya dan tidak dipercaya. Dimana factor kepercayaan dan ketidak percayaan yang tumbuh dalam sikap sosial seseorang merupakan factor kritis jika seseorang masuk dalam situasi yang baru. Maka, ia harus mampu menaruh kepercayaan dan kecurigaan (untuk mengantisipasi bahaya).
h.    Autonomy vs Doubt  >  Otonomi vs Keraguan
Pada tahap ini, Ericson mengidealisasikan tumbuhnya sikap positif dan negatif secara bersamaan. Dalam hubungan ini, pertumbuhan ekonomi memerlukan rasa kepercayaan diri.
i.      Initiative vs Guilt  >  Inisiatif/ ide  vs  Bersalah/ rasa bersalah
Tahap ini terdapat konflik yang menonjol, yaitu berkembangnya inisiatif terhadap suatu sasaran atau tujuan dan kemungkinan tumbuhnya rasa bersalah dalam mencapai rasa bersalah atau tujuan. Jadi, rasa bersalah akan berkembang dalam tahap ini karena anak-anak sudah mulai berfikir tentang prestasi. Akan tetapi, masih ada rasa takut apabila tindakannya tidak diterima.
j.      Industry vs Inveriority  >  Industri vs Rasa rendah diri(kurang percaya diri)
Tahap ini adalah tahap dimana anak mulai mampu menggunakan berfikir deduktif. Disamping adanya kemauan untuk belajar mematuhi peraturan. Tahap ini meliputi dua hal, yaitu: Sense Of Industry dan Sense Of Inferiority. Pada tahap ini anak mulai tertarik dengan hal-hal yang rumit yang dapat menyibukkan mereka.
k.     Identity Vs Role Confusen > Identitas dan Kebingungan
Proses identitas diri akan tumbuh dalam diri anak pada saat mereka memasuki usia 4 sampai 6 tahun, dimana anak-anak akan memperoleh kepuasan atau kekuasaan dengan jalan hubungan yang erat antara dirinya dengan orang lain yang sejenis dan dilanjutkan sampai anak-anak telah berusia remaja.
l.      Intimacy Vs Isolution > Intimasi dan Isolasi
Konflik yang paling menonjol pada tahap ini adalah intimasi di pihak ini dan isolasi di pihak lain. Intimasi dilihat sebagai kemampuan seseorang untuk berlaku baik dan bergaul secara harmonis dengan orang lain. Dan isolasi diartikan dimana sesorang tidak lagi mampu berlaku baik dan bergaul dengan orang lain.
m.  Generativity Vs Self-absorption > Pertumbuhan dan Kemandekan
Tahap ini berkaitan dengan perluasan wawasan seseorang mengenai kesejahteraan orang lain atau masyarakatnya dan berkaitan dengan kebutuhan wawasan seseorang mengenai kebutuhan dirinya sendiri.
n.     Integrity Vs Despair > Integritas dan Sia-sia
Integritas dalam diri seseorang dicerminkan dalam kemampuannya menyikapi kehidupannya sebagai sesuatu yang sangat berguna. Sedangkan despair diartikan seseorang yang menganggap kehidupannya adalah hal yang sia-sia.
4.      Memadukan Pandangan Kohlberg, Piaget dan Ericson
Dari pemaparan urian yang berkenaan dengan teori perkembangan moral yang dijadikan bahasan utama menurut  Jean Peaget, Kohlberg maupun kajian pembandingan berdasarkan teori Psikologi Erik H. Erikson dapat dilihat beberapa kesamaan pandangan maupun perbandingan, utamanya berkaitan dengan tahap-tahap perkmebangan moral individu. Kesamaan pandangan yang paling tampak adalah pengakuan terhadap adanya tahap-tahap perkembangan moral individu dari tahap yang paling sederhana dan sangat realistic dalam memandang sesuatu sampai padastruktur yang lebih komplek dan semakin abstrak, walaupun jumlah dan sebutan untuk masing-masing tahap berbeda menurut hasil penelitian dan kajian mereka masing-masing. Di samping adanya bagian-bagian tertentu yang menunjukkan adanya kesamaan pandangan, juga terhadap perbedaan-perbedaan yang secara jelas terlihat dalam kajian yang mereka lakukan.
Kesimpulan Jean Piaget yang menyatakan bahwa semua individu atau anak akan berkembang melalui urutan-urutan yang sama tanpa harus bergantung pada tingkat pengalaman, kondisi kondisi keluarga, lingkungan bahkan kebudayaan cenderung merupakan kesimpulan yang kurang proporsional. Hasil-hasil penelitian lain dan fakta yang bersifat pengalaman menunjukkan bahwa terutama fungsi keluarga memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap proses perkembangan dan moral anak. Hal ini juga berarti bahwa kondisi keluarga untuk hal-hal tertentu dapat menyebabkan perbedaan di dalam urutan-urutan perkembangan anak. Bagi anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga dalam latar kondisi yang normal, kalaupun ada perbedaan, perbedaan itu merupakan sesuatu yang wajar. Namun kenyataan juga menunjukkan bahwa tidak sedikit anak yang dibesarkan dalam kondisi keluarga yang mungkin dapat dikatakan berlebihan. Dalam kondisi ini dapat saja menyebabkan proses perkembangan anak menjadi berbeda. Pandangan Piaget ini juga berbeda dengan pandangan Erik H. Erikson yang melihat bahwa perkembangan tiap-tiap tahap harus didukung oleh pranata-pranata budaya yang kuat, utamanya oleh orang tua dan berikutnya oleh berbagai unsure kemasyarakatan.
5.      Implementasi Keterpaduan dalam Pembelajaran
Dari beberapa teori yang dikemukakan oleh para tokoh memberikan pemikiran tentang pentingnya pemahaman guru perkembangan siswa, pemilihan bahan pembelajaran, penentuan strategi pembelajaran dalam upaya mewujudkan pembelajaran yang optimal.
a)      Pemahaman Peserta Didik
Pemahaman potensi peserta didik merupakan kerangka dasar bagi pemahaman peserta didik secara keseluruhan. Kekeliruan pandangan terhadap keberadaan mereka seringkali menimbulkan dampak yang serius bagi anak. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya pemahaman peserta didik mencakup memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip perkembangan kognitif, kepribadian dan mengidentifikasi bekal ajar awal peserta didik.
Berkenaan dengan prinsip kognitif, guru perlu memahami periode perkembangan kognitif anak. Jean Piaget mengemukakan empat periode perkembangan kognitif anak, yaitu:
1)      Periode sensorimotorik
Pada periode ini, sampai usia kurang lebih delapan belas bulan perkembanagn skema anak lebih terpusat pada sensorimotorik.
2)      Periode operasi awal
Kurang lebih dari usia delapan belas bulan hingga kira-kira tujuh tahun, anak menghayati atau mendalami skema sensorimotorik ke dalam bentuk skema kognitif atau imajinasi dan pikiran.
3)      Periode operasi konkret
Sejak usia kurang lebih tujuh tahun sampai dua belas tahun, perkembangan skema pada periode ini lebih berupa skema kognitif, terutama yang berkaitan dengan keterampilan berpikir dan pemecahan masalah.
4)      Periode operasi formal
Periode ini berlangsung pada usia dua belas tahun ke atas, ciri utama dari periode ini adalah perkembangan kecakapan berpikir simbolik dan pemahaman isi secara bermakna tanpa bergantung pada keberadaan objek fisik atau bahkan pada imajinasi objek masa lalu yang sejenis.
b)      Mengaktualisasi Potensi Siswa
Upaya-upaya pengembangan peserta didik agar mampu merealisasi potensi-potensi yang dimilikinya merupakan tanggung jawab seluruh guru. Dalam praktek pelaksanaan pendidikan di sekolah masih seringkali terdapat respon yang keliru yang memisahkan tanggung jawab guru dalam batas-batas pengembangan potensi tertentu dari peserta didik. Menurut Gordon, 1997 (Aunurrahman, 20011: 78) padahal sesungguhnya pertumbuhan dan perkembangan murid merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh semua sekolah dan guru, dan sangat keliru jika guru hanya bertanggung jawab menyampaikan materi pelajaran pada bidang studinya saja, akan tetapi juga pada upaya pengembangan aspek-aspek nilai atau moral adalah kewajiban seluruh tenaga pendidik/guru dan sekolah.
c)      Pemilihan Bahan Pembelajaran
Dalam pemilihan bahan ajar ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan. Prinsip-prinsip tersebut meliputi prinsip relevansi (hubungan/keterkaitan), konsistensi (ketetapan), dan kecukupan.
Muhibbin Syah menyebutkan beberapa manfaat penting pengetahuan  perkembangan dengan segala aspeknya,  antara lain:
1)      Guru dapat memberikan layanan bantuan dan bimbingan yang tepat kepada siswa dengan pendekatan yang relevan dengan tingkat perkembangannya.
2)      Guru dapat mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan timbulnya kesulitan belajar siswa tertentu lalu segera mengambil langkah-langkah penanggulangan yang tepat sesuai dengan taraf perkembangannya.
3)      Guru dapat menentukan dan menetapkan tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus. Pembelajaran (instruction) dalam hal ini berarti proses atau cara guru membuat siswanya belajar.
C.    Simpulan
Proses pembelajaran yang berdaya dan berhasil guna bukan merupakan kegiatan yang berdiri sendiri, akan tetapi terkait dengan berbagai faktor tersebut tersumber dari kemampuan guru memahami peserta didik dalam berbagai dimensinya. Salah satu dimensi penting adalah berkaitan dengan peserta didik tahap-tahap perkembangan moral anak. Hal ini disebabkan karena setiap anak pada usia yang berbeda akan menempatkan cara-cara yang berbeda pula secara kualitatif, utamanya dalam cara berfikir atau memecahkan masalah. Dalam hal ini terdapat langkah-langkah yang menetapkan dalam kerangka berpikirnya yang menandakan bahwa tiap-tiap anak akan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangan usianya.
Pada dasarnya urutan perkembangan pada anak sama, akan tetapi  juga terdapat perbedaan tentang karakteristik individual sehingga tiap  individu sebagai satu kesatuan jasmani dan rohani mewujudkan dirinya secara utuh dalam keunikannya. Dan guru harus mampu memahami keunikan-keunikan yang dimiliki oleh peserta didiknya agar dapat terdorong untuk berkembang secara optimal, khususnya melalui proses pembelajaran. Utamanya guru dapat memilih model-model pembelajaran dan pendekatan-pendekatan tertentu dalam upaya memotivasi dengan tepat dan lebih optimal. Motivasi ini ada dua macam, yaitu motivasi intrinsik yang berarti motivasi untuk belajar yang berasal dari dalam diri sendiri dan motivasi ekstrinsik yaitu motivasi untuk belajar yang berasal dari luar diri siswa itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Aunurraman. Belajar dan Pembelajaran. 2011. Jakarta: Alfabeta.
Gintings, Abdorrakhman. Esensi Praktis Belajar dan Pembelajaran. 2010. Bandung: Humanora.
Syah, Muhibbin. 2011. Psikologi Belajar. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar