A.
Pendahuluan
Kita telah mengkaji, juga
memahami bahwa keberhasilan proses pembelajaran merupakan muara dari seluruh
aktivitas yang dilakuakan guru dan siswa. Artinya, apapun bentuk
kegiatan-kegiatan guru, mulai dari merancang pembelajaran, memilih dan
menentukan materi, pendekatan, strategi dan metode pembelajaran, memilih dan
menentukan teknik evaluasi, semuanya diarahkan untuk mencapai keberhasilan
belajar siswa. Meskipun guru secara sungguh telah berupaya merancang dan
melaksanakan pembelajaran dengan baik, namun masalah-masalah belajar tetap akan
dijumpai guru. Hal ini merupak pertandabahwa belajar merupakan kegiatang yang
dinamis sehingga guru perlu secara terus menerus mencermati perubahan-perubahan
yang terjadi pada siswa di kelas.
Agar aktivitas-aktifitas
pembelajaran yang dilakukan guru dapat lebih terarah, dan guru dapat memahami
persoalan-persoalan belajar seringkali atau pada umumnya terjadi pada
kebanyakan siswa dalam berbagai bentuk aktivitas pembelajaran, maka akan lebih
baik bilamana guru memiliki bekal pemahaman tentang masalah-masalah
belajar.pemahaman tentang masalah belajar memungkinkan guru dapat
mengantisipasi berbagai kemungkinan munculnya masalah yang dapat menghambat
tercapainya tujuan pembelajaran. Dengan pemahaman itu pula guru dapat menemukan
solusi tindakan yang dianggap tepat jika menemukan masalah-masalah di dalam
pelaksanaan proses pembelajaran.
B.
Pembahasan
1.
Masalah-masalah Internal
Belajar
Masalah-masalah
belajar dapat dilihat dari dimensi guru maupun siswa, juga bisa dari dimensi
tahapannya, dimana masalah belajar dapat terjadi pada waktu sebelum belajar
atau selama proses belajar dan sesudah belajar. Berikut ini adalah beberapa factor internal yang
mempengaruhi proses belajar siswa, antara lain;
a) Ciri khas/karakteristik
siswa
Persoalan ini berkaitan dengan kondisi kepribadian siswa, baik fisik
maupun mental. Berkaitan dengan aspek fisik tentu akan lebih mudah diamati dan
dipahami, dibandingkan dengan dimensi mental atau emosional. Sedangkan
peroalan-persoalan pembelajaran lebih banyak berkaiatan dengan dimensi tersebut
dlam kenyataannya.
Masalah-masalah belajar yang berkenaan dengan siswa sebelum belajar pada
umumnya berkenaan dengan minat, kecakapan dan pengalamn-pengalaman. Jika siswa
memiliki minat yang tinggi untuk belajar, maka ia akan berupaya mempersiapkan
hal-hal yang berkaitan dengan apa yang akan dipelajari secara lebih baik.
b) Sikap terhadap belajar
Sikap sesungguhnya berbeda dengan perbuatan, karena perbuatan merupakan
implementasi atau wujud nyata dari sikap. Namun demikian sikap seseorang akan
tercermin melalui tindakannya.
Sikap
siswa dalam proses belajar, terutama sekali ketika memulai kegiatan belajar
merupakan bagian penting untuk memperhatiakn karena aktivitas belajar siswa
selanjutnya banyak ditentukan oleh sikap siswa ketika akan memulai kegiatan
belajar. Apabila
akan memulai kegiatan belajar siswa memiliki sikap menerima atau kesediaan
emosional untuk belajar, maka ia akan cenderung untuk berusaha terlibat dalam
kegiatan belajar dengan baik dan sebaliknya.
c) Motivasi belajar
Motivasi
merupakan kekuatan yang dapat menjadi pendorong bagi siswa untuk mendayagunakan
potensi-potensi yang ada pada dirinya dan yang ada di luar dirinya untuk
mewujudkan tujuan belajar. Siswa yang memiliki motivasi belajar akan tampak
melalui kesungguhan untuk terlibat di dalam proses belajar, antara lain Nampak
melalui keaktifan bertanya, mengemukakan pendapat, menyimpulkan pelajaran,
mencatat, membuat rangkuman, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan keaktifan
siswa karena adanya dorongan motivasi.
Motivasi
berasal dari baik motivasi dari dalam dirinya sendiri (intrinsik) dan motivasi
dari luar dirinya (ekstrinsik). Seperti yang dikemukakan oleh Abdurrakhman
Gintings (2010:88) menyatakan bahwa motivasi merupakan hasil sejumlah proses,
yang bersifat internal atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan
timbulnya sikap antusiasme dan persistensi (kegigihan) di dalam hal
melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu. Dan rendahnya motivasi merupakan masalah
dalam belajar, karena hal ini memberikan dampak pada pencapaian hasil belajar
yang diharapkan.
d) Konsentrasi belajar
Kesulitan
berkonsentrasi merupakan indikator adanya masalah belajar yang dihadapi siswa,
karena hal itu akan menjadi kendala di dalam mencapai hasil belajar yang
diharapkan. Untuk
membantu siswa agar dapat berkonsentrasi dalam belajar tentu memerlukan waktu
yang cukup lama. Menuntut ketelatenan guru jugadengan bimbingan, perhatian serta bekal kecakapan yang dimiliki
guru, maka secara bertahap hal ini akan dapat dilakukan.
e) Mengolah bahan ajar
Hal ini dapat dikatakan sebagai proses berpikir seseorang untuk mengolah
informasi-informasi yang diterima sehingga menjadi bermakna. Dalam kajian
konstruktivisme mengolah bahan belajar atau mengolah informasi merupakan
kemampuan penting agar seseorang dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri
berdasarkan informasi yang telah ia dapatkan.
f) Menggali hasil belajar
Suatu proses mengaktifkan kembali pesan-pesan yang telah tersimpan
disebut menggali hasil belajar. Kesulitan di dalam proses menggali kembali
pesan-pesan lam mer'upakan kendala di dalam proses pembelajaran karena siswa
akan mengalami kesulitan untuk mengolah pesan-pesan baru yang memiliki
keterkaitan dengan pesan-pesan lama yang telah diterima sebelumnya.
g) Rasa percaya diri
Rasa percaya diri merupakan salah satu kondisi psikologis seseorang yang
berpengaruh terhadap aktivitas fisik dan mental di dalam proses pembelajaran.
Rasa percaya diri pada umumnya muncul ketika seseorang akan melakukan atau
terlibat di dalam suatu aktivitas tertentu di mana pikirannya terarah untuk
mencapai hasil yang diinginkannya. Mendidik dengan memberikan penghargaan dan
pujian jauh lebih baik dari pada mendidik dengan cara mencemooh dan mencela.
Oleh karena itu, orang tua dan guru supaya mendidik anak dengan penghargaan dan
pujian maka anak akan tumbuh dengan percaya diri.
h) Kebiasaan belajar
Kebiasaan ini adalah kebiasaan seseorang yang telah tertanam dalam waktu
yang relatif lama sehingga memberikan ciri di dalam aktivitas belajar yang
dilakukannya. Ada
beberapa bentuk kebiasaan tidak baik siswa yang terjadi di dalam belajar,
yaitu:
1) Belajar tidak teratur
2) Belajar secara
tergesah-gesah(seperti sistem kebut semalam)
3) Belajar apabila menjelang
ulangan atau ujian
4) Tidak memiliki catatan
pelajaran yang lengkap
5) Tidak terbiasa membuat
ringkasan
6) Tidak memiliki motivasi
untuk memperkaya materi pelajaran
7) Kurang percaya diri dalam
menyelesaikan tugas
8) Tidak disiplin waktu
9) Melakukan
kebiasaan-kebiasaan buruk
Misunita (2008) mengemukakan bahwa kesukaran belajar dapat dikelompokkan
berdasarkan tahapan-tahapan dalam pengelolaan informasi, yaitu:
·
Input: kesukaran belajar pada
kategori ini berkaitan dengan masalah penerimaan informasi melalui alat indera.
·
Integration: kesukaran
belajar yang berkaitan dengan memori atau ingatan.
·
Storage: tahap inu sama halnya
dengan tahap integration.
·
Output: informasi yang telah
diproses oleh otak akan muncul dalam bentuk respon melalui kata-kata yang
berupa bahasa, aktivitas otot berupa menuis dan lain sebagainya.
Dari
beberapa tahap kesukaran belajar di atas, dapat disimpulkan mengenai kesukaran
belajar yaitu sebagai gangguan pada satu atau lebih proses dasar psikologis
termasuk dalam memahami atau menggunakan bahasa tulis dan lisan, yang mana
tampak dalam kemampuan menyimak, berfikir, berbicara, membaca, mengeja, dan
menyelesaikan hitungan matematis.
2.
Faktor-faktor Eksternal Belajar
mengenal dan Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa
a) Faktor guru
Guru
adalah pengajar yang mendidik. Ia tidak hanya mengajar bidang studi yang sesuai
dengan keahliannya, tetapi juga menjadi pendidik generasi muda bangsanya.
Sebagai pendidik, ia memusatkan perhatian pada kepribadian siswa, khususnya
berkenaan dengan kebangkitan belajar. Keinginan belajar tersebut merupakan
wujud emansipasi diri siswa. Sebagai guru yang pengajar, ia bertugas mengelola
kegiatan belajar siswa di sekolah.
b) Lingkungan sosial (termasuk
teman sebaya)
Siswa-siswa
di sekolah membentuk suatu lingkungan pergaulan, yang dikenal sebagai
lingkungan sosial siswa. Di dalam lingkungan tersebut ditemukan adanya
kedudukan dan perananan tertentu yang diakui oleh sesama. Jika seorang siswa
terterima maka ia dengan mudah menyesuaikan dengan lingkungannya dan dapat
belajar dengan segera. Sebaliknya, jika ia tertolak maka ia akan merasa
tertekan. Pengaruh lingkungan sosial dapat berupa; pengaruh kejiwaan yang
bersifat menerima atau menolak siswa yang akan berakibat memperkuat atau
memperlemah konsentrasi belajar. Lingkungan sosial meliputi suasana akrab,
gembira, rukun dan lain-lain. Selain itu suasana kelas juga dapat berpengaruh
pada semangat belajar siswa.
c) Kurikulum sekolah
Program
pembelajaran di sekolah mendasarkan diri pada suatu kurikulum. Kurikulum yang
diberlakukan sekolah adalah kurikulum nasional yang disahkan oleh pemerintah
atau yang telah disahkan oleh suatu yayasan pendidikan. Kurikulum terseut
berisi tujuan pendidikan, isi pendidikan, kegiatan belajar-mengajar dan
evaluasi. Berdasarkan kurikulum tersebut, guru menyusun desain instruksional
untuk membelajarkan siswa. Hal itu berarti bahwa program pembelajaran di
sekolah sesuai dengan sistem pendidikan nasional.
d) Sarana dan prasarana
Sarana
pembelajaran meliputi buku pelajaran, buku bacaan, alat dan fasilitas
laboratorium sekolah, dan berbagai media pengajaran yang lain. Prasarana
pembelajaran meliputi gedung sekolah, ruang belajar, lapangan olahraga, tempat
ibadah, dan lain-lain. Lengkapnya sarana dan prasaran mendukung terciptanya
pembelajaran yang cukup baik. Akan tetapi, bukan berarti dengan adanya sarana
dan prasarana yang lengkap menentukan jaminan terselenggaranya proses belajar
yang baik. Paling tidak dengan adanya sarana dan prasarana yang lengkap
bagaimana mengelola sarana dan prasarana pembelajaran sehingga terselenggara
proses belajar yang baik.
3.
Mengenal dan
Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa
Di dalam pelaksanaan tugas
pembelajaran, guru tidak hanya berkewajiban menyajikan materi pelajaran dan
mengevaluasi pekerjaan siswa, akan tetapi juga bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan bimbingan belajar. Sebagai pembimbing belajar siswa, guru harus
mengadakan pendekatan bukan saja melalui pendekatan intruksional, akan tetapi
dibarengi dengan pendekatan yang bersifat pribadi dalam setiap proses belajar
mengajar berlangsung. Abdillah (Aunurrahman, 2011:196) mengemukakan bahwa
sebagai pembimbing dalam proses belajar mengajar, seorang guru diharapkan
mampu;
1)
Memberikan informasi yang
diperlukan dalam proses belajar.
2)
Membantu siswa dalam mengatasi
setiap masalah pribadi yang dihadapinya.
3)
Mengevaluasi hasil setiap
langkah kegiatan yang telah dilakukannya.
4)
Memberikan setiap kesempatan
yang memadai agar setiap murid dapat belajar sesuai dengan karakteristik
pribadinya.\
5)
Mengenal dan memahami setiap
murid baik secara individual maupun kelompok.
Agar proses belajar dapat lebih
terarah dalam upaya membantu siswa dalam mengatasi kesulitan belajar maka perlu
diperhatikan langkah-langkah berikut:
a) Identifikasi
Yaitu
suatu kegiatan yang diarahkan untuk menemukan siswa yang mengalami kesulitan
belajar. Seperti, data dokumen hasil belajar siswa.
b) Diagnosis
Yaitu
keputusan atau pennetuan mengenai hasil dari pengelolaan data tentang siswa
yang mengalami kesulitan belajar dan jenis kesulitan ynag dialami siswa.
Seperti, keputusan mengenai jenis kesulitan belajar siswa.
c) Prognosis
Kegiatan
ini merujuk pada aktivitas penyusunan rencana atau program yang diharapkan
dapat membantu mengatasi masalah kesulitan belajar siswa. Seperti, bahan atau
materi yang diperlukan, metode yang akan digunakan dana lain sebagainya.
d) Terapi atau pemberian
bantuan
Terapi
ini berupa pemberian bantuan kepada siswa yang mengalami kesulitan belajar
sesuai dengan program yang telah disusun pada program progosis. Seperti,
bimbingan belajar kelompok.
e) Tindakan lanjut atau follow
up
Adalah
usaha untuk mengetahui keberhasilan bantuan yang telah diberikan kepada siswa
dan tindak lanjutnya yang didasari hasil evaluasi terhadap tindakan yang
dilakukan dalam upaya pemberian bimbingan.
C.
Simpulan
Masalah
belajar adalah segala sesuatu yang dapat
menghambat tercapainya tujuan belajar. Dari berbagai pendapat dapat disimpulkan
bahwa maslah-maslah belajar baik intern atau ekstern dapat bersumber atau dalam
dinamikanya dapat dikaji dari dimensi gurru maupun dari dimensi siswa. Juga
dapat dilihat dari segi tahapannya, maslah belajar dapat terjadi pda waktu sebelum
belajar, selama proses belajar dan sesudah belajar.
Dari
dimensi siwa, maslah-maslah belajar dapat muncul pada waktu sebelum kegiatan
belajar, selama proses belajar berlangsung dan sesudah proses belajar. Sebelum
proses belajar, masalah belajar dapat berhubungan minat, kemampuan dan
pengalaman-pengalaman siswa. Selama proses belajar, berhubungan dengan
motivasi, sikap, konsentrasi dan kemampuan dalam pengolahan pesan yang
disampaikan oleh guru dan mampu menggali kembali pesan-pesan yang telah
tersimpan serta untuk hasil belajar. Sesudah proses belajar, kemungkinan
masalah belajar berkaitan dengan penerapan prestasi atau keterampilan yang
sudah diperoleh melalui proses belajar sebelumnya.
Dari
dimensi guru, sebelum proses belajar maslah belajar berkaian dengan perencanaan
belajar. Selama proses belajar, masalah belajar berkenaan dengan bahan belajar
dan sumber belajar. Sesudah kegiatan belajar, maslah belajar yang seing
dihadapi oleh guru ialah berkaitan dengan evaluasi hasil belajar.
Faktor-faktor
internal dalam belajar ialah; a) karakteristik siswa, b) sikap terhadap
belajar, c) motivasi belajar, d) konsentrasi belajar, e) kemampuan mengolah
bahan belajar, f) kemampuan menggali hasil belajar, g) rasa percaya diri, h)
kebiasaan belajar. Sedangkan dari faktor ekternal maslah belajar ialah; a)
faktor guru, b) lingkungan sosial, terutama teman sebaya, c) kurikulum sekolah,
sarana dan prasarana.
Guru
perlu mengadakan pendekatan pribadi dalam mengatasi masalah belajar, selain
pendekatan instruksional dalam berbagai bentuk yang memungkinkan guru dapat
lebih mengenal dan memahami siswa serta masalah belajar.
Di
dalam memahami maslah belajar guru hendaknya memiliki pandangan bahwa munculnya
maslah belajar bukan karena kelemahan guru semata, akan tetapi menjadi salah satu
pertanda bahwa kegiatan belajar merupakan aktivitas yang dinamis sehingga
maslah-maslah tersebut dapat muncul dari berbagai dimensi, dilihat dari sumber,
waktu maupun peristiwa. Oleh karena itu, pemahaman tentang masalah belajar
kemungkinan guru dapat mengantisipasi berbagai kemungkinan masalah belajar ketika proses belajar berlangsung yang dapat
menghambat tercapainya tujuan belajar.
DAFTAR PUSTAKA
Aunurrahman.
2011. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Alfabeta.
Dimyati
dan Mudjiono. 2010. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Gintings,
Abdurrakhman. 2010. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Humaniora.
BAB
VI. PERKEMBANGAN MORAL DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN
A.
Pendahuluan
Salah satu komponen penting
dalam pelaksanaan pembelajaran adalah pemahaman peserta didik. Aspek-aspek yang
terkait dengan peserta didik salah satu diantaranya berkenaan dengan pemahaman
perkembangan fisik dan psikis. Dalam teori perkembangan moral, Kohlberg
memberikan penekanan tentang pentingnya pemahaman guru terhadap perkembangan
moral anak sebagai bagian dari karakteristik individual peserta didik. Dengan
memahami perkembangan moral siswa, maka guru dapat mengeksplorasi, memilih dan
menentukan bahan belajar, strategi pembelajaran, model-model pemberian motivasi
serta bentuk-bentuk evaluasi yang tepat untuk mewujudkan proses pembelajaran
yang efektif.
Pada bagian ini akan dibahas
perkembangan moral dan implementasinya dalam pembelajaran, dengan
menitikberatkan pembahasan pada beberapa teori terkait dengan perkembangan
moral, antara lain teori Perkembangan Jean Piaget, teori perkembangan moral
Kohlberg, pandangan Psikologi Sosial erik H. erikson, dan implementasi
keterpaduan beberapa teori atau pandangan tentang perkembangan moral dalam
pembelajaran.
B.
Pembahasan
1.
Teori Perkembangan Jean Peaget
Dalam proses pembelajaran, guru seringkali dihadapkan pada berbagai
dinamika yang berkaitan dengan perkembangan peserta didik. Perubahan-perubahan
dan perkembangan yang terjadi pada peserta didik ini harus mendapat perhatian
dari guru, karena beranjak dari pemahaman ini guru dapat memilih strategi
pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik yang terlibat dalam
proses pembelajaran.
Dalam teorinya, Piaget mengemukakan bahwa secara umum semua anak
berkembang melalui urutan yang sama, meskipun jenis dan tingkat pengalaman
mereka berbeda satu sama lainnya. Perkembangan mental anak terjadi secara
bertahap dari tahap yang satu ke tahap yang lebih tinggi. Semua perubahan yang terjadi pada setiap tahap tersebut merupakan
kondisi yang diperlukan untuk mengubah atau meningkatkan tahap perkembangan
moral berikutnya.
Menurut Piaget tahap-tahap
kognitif mempunyai kaitan yang sangat erat dengan empat karakteristik, yaitu:
-
Setiap anak pada usia yang berbeda akan menempatkan cara-cara yang
berbeda secara kualitatif, utamanya dalam cara berfikir atau memecahkan
permasalahan yang sama.
-
Perbedaan berfikir antara anak yang satu dengan anak yang lain seringkali
dapat dilihat dari cara mereka menyusun kerangka berpikir yang saling berbeda.
-
Masing-masing cara berpikir akan membentuk satu kesatuan yang
terstruktur.
-
Tiap-tiap urutan dari tahap kognitif pada dasarnya merupakan suatu
integrasi hirarkhis dari apa yang telah dialami sebelumnys.
Dalam hal keadilan, Piaget
menguraikan tentang pentingnya keadilan distributive (distributif justice),
utamanya menyangkut bagaimana cara melaksanakan hukuman dan ganjaran yang
seharusnya diberikan kepada tiap-tiap anggota kelompok. Keadilan yang
distributif ini menurutnya dibedakan antara yang ekualitas dan ekuisitas.
Ekualitas adalah pandangan di mana tiap-tiap orang harus diperlakukan secara
sama. Sedangkan ekuitas juga memperhitungkan pertimbangan-pertimbangan dari
masing-masing individu.
Kesimpulan mendasar dari
hasil pengamatan Piaget adalah bahwa terdapat pola-pola yang konsisten pada
perilaku anak yang bergerak dari satu tahap ke tahap berikutnya. Pola-pola
perubahan ini terkait secara langsung dengan tingkah usia anak.
2. Teori Perkembangan Moral
Kohlberg
Kohlberg mencoba
merevisi dan memperluas teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Piaget.
Dalam perluasan teori ini Kohlberg tetap menggunakan pendekatan dasar Piaget
yaitu mengahadapi anak-anak dengan serangkaian cerita-cerita yang memuat
dilemma moral. Namun demikian cerita-cerita tau situasi yang dikembangkan
Kohlberg agaknya lebih kompleks dari cerita-cerita yang digunakan oleh Piaget.
Searah dengan
Piaget, Kohlberg melihat bahwa para remaja menerapkan struktur kognitif moral
mereka pada dilemma moral. Mereka menafsirkan segala tindakan dan perilaku
perkembangan menurut struktur mental mereka sendiri. Dengan demikian Kohlberg
menyimpulkan bahwa: (1) penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat
rasional, (2) terdapat sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan
Piaget, (3) penelitiannya membenarkan gagasan Piaget, bahwa sekitar usia 16
tahun, pada masa remaja merupakan tahap tertinggi dalam proses tercapainya
pertimbangan moral. Pada tahap ini Kohlberg mengemukakan beberapa
tahap, yaitu:
a.
The
Punishment and Obedience Orientation > Orientasi pada hukum dan kepatuhan
Jadi,
orientasi pada hukuman dan kepatuhan ini merupakan suatu moral yang datangnya
bukan dari hati nurani atau bukan atas inisiatif sendiri. Melainkan mereka
takut karena adanya aturan dan hukuman (sanksi) bagi yang melanggar peraturan
yang ada.
b.
The
Instrumental Relativist Orientation >
Orientasi yang berperan relativis
Bahwasanya
pada tahap ini manusia tergantung untuk memenuhi kebutuhannya sendiri terkadang
orang lain. Dengan kata lain hal ini tidak menimbulkan kerugian dan merupakan
sesuatu yang baik. Yang mana dalam hal ini manusia tidak dapat meninggalkan
cara-cara yang dianggap paling sesuai dengan kenyataan untuk diterapkan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
-
Conventional level > Tingkat konvensioanal
Pada
level ini, anak-anak sudah tumbuh kesadaran dan penghargaan terhadap individu
lain yang dianggap memiliki nilai bagi dirinya. Level ini lebih menekankan pada
usaha untuk mengidentifikasi hal-hal yang ada di sekitarnya. Ada dua tahap
perkembangan pada level ini, yaitu:
c.
The
Interpersonal Concordance of “ Good Boy Nice Girl” >
Kesesuaian interpersonal anak yang baik.
Pada
tahap ini, kesesuaian antara pribadi dengan prilaku, dimana mereka semestinya
memiliki prilaku yang baik yang disesuaikan dengan lingkungan sekitar. Dan
lingkungan juga mendukung bahwa dia memang berprilaku baik.
d.
The
Law and Order Orientation > Orientasi pada hukum dan
perintah.
Orientasi
ini lebih menekankan pada pelaksanaan dan kepatuhan terhadap tugas dan tata
aturan sosial tertentu yang diberlakukan.
-
Past- Conventional, Autonomy,
or Principle Level > Konvensional, Otonomi, atau Tingkat Prinsip
Pada
level ini, anak-anak sudah ada usaha untuk menentukan nilai-nilai atau prinsip
moral yang dianggap valid. Ada dua tahap pada level ini, yaitu:
e.
The
Social Contract Legalistic Orientation >
Orientasi kontrak sosial legalistik
Pada
tahap ini, seseorang sudah mempunyai kesadaran yang cukup tinggi akan adanya
perbedaan individu tentang nilai maupun pendapat.
f. The Universal Ethical Principle
Orientasi
> Orientasi Prinsip etika yang
universal
Pada
tahap ini menjelaskan bahwasanya moral dipandang benar tanpa harus dibatasi
oleh aturan atau hokum sosial. Akan tetapi, lebih dibatasi oleh kesadaran diri
(kata hati) prinsip-prinsip dalam beretika. Prinsip-prinsip tersebut bersifat
universal, yaitu mengenai berbagai hal baik hubungan timbal balik, keadilan,
persamaan hak asasi, termasuk saling menghormati serta menghargai sesama dan
lain sebagainya.
3. Pandangan Psikologi Sosial Erik
H. Erikson
Pada tahap ini Erikson
mengemukakan delapan tahap perkembangan, yaitu:
g.
Trust
vs Mistrust > Kepercayaan vs Ketidakpercayaan.
Tahap
ini berkaitan dengan hal-hal yang patut dipercaya dan tidak dipercaya. Dimana
factor kepercayaan dan ketidak percayaan yang tumbuh dalam sikap sosial
seseorang merupakan factor kritis jika seseorang masuk dalam situasi yang baru.
Maka, ia harus mampu menaruh kepercayaan dan kecurigaan (untuk mengantisipasi
bahaya).
h.
Autonomy
vs Doubt
> Otonomi vs Keraguan
Pada
tahap ini, Ericson mengidealisasikan tumbuhnya sikap positif dan negatif secara
bersamaan. Dalam hubungan ini, pertumbuhan ekonomi memerlukan rasa kepercayaan
diri.
i.
Initiative
vs Guilt > Inisiatif/ ide vs
Bersalah/ rasa bersalah
Tahap
ini terdapat konflik yang menonjol, yaitu berkembangnya inisiatif terhadap
suatu sasaran atau tujuan dan kemungkinan tumbuhnya rasa bersalah dalam
mencapai rasa bersalah atau tujuan. Jadi, rasa bersalah akan berkembang dalam
tahap ini karena anak-anak sudah mulai berfikir tentang prestasi. Akan tetapi,
masih ada rasa takut apabila tindakannya tidak diterima.
j.
Industry
vs Inveriority
> Industri vs Rasa rendah
diri(kurang percaya diri)
Tahap
ini adalah tahap dimana anak mulai mampu menggunakan berfikir deduktif.
Disamping adanya kemauan untuk belajar mematuhi peraturan. Tahap ini meliputi
dua hal, yaitu: Sense Of Industry dan Sense Of Inferiority. Pada tahap ini anak
mulai tertarik dengan hal-hal yang rumit yang dapat menyibukkan mereka.
k.
Identity Vs Role Confusen
> Identitas dan Kebingungan
Proses
identitas diri akan tumbuh dalam diri anak pada saat mereka memasuki usia 4
sampai 6 tahun, dimana anak-anak akan memperoleh kepuasan atau kekuasaan dengan
jalan hubungan yang erat antara dirinya dengan orang lain yang sejenis dan
dilanjutkan sampai anak-anak telah berusia remaja.
l.
Intimacy
Vs Isolution > Intimasi dan Isolasi
Konflik
yang paling menonjol pada tahap ini adalah intimasi di pihak ini dan isolasi di
pihak lain. Intimasi dilihat sebagai kemampuan seseorang untuk berlaku baik dan
bergaul secara harmonis dengan orang lain. Dan isolasi diartikan dimana
sesorang tidak lagi mampu berlaku baik dan bergaul dengan orang lain.
m. Generativity Vs Self-absorption
> Pertumbuhan dan Kemandekan
Tahap
ini berkaitan dengan perluasan wawasan seseorang mengenai kesejahteraan orang
lain atau masyarakatnya dan berkaitan dengan kebutuhan wawasan seseorang
mengenai kebutuhan dirinya sendiri.
n. Integrity Vs Despair >
Integritas dan Sia-sia
Integritas
dalam diri seseorang dicerminkan dalam kemampuannya menyikapi kehidupannya
sebagai sesuatu yang sangat berguna. Sedangkan despair diartikan seseorang yang menganggap kehidupannya adalah hal
yang sia-sia.
4.
Memadukan Pandangan Kohlberg,
Piaget dan Ericson
Dari pemaparan urian yang berkenaan dengan teori perkembangan moral yang
dijadikan bahasan utama menurut Jean
Peaget, Kohlberg maupun kajian pembandingan berdasarkan teori Psikologi Erik H.
Erikson dapat dilihat beberapa kesamaan pandangan maupun perbandingan, utamanya
berkaitan dengan tahap-tahap perkmebangan moral individu. Kesamaan pandangan
yang paling tampak adalah pengakuan terhadap adanya tahap-tahap perkembangan
moral individu dari tahap yang paling sederhana dan sangat realistic dalam
memandang sesuatu sampai padastruktur yang lebih komplek dan semakin abstrak,
walaupun jumlah dan sebutan untuk masing-masing tahap berbeda menurut hasil
penelitian dan kajian mereka masing-masing. Di samping adanya bagian-bagian
tertentu yang menunjukkan adanya kesamaan pandangan, juga terhadap
perbedaan-perbedaan yang secara jelas terlihat dalam kajian yang mereka
lakukan.
Kesimpulan Jean Piaget yang menyatakan bahwa semua individu atau anak
akan berkembang melalui urutan-urutan yang sama tanpa harus bergantung pada
tingkat pengalaman, kondisi kondisi keluarga, lingkungan bahkan kebudayaan
cenderung merupakan kesimpulan yang kurang proporsional. Hasil-hasil penelitian
lain dan fakta yang bersifat pengalaman menunjukkan bahwa terutama fungsi
keluarga memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap proses perkembangan dan
moral anak. Hal ini juga berarti bahwa kondisi keluarga untuk hal-hal tertentu
dapat menyebabkan perbedaan di dalam urutan-urutan perkembangan anak. Bagi anak
yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga dalam latar kondisi yang normal,
kalaupun ada perbedaan, perbedaan itu merupakan sesuatu yang wajar. Namun
kenyataan juga menunjukkan bahwa tidak sedikit anak yang dibesarkan dalam
kondisi keluarga yang mungkin dapat dikatakan berlebihan. Dalam kondisi ini
dapat saja menyebabkan proses perkembangan anak menjadi berbeda. Pandangan
Piaget ini juga berbeda dengan pandangan Erik H. Erikson yang melihat bahwa
perkembangan tiap-tiap tahap harus didukung oleh pranata-pranata budaya yang
kuat, utamanya oleh orang tua dan berikutnya oleh berbagai unsure
kemasyarakatan.
5.
Implementasi Keterpaduan dalam
Pembelajaran
Dari
beberapa teori yang dikemukakan oleh para tokoh memberikan pemikiran tentang
pentingnya pemahaman guru perkembangan siswa, pemilihan bahan pembelajaran,
penentuan strategi pembelajaran dalam upaya mewujudkan pembelajaran yang
optimal.
a) Pemahaman Peserta Didik
Pemahaman potensi peserta didik merupakan kerangka dasar bagi pemahaman
peserta didik secara keseluruhan. Kekeliruan pandangan terhadap keberadaan mereka
seringkali menimbulkan dampak yang serius bagi anak. Sebagaimana dikemukakan
sebelumnya pemahaman peserta didik mencakup memahami peserta didik dengan
memanfaatkan prinsip-prinsip perkembangan kognitif, kepribadian dan
mengidentifikasi bekal ajar awal peserta didik.
Berkenaan dengan prinsip kognitif, guru perlu memahami periode
perkembangan kognitif anak. Jean Piaget mengemukakan empat periode perkembangan
kognitif anak, yaitu:
1) Periode sensorimotorik
Pada periode ini, sampai usia kurang lebih delapan belas bulan
perkembanagn skema anak lebih terpusat pada sensorimotorik.
2) Periode operasi awal
Kurang lebih dari usia delapan belas bulan hingga kira-kira tujuh tahun,
anak menghayati atau mendalami skema sensorimotorik ke dalam bentuk skema
kognitif atau imajinasi dan pikiran.
3) Periode operasi konkret
Sejak usia kurang lebih tujuh tahun sampai dua belas tahun, perkembangan
skema pada periode ini lebih berupa skema kognitif, terutama yang berkaitan
dengan keterampilan berpikir dan pemecahan masalah.
4) Periode operasi formal
Periode
ini berlangsung pada usia dua belas tahun ke atas, ciri utama dari periode ini
adalah perkembangan kecakapan berpikir simbolik dan pemahaman isi secara
bermakna tanpa bergantung pada keberadaan objek fisik atau bahkan pada
imajinasi objek masa lalu yang sejenis.
b) Mengaktualisasi Potensi
Siswa
Upaya-upaya pengembangan peserta didik agar mampu merealisasi
potensi-potensi yang dimilikinya merupakan tanggung jawab seluruh guru. Dalam
praktek pelaksanaan pendidikan di sekolah masih seringkali terdapat respon yang
keliru yang memisahkan tanggung jawab guru dalam batas-batas pengembangan
potensi tertentu dari peserta didik. Menurut Gordon, 1997 (Aunurrahman, 20011:
78) padahal sesungguhnya pertumbuhan dan perkembangan murid merupakan tujuan yang
ingin dicapai oleh semua sekolah dan guru, dan sangat keliru jika guru hanya
bertanggung jawab menyampaikan materi pelajaran pada bidang studinya saja, akan
tetapi juga pada upaya pengembangan aspek-aspek nilai atau moral adalah
kewajiban seluruh tenaga pendidik/guru dan sekolah.
c) Pemilihan Bahan Pembelajaran
Dalam pemilihan bahan ajar ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan.
Prinsip-prinsip tersebut meliputi prinsip relevansi (hubungan/keterkaitan),
konsistensi (ketetapan), dan kecukupan.
Muhibbin Syah menyebutkan beberapa manfaat penting
pengetahuan perkembangan dengan segala
aspeknya, antara lain:
1) Guru dapat memberikan layanan bantuan dan bimbingan
yang tepat kepada siswa dengan pendekatan yang relevan dengan tingkat
perkembangannya.
2) Guru dapat mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan
timbulnya kesulitan belajar siswa tertentu lalu segera mengambil
langkah-langkah penanggulangan yang tepat sesuai dengan taraf perkembangannya.
3) Guru dapat menentukan dan menetapkan tujuan
pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus. Pembelajaran (instruction)
dalam hal ini berarti proses atau cara guru membuat siswanya belajar.
C.
Simpulan
Proses pembelajaran yang
berdaya dan berhasil guna bukan merupakan kegiatan yang berdiri sendiri, akan
tetapi terkait dengan berbagai faktor tersebut tersumber dari kemampuan guru
memahami peserta didik dalam berbagai dimensinya. Salah satu dimensi penting
adalah berkaitan dengan peserta didik tahap-tahap perkembangan moral anak. Hal
ini disebabkan karena setiap anak pada usia yang berbeda akan menempatkan
cara-cara yang berbeda pula secara kualitatif, utamanya dalam cara berfikir
atau memecahkan masalah. Dalam hal ini terdapat langkah-langkah yang menetapkan
dalam kerangka berpikirnya yang menandakan bahwa tiap-tiap anak akan berkembang
sesuai dengan tingkat perkembangan usianya.
Pada dasarnya urutan
perkembangan pada anak sama, akan tetapi
juga terdapat perbedaan tentang karakteristik individual sehingga
tiap individu sebagai satu kesatuan
jasmani dan rohani mewujudkan dirinya secara utuh dalam keunikannya. Dan guru
harus mampu memahami keunikan-keunikan yang dimiliki oleh peserta didiknya agar
dapat terdorong untuk berkembang secara optimal, khususnya melalui proses
pembelajaran. Utamanya guru dapat memilih model-model pembelajaran dan
pendekatan-pendekatan tertentu dalam upaya memotivasi dengan tepat dan lebih
optimal. Motivasi ini ada dua macam, yaitu motivasi intrinsik yang berarti
motivasi untuk belajar yang berasal dari dalam diri sendiri dan motivasi
ekstrinsik yaitu motivasi untuk belajar yang berasal dari luar diri siswa itu
sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Aunurraman. Belajar dan Pembelajaran. 2011. Jakarta: Alfabeta.
Gintings, Abdorrakhman. Esensi Praktis Belajar dan Pembelajaran. 2010. Bandung: Humanora.
Syah, Muhibbin. 2011. Psikologi Belajar.
Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar