BAB
IV. MODEL-MODEL PEMBELAJARAN
A.
Pendahuluan
Keberhasilan
proses pembelajaran tidak terlepas dari kemampuan guru mengembangkan
model-model pembelajaran yang berorientasi pada peningkatan intensitas
keterlibatan siswa secara efektif di dalam proses pembelajaran yang tepat pada
dasarnya bertujuan untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang memungkinkan
siswa dapat belajar secara aktif dan menyenangkans ehingga siswa dapat meraih
hasil belajar dan prestasi yang optimal.
Untuk
dapat mengembangkan model pembelajaran yang efektif maka setiap guru harus
memiliki pengetahuan yang memadai berkenaan dengan konsep dan cara-cara
pengimplementasian model-model tersebut dalam proses pembelajaran. Model
pembelajaran yang efektif memilik iketerkaitan dengan tingkat pemahaman guru
terhadap perkembangan dan kondisi siswa-siswa di kelas. Demikian juga pentingnya
pemahaman guru terhadap sarana dan fasilitas sekolah yang tersedia, kondisi
kelas dan beberapa faktor lain yang terkait dengan pembelajaran. Tanpa
pemahaman terhadap berbagai kondisi ini, model yang dikembangkan guru cenderung
tidak dapat meningkatkan peran serta siswa secara optimal dalam pembelajaran,
dan pada akhirnyatidak dapat member sumbangan yang besar terhadap pencapaian
hasil belajar siswa.
B.
Pembahasan
A. Hakikat Model Pembelajaran
Dalam
hal ini model-model pembelajaran yang dipilih dan dikembangkan guru hendaknya
dapat mendorong siswa untuk belajar dengan mendayagunakan potensi yang mereka
miliki secara optimal. Belajar yang kita harapkan bukan sekedar mendengar,
memperoleh atau meneyerap informasi yang disampaikan guru. Belajar harus menyentuh
kepentingan siswa secara mendasar. Belajar harus dimaknai sebagai kegiatan
pribadi siswa dalam menggunakan potensi pikiran dan nuraninya baik terstruktur
maupun tidak terstruktur untuk memperoleh pengetahuan, membangun sikap dan
ketrampilan tertentu.
Dalam
sebuah situs tentang pembelajaran menurut Huitt (Aunurrohman, 2012: 141),
mengemukakan rasionalitas pengembangan model pembelajaran. Model-model
pembelajaran dikembangkan utamanya beranjak dari adanya perbedaan berkaitan
dengan berbagai karakteristik siswa. Karena siswa memiliki berbagai
karakteristik kepribadian, kebiasaan-kebiasaan, modalitas belajar yang
bervariasi antara individu satu dengan yang lain, maka model pembelajaran guru
juga harus selayaknya tidak terpaku hanya pada model tertentu, akan tetapi
harus bervariasi. Di samping didasari pertimbangan keragaman siswa,
pengembangan berbagai model pembelajaran juga dimaksudkan untuk menumbuhkan dan
meningkatkan motivasi belajar siswa, agar mereka tidak jenuh dengan proses
belajar yang sedang berlangsung. Itulah sebabnya maka di dalam menentukan
model-model pembelajaran yang akan dikembangkan, guru harus memiliki Pemahaman
yang baik tentang siswa-siswanya, keragaman kemampuan, motivasi, minat dan
karakteristik pribadi lainnya.
Menurut
Mangkuprawira (Aunurrohman, 2012: 142) untuk memperkokoh pemahaman kita tentang
model-model pembelajaran, perlu dikaji kembali beberapa asumsi tentang belajar,
(1) setiap individu pada setiap tingkatan usia memiliki potensi untuk belajar,
namun dalam prosesnya, keberhasilan antar individu akan beragam; ada yang cepat
dan ada yang lambat bergantung pada motivasi dan cara yang digunakannya, (2)
tiap individu mengalami proses perubahan dimana situasi belajar yang baru
sangat mungkin menimbulkan keraguan, kebingungan bahkan ketidaksenangan, tetapi
di pihak lain banyak juga yang menyenangkan. Sebelum mengkaji lebih dalam
tentang model-model pembelajaran, ada baiknya kita pahami kerangka pikir Gagne (Aunurrohman,
2012: 142) yang menegaskan lima kemampuan manusia yang merupakan hasil belajar
sehingga memerlukan berbagai model dan strategi pembelajaran untuk mencapainya,
yaitu:
1.
Keterampilan intelektual, yakni
sejumlah pengetahuan mulai dari kemampuan baca, tulis, hitung sampai pada
pemikiran yang rumit. Kemampuan ini
sangat tergantung pada kapasitas intelektual, kecerdasan sosial seseorang dan
kesempatan belajar yang tersedia.
2.
Strategi kognitif, yaitu
kemampuan mengatur cara belajar dan berpikir seseorang dalam arti
seluas-luasnya, termasuk kemampuan memecahkkan masalah.
3.
Informasi verbal, yakni
pengetahuan dalam arti informasi dan fakta.
4.
Keterampilan motorik, yakni
kemampuan dalam bentuk keterampilan menggunakan sesuatu, keterampilan gerak.
5.
Sikap dan nilai, yakni hasil
belajar yang berhubungan dengan sikap, intensitas emosional.
Pada dasarnya setiap guru menginginkan agar
materi pelajaran yang disampaikan kepada anak didiknya dapat dipahami secara
tuntas. Sementara setiap guru juga menyadari bahwa untuk dapat memenuhi harapan
tersebut bukanlah sesuatu yang dapat dianggap mudah, karena setiap siswa
memiliki karakteristik yang berbeda baik dari segi minat, potensi, kecerdasan
dan usaha siswa itu sendiri. Dari keberagaman pribadi yang dimiliki oleh siswa
tersebut, kita sebagai guru hendaknya mampu memberikan pelayanan yang sama
sehingga siswa yang menjadi tanggungjawab kita di kelas itu merasa mendapatkan
perhatian yang sama. Untuk memberikan pelayanan yang sama tentunya kita perlu
mencari solusi dan strategi yang tepat, sehingga harapan yang sudah dirumuskan
dalam setiap rencana pembelajaran dapat tercapai.
Penggunaan model pembelajaran yang tepat
dapat mendorong tumbuhnya rasa senang siswa terhadap pelajaran, menumbuhkan dan
meningkatkan motivasi dalam mengerjakan tugas, memberikan kemudahan bagi siswa
untuk memahami pelajaran sehingga memungkinkan siswa mencapai hasil belajar
yang lebih baik. Sebagaimana sebelumnya sudah kita bahas bersama bahwa ukuran
keberhasilan mengajar guru utamanya adalah terletak pada terjadi tidaknya
peningkatan hasil belajar siswa. Karena itu melalui pemilihan model
pembelajaran yang tepat guru dapat memilih atau menyesuaikan jenis pendekatan
dan metode pembelajaran dengan karakteristik materi
pelajaran yang disajikan. Menurut Killen (Aunurrohman, 2012:143) hal penting
yang harus selalu diingat bahwa tidak ada satu strategi pembelajaran yang
paling ampuh untuk segala situasi. Oleh sebab itu guru dituntut untuk memiliki
pemahaman yang komprehensif serta mampu mengambil keputusan yang rasional kapan
waktu yang tepat untuk menerapkan salah satu atau beberapa strategi secara
efektif. Kecermatan guru di dalam menentukan
model pembelajaran menjadi semakin penting, karena pembelajaran adalah
suatu proses yang kompleks yang di dalamnya melibatkan berbagai unsur yang
dinamis. Menurut Huitt (Aunurrohman, 2012) mengingatkan meskipun keterlibatan
siswa dalam pembelajaran di kelas merupakan hal yang sangat penting, akan
tetapi guru harus tetap dapat mengontrol aktivitas perilaku siswa di kelas (classroom management activities),
mencermati perbedaan-perbedaan antarsiswa serta karakteristik masing-masingin
dividu.
Menurut Lieach & Scott (Aunurrohman,
2012: 144), mengingatkan beberapa hal yang perlu dipertimbangkan guru dalam
memilih dan mentukan model pembelajaran dengan mengkaji kemana pembelajaran
akan dititikberatkan, apakah pada outcome, proses atau content. Dalam uraian
masing-masing orientasi tersebut terdapat beberapa aspek kegiatan yang harus
dilakukan guru.
a.
Bilamana guru memutuskan untuk
mengarahkan proses pambelajaran pada outcome, maka guru harus merumuskan
beeberapa pertanyaan untuk dirinya sendiri tentang:
1.
Apa yang saya harapkan dari
siswa-siswa pada akhir pembelajaran;
2.
Jenis pengetahuan dan dorongan
seperti apa yang saya harapkan dapat dimiliki oleh siswa;
3.
Jenis ketrampilan seperti apa
yang saya harapkan dapatdidemonstrasikan oleh para siswa;
4.
Sikap seperti apa yang
seharusnya dimiliki oleh para siswa;
5.
Mengapa saya mkengharuskan
siswa-siswa untuk mempelajari hal ini;
6.
Pengetahuan, sikap dan
ketrampilan apa yang seharusnya penting dimiliki siswa yang harus saya ajarkan;
7.
Bagaimana cara saya mengetahui
bahwa siswa dapat mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang saya
harapkan.
b.
Bilamana guru memutuskan untuk
menitikberatkan pada content pembelajaran, maka guru harus merumuskan beberapa
pertanyaan untuk dirinya sendiri tentang;
1.
Apa saja materi esensial yang
harus dimengerti oleh siswa untuk mendukung hasil belajar yang saya harapkan;
2.
Apa yang menjadi sumber-sumber
belajar yang dapat dipergunakan untuk mendukung materi pembelajaran;
3.
Kemampuan berpikir siswa
seperti apa yang perlu dinilai dan bagaimana cara saya melakukan penilaiannya.
Mengapa hal itu penting untuk dilakukan;
4.
Kekeliruan pemahaman dan
miskonsepsi seperti apa yang umumnya terjadi dalam penyampaian materi yang
dilakukan;
5.
Bagaimana saya dapat
meminimalisasi atau mengurangi kekeliruan pemahaman dan miskonsepsi pada siswa;
c.
Bilamana guru memutuskan untuk
menitikberatkan pada proses pembelajaran, maka guru harus merumuskan beberapa
pertanyaan untuk dirinya sendiri tentang:
1.
Bagaimana strategi yang harus
dilakukan agar siswa dapat lebih mudah memahami melalui pembelajaran yang
dilakukan;
2.
Bagaimana siawa dapat
mengembangkan keterampilan yang dimilikinya;
3.
Bagaimana siiswa dapat
mengembangkan sikap dan nilai;
4.
Bagaimana struktur
pengorganisasian kelas yang harus dikembangkan untuk mendukung terjadinya
proses pembelajaran yang efektif;
5.
Apa saja jenis atau bentuk
strategi pembelajaran yang menjadi penekanan jika dikaitkan dengan jenis sikap,
keterampilan dan pengetahuan yang dikembangkan melalui proses pembelajaran yang
dilakukan;
6.
Bagaimana merancang dan
mengorganisasi materi pembelajaran agar siswa mudah mempelajarinya;
7.
Apakah siswa memiliki
pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk mendukung strategi
pembelajaran yang dikembangkan;
8.
Seberapa banyak waktu, ruang
dan sumber-sumber belajar yang dimiliki sehingga dapat mendukung strategi
pembelajaran yang dipergunakan;
9.
Apakah strategi pemotivasian
dapat dipergunakan untuk mempercepat tumbuhnya rasa percaya diri para siswa;
10.
Bagaimana cara mengetahui bahwa
pembelajaran yang dilaksanakan telah dilaksanakan secara optimal seperti yang
direncanakan.
Jika kita cermati beberapa dasar pemikiran
tentang model pembelajaran seperti dikemukakan di atas, maka kita dapat
memberikan arti yang lebih jelas dan konkret tentang model pembelajaran, Model
pembelajaran dapat diartikan sebagai kerangka
konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam
mengorganisasikan untuk mencapai ntujuan belajar tertentu, dan berfungsi
sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para guru untuk
merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran. Model pembelajaran juga
dapat dimaknai sebagai perangkat rencan atau pola yang dapat dipergunakan untuk
merancang bahan-bahan pembelajaran serta membimbing aktivitas-aktivitas pemmbelajaran.
Menurut Brady (Aunurrohman, 2012: 146), mengemukakan bahwa model pembelajaran
dapat diartikan sebagai blueprint
yang dapat dipergunakan untuk membimbing guru di dalam mempersiapkan dan
melaksanakn pembelajaran. Muntuk lebih memahami model pembelajaran, selanjutnya
ia mengemukakan 4 premis tentang model pembelajaran, yaitu:
1.
Model memberikan arah untuk persiapan
dan implementasi kegiatan pembelajaran. Karena itu model pembelajaran lebih
bermuatan praktis implementatif daripada bermuatan teori.
2.
Meskipun terdapat sejumlah
model pembelajaran yang berbeda, namun pemisahan antara satu model dengan model
yang lain tidak bersifat deskrit. Meskipun terdapat beberapa jenis model yang
berbeda, model-model tersebut memiliki keterkaitan, terlebih lagi di dalam
proses implementasinya. Oleh sebab itu, guru harus menginterpretasikannya ke
dalam perilaku mengajar guru mewujudkan pembelajaran yang bermakna.
3.
Tidak ad satu pun model
pembelajaran yang memiliki kedudukan lebih penting dan lebih baik dari yang
lain. Tidak satu pun model tunggal yang dapat merealisasikan berbagai jenis dan
tingkatan tujuan pembelajaran yang berbeda.
4.
Pengetahuan guru tentang
berbagai model pembelajarn yang memiliki arti penting di dalam mewujudkan
efesiensi yang efektivitas pembelajaran. Keunggulan model pembelajaran dapat
dihasilkan bilamana guru mampu mengadaptasikan atau mengkombinasikan beberapa
model sehingga menjadi lebih serasi dalam mencapai hasil belajar siswa yang
lebih baik.
B. Kelompok dan Jenis Model-Model
Pembelajaran
Ada
sejumlah pandangan atau pendapat berkenaan dengan model pembelajaran yang perlu
kita kaji untuk memperluas pemahaman dan wawasan kita sehingga kita dapat
semakin fleksibel dalam menentukan salah satu atau beberapa model pembelajaran
yang tepat. Beberapa model pembelajaran menurut Lapp, Bender, Ellenwood, &
John (Aunurrohman, 2012: 147) yang berpendapat bahwa berbagai aktivitas belajar
mengajar dapat dijabarkan dari empat model utama, yaitu :
1.
The
Classical Model,
dimana guru lebih menitikberatkan perann ya dalam pemberian informasi melalui
mata pelajaran dan materi pelajaran yang disajikannya.
2.
The
Technological Model, yang lebih menitikberatkan peranan
pendidikan sebagai transmisi informasi, lebih dititikberatkan untuk mencapai
kompetensi individual siswa.
3.
The
Personalized Model, dimana proses pembelajaran dikembangkan
dengan memperhatikan minat, pengalaman dan perkembangan siswa untuk
mengaktualisasikan potensi-potensi individualitasnya.
4.
The
Interaction Model, dengan menitikberatkan pola interdepensi
antara guru dan siswa sehingga tercipta komunikasi dialogis didalam proses
pembelajaran.
Stalling (Aunurrohman, 2012: 147),
mengemukakan 5 model dalam pembelajaran;
1.
The
Exploratory Model, model ini pada dasarnya bertujuan untuk
mengembangkan kreativitas dan independensi siswa.
2.
The
Group Process Model, model ini utamanya diarahkan untuk
mengembangkan kesadarandiri, rasa tanggung jawab dan kemampuan bekerjasama
antara siswa.
3.
The
Develop Mental Cognitive Model, yang menitikberatkan untuk
mengembangkan keterampilan-keterampilan kognitif.
4.
The
Programed Model, yang dititikberatkan untuk mengembangkan
keterampilan-keterampilan dasar melalui modifikasi tingkah laku.
5.
The
Fundamental Model, yang dititikberatkan untuk mengembangkan
keterampilan-keterampilan dasar melalui pengetahuan factual.
Joyce
Weil, dan Calhoun (Aunurrohman, 2012: 148) mendeskripsikan empat kategori model
mengajar, yaitu kelompok model social (social family), kelompok
pengolahan infornmsi(information processing family), kelompok model
personal (personal family), dan kelompok model system perilaku (behavioral
system family). Tiap-tiap model tersebut dijabarkan kedalam beberapa tipe
yang lebih terukur. Jika dituangkan dalam bentuk table adalah sebagai berikut :
MODEL-MODEL PEMBELAJARAN
Families
|
The Social Family
|
The Information Processing Family
|
The Personal Family
|
The Behavioral System Family
|
Models
|
1.
Partners in learning
a.
Positive independence
b.
Structural inquiry
2.
Group investigation
3.
Role Playing
4.
Jurisprudential inquiry
|
1.
Inductive Thingking(classification oriented )
2.
Concept attainment
3.
Mnemonics (memory assist)
4.
Advance organizers
5.
Scientific inquery
6.
Inquery training
7.
Synectics
|
1.
non directive teaching
2.
enhancing self esteem
|
1.
mastery learning
2. direct instruction
3.
simulation
4.
social learning
5.
progammed schedule (task performance reinforcement)
|
Berikut ini diuraikan beberapa diantara
contoh kelompok model-model pembelajaran yang dapat diterapkan guru secara
sinergis melalui aktivitas pembelajaran yang dikelolanya.
1. Kelompok model interaksi sosial
(social interaction models)
Model interaksi sosial adalah suatu model pembelajaran
yang beranjak dari pandangan bahwa segala sesuatu tidak terlepas dari realita
kehidupan, individu tidak mungkin melepaskan dirinya dari interaksi dengan
orang lain. Kelompok model-model sosial ini dirancang dengan memanfaatkan
kerjasama antara siswa melalui berbagai bentuk kegiatan. Menurut Joyce dan Weil
(Aunurrohman, 2012: 149) dengan kerjasama manusia dapat membangkitkan dan
menghimpun tenaga atau energy secara bersama yang kemudian disebut synergy. Model interaksi sosial
didasarkan pada dua asumsi pokok, yaitu;
(1)
Masalah-masalah sosial dapat
diidentifikasi dan dipecahkan melalui kesepakatan-kesepakatan bersama melalui
proses-proses sosial dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat.
(2)
Proses sosial yang demokratis
perlu dikembangkan dalam upaya perbaikan system kehidupan sosial masyarakat
secara terarah dan berkesinambungan.
Model-model sosial ini telah banyak diteliti
dalam rangka menguji keberlakuannya. David, Johnson dkk (1994; 1991), Slavin
(1993) (Aunurrohman, 2012: 149) bahwasanya telah bekerjasama dengan para guru
untuk mengkaji kemanfaatan dari penggunaan cooperative
reward atau hadiah yang diberikan atas suatu kerjasama, dan struktur
tugas-tugas kerjasama atau cooperative
task structure dalam suatu kegiatan kelompok. Hasilnya cukup meyakinkan,
ternyata belajar bersama dapat membantu siswa mengembangkan berbagai dimensi
kemampuannya yang sangat dibutuhkan dalam proses belajar hal ini dikemukakan
oleh Winataputra (Aunurrohman, 2012: 149). Kelompok model interaksi sosial ini
meliputi sejumlah model, yaitu;
a. Investigasi kelompok (Group Investigation)
Kebermaknaan
pembelajaran sesungguhnya sangat bergantung pada bagaimana kebutuhan-kebutuhan
siswa memperoleh dan mengembangkan pengetahuan, nilai-nilai, serta pengalaman
mereka dapat terpenuhi secara optimal melalui kegiatan pembelajaran yang
dilaksanakan. Keaktifan siswa melalui investigasi kelompok ini diwujudkan dalam
aktivitas saling bertukar pikiran melalui komunikasi yang terbuka dan bebas
serta kebersamaan mulai dari kegiatan merencanakan sampai pada pelaksanaan
pemilihan topik-topik investigasi.
Dalam
pandangan Tsio, Goh dan Chia (Aunurrohman, 2012: 151), model investigasi
kelompok secara filosofis beranjak dari paradigma konstruktivis, dimana
terdapat suatu situasi yang didalamnya siswa-siswa berinteraksi dan
berkomunikasi satu sama lain dengan berbagai informasi dan melakukan pekerjaan
secara kolaboratif untuk menginvestigasi suatu masalah, merencanakan,
mempresentasikan serta mengevaluasi kegiatan mereka.
Menurut
Joyce, Weil dan Calhoun (Aunurrohman, 2012: 151) mengungkapkan bahwa model
investigasi kelompok menawarkan agar dalam mengembangkan masalah moral dan
sosial, siswa diorganisasikan dengan cara melakukan penelitian bersama atau “cooperative inquiry” terhadap
masalah-masalah sosial dan moral, maupun masalah akademis.
Kajian
dan pembahasan berkenaan dengan model investigasi kelompok ini juga dikemukakan
oleh Killen (Aunurrohman, 2012: 152), yang berpandangan bahwa model investigasi
kelompok merupakan cara yang langsung dan efisien untuk mengajarkan pengetahuan
akademik sebagai suatu proses sosial.
Seorang
guru dapat menggunakan strategi investigasi kelompok di dalam proses
pembelajaran dengan beberapa keadaan antara lain sebagai berikut;
1.
Bilamana guru bermaksud agar
siswa-siswa mencapai studi yang mendalam tentang isi atau materi, yang tidak
dapat dipahami secara memadai dari sajian-sajian informasi yang terpusat pada
guru;
2.
Bilamana guru bermaksud
mendorong siswa untuk lebih skeptis tentang ide-ide yang disajikan dari
fakta-fakta yang mereka dapatkan;
3.
Bilamana guru bermaksud
meningkatkan minat siswa terhadap suatu topik ddan motivasi mereka membicarakan
berbagai persoalan diluar kelas;
4.
Bilamana guru bermaksud
membantu siswa memahami tindakan-tindakan pencegahan yang diperlukan atas interpretasi
informasi yang berasal dari penelitian-penelitian orang lain yang mungkin dapat
mengarah pada pemahaman yang kurang positif;
5.
Bilamana guru bermaksud
mengembangkan keterampilan-keterampilan penelitian, yang selanjutnya dapat
mereka pergunakan di dalam situasi belajar yang lain, seperti halnya cooperative learning;
6.
Bilamana guru menginginkan
peningkatan dan perluasan kemampuan siswa.
Killen (Aunurrohman,
2012: 152) memaparkan beberapa ciri esensial invertigasi kelompok sebagai
pendekatan pembelajaran adalah;
1.
Para siswa bekerja dalam
kelompok-kelompok kecil dan memiliki indepedensi terhadap guru,
2.
Kegiatan-kegiatan siswa
terfokus pada upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan,
3.
Kegiatan belajar siswa akan
selalu mempersyaratkan mereka untuk mengumpulkan sejumlah data, menganalisisnya
dan mencapai beberapa kesimpulan,
4.
Siswa akan menggunakan
pendekatan yang beragam di dalam belajar,
5.
Hasi-hasil dari penelitian
siswa dipertukarkan di antara seluruh siswa.
Dalam
kajian mendalam tentang model investigasi kelompok ini, Joyce dan Weil
(Aunurrohman, 2012:153), menyimpulkan bahwa model investigasi kelompok memiliki
kelebihan dan komprehensifitas, dimana model ini memadukan penelitian akademik,
intregasi sosial, dan proses belajar sosial.
b. Bermain Peran (Role Playing)
Model
ini dirancang khusunya untuk membantu siswa mempelajari nilai-nilai sosial dan
moral dan pencerminannya dalam perilaku. Sebagai model mengajar, model ini
membantu individu untuk menemukan makna pribdi dalam dunia sosial dan berupaya
memecahkan dilema-dilema dengan bantuan kelompok.
Jika
ditelaah dari esensinya model bermain peran lebih menitikberatkan keterlibatan
partisipan dan pengamat dalam situasi atau masalah nyata serta berusaha
mengatasinya.
Shafel,
dalam sebuah buku yang berjudul “Role
Playing for Social Studies”, yang
dibahas kembali oleh Sumantri dan Permana (Aunurrohman, 2012: 155), menyarankan
9 langkah penerapan role playing di
dalam pembelajaran, yaitu:
· Fase
pertama, membangkitkan semangat kelompok, memperkenalkan siswa dengan masalah
sehingga mereka mengenalnya sebagai suatu bidang yang harus dipelajari.
· Fase
kedua, pemilihan peserta, dimana guru dan siswa menggambarkan berbagai
karakter/ bagaimana rupanya, bagaimana rasanya, dan apa yang mungkin mereka
kemukakan.
· Fase
ketiga, menentukan arena panggung, para pemain peran membuat garis besar skenario, tetapi tidak mempersiapkan dialog
khusus.
· Fase
keempat, mempersiapkan pengamat. Pelibatan pengamat secara aktif merupakan hal
yang sangat penting agar semua anggota kelompok mengalami kegiatan tersebut dan
kemudian menganalisisnya.
· Fase
kelima, pelaksanaan kegiatan. Pada fase ini para pemeran mengasumsikan
perannya, menghayati situasi secara spontan dan saling merespon secara
realistik.
· Fase
keenam, berdiskusi dan mengevaluasi, apakah masalahnya penting, dan apakan
peserta dan pengamat terlibat secara intelektual dan emosional.
· Fase
ketujuh, melakukan lagi permainan peran.
· Fase
kedelapan, dilakukan lagi diskusi dan evaluasi.
· Fase
kesembilan, berbagai pengalaman dan melakukan generalisasi. Guru harus mencoba
membentuk diskusi, setelah mengalami strategi bermain peran yang cukup lama,
untuk dapat menggeneralisasi mengenai pendekatan terhadap situasi masalah serta
akibat-akibat dari pendekatan itu. Semakin memadai pembentukan diskusi ini,
kesimpulan yang dicapai akan semakin mendekati generalisasi.
c. Model Penelitian yurisprudensi (Jurisprodential Inquiry)
Pada
dasarnya metodi ini merupakan metode studi kasus dalam proses peradilan dan
selanjutnya diterapkan dalam suasana belajar disekolah
Model
ini bertujuan membantu siswa belajar berfikir secara sistematis tentang isu-isu
mutahir. Para siswa dituntut merumuskan isu-isu tersebut dan menganalisis
pemikiran-pemikiran alternatif. Model ini juga didasarkan atas konsep tentang
masyarakat dimana terdapat perbedaan-perbedaan pandangan, prioritas dan konflik
antara seseorang dengan yang lain.
Sumantri
dan Permana (Aunurrohman, 2012: 157) mengemukakan penerapan model yurisprodensi
di dalam proses pembelajaran meliputi enam fase yaitu:
· Fase
pertama, guru memperkenalkan materi kepada siswa dengan membacakan cerita atau
sejarah, menyaksiskan film tentang kontroversi nilai, atau mendiskusikan
sesuatu yang terlibat serta mengidentifikasi konflik-konflik nilai tersebut.
· Fase
kedua, para siswa diminta memahami dan menghayati melalui pengertian mereka
tentang masalah atau isu yang didengar atau disaksikan.
· Fase
ketiga,siswa diminta untuk menentukan sikap dirinya terhadap isu yang
dikembangkan dan landasan pemikirannya.
· Fase
keempat, siswa diminta untuk memperjelas konflik-konflik nilai dengan
analogi-analoginya.
· Fase
kelima, memperjelas alasan posisi nilai.
· Fase
keenam, menguji posisi siswa terhadap nilai dan mengkajinya secara cermat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar