Senin, 10 Februari 2014

BAB IV. MODEL-MODEL PEMBELAJARAN

A.    Pendahuluan
Keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari kemampuan guru mengembangkan model-model pembelajaran yang berorientasi pada peningkatan intensitas keterlibatan siswa secara efektif di dalam proses pembelajaran yang tepat pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat belajar secara aktif dan menyenangkans ehingga siswa dapat meraih hasil belajar dan prestasi yang optimal.
Untuk dapat mengembangkan model pembelajaran yang efektif maka setiap guru harus memiliki pengetahuan yang memadai berkenaan dengan konsep dan cara-cara pengimplementasian model-model tersebut dalam proses pembelajaran. Model pembelajaran yang efektif memilik iketerkaitan dengan tingkat pemahaman guru terhadap perkembangan dan kondisi siswa-siswa di kelas. Demikian juga pentingnya pemahaman guru terhadap sarana dan fasilitas sekolah yang tersedia, kondisi kelas dan beberapa faktor lain yang terkait dengan pembelajaran. Tanpa pemahaman terhadap berbagai kondisi ini, model yang dikembangkan guru cenderung tidak dapat meningkatkan peran serta siswa secara optimal dalam pembelajaran, dan pada akhirnyatidak dapat member sumbangan yang besar terhadap pencapaian hasil belajar siswa.

B.     Pembahasan
A.      Hakikat Model Pembelajaran
Dalam hal ini model-model pembelajaran yang dipilih dan dikembangkan guru hendaknya dapat mendorong siswa untuk belajar dengan mendayagunakan potensi yang mereka miliki secara optimal. Belajar yang kita harapkan bukan sekedar mendengar, memperoleh atau meneyerap informasi yang disampaikan guru. Belajar harus menyentuh kepentingan siswa secara mendasar. Belajar harus dimaknai sebagai kegiatan pribadi siswa dalam menggunakan potensi pikiran dan nuraninya baik terstruktur maupun tidak terstruktur untuk memperoleh pengetahuan, membangun sikap dan ketrampilan tertentu.
Dalam sebuah situs tentang pembelajaran menurut Huitt (Aunurrohman, 2012: 141), mengemukakan rasionalitas pengembangan model pembelajaran. Model-model pembelajaran dikembangkan utamanya beranjak dari adanya perbedaan berkaitan dengan berbagai karakteristik siswa. Karena siswa memiliki berbagai karakteristik kepribadian, kebiasaan-kebiasaan, modalitas belajar yang bervariasi antara individu satu dengan yang lain, maka model pembelajaran guru juga harus selayaknya tidak terpaku hanya pada model tertentu, akan tetapi harus bervariasi. Di samping didasari pertimbangan keragaman siswa, pengembangan berbagai model pembelajaran juga dimaksudkan untuk menumbuhkan dan meningkatkan motivasi belajar siswa, agar mereka tidak jenuh dengan proses belajar yang sedang berlangsung. Itulah sebabnya maka di dalam menentukan model-model pembelajaran yang akan dikembangkan, guru harus memiliki Pemahaman yang baik tentang siswa-siswanya, keragaman kemampuan, motivasi, minat dan karakteristik pribadi lainnya.
Menurut Mangkuprawira (Aunurrohman, 2012: 142) untuk memperkokoh pemahaman kita tentang model-model pembelajaran, perlu dikaji kembali beberapa asumsi tentang belajar, (1) setiap individu pada setiap tingkatan usia memiliki potensi untuk belajar, namun dalam prosesnya, keberhasilan antar individu akan beragam; ada yang cepat dan ada yang lambat bergantung pada motivasi dan cara yang digunakannya, (2) tiap individu mengalami proses perubahan dimana situasi belajar yang baru sangat mungkin menimbulkan keraguan, kebingungan bahkan ketidaksenangan, tetapi di pihak lain banyak juga yang menyenangkan. Sebelum mengkaji lebih dalam tentang model-model pembelajaran, ada baiknya kita pahami kerangka pikir Gagne (Aunurrohman, 2012: 142) yang menegaskan lima kemampuan manusia yang merupakan hasil belajar sehingga memerlukan berbagai model dan strategi pembelajaran untuk mencapainya, yaitu:
1.    Keterampilan intelektual, yakni sejumlah pengetahuan mulai dari kemampuan baca, tulis, hitung sampai pada pemikiran yang rumit.  Kemampuan ini sangat tergantung pada kapasitas intelektual, kecerdasan sosial seseorang dan kesempatan belajar  yang tersedia.
2.    Strategi kognitif, yaitu kemampuan mengatur cara belajar dan berpikir seseorang dalam arti seluas-luasnya, termasuk kemampuan memecahkkan masalah.
3.    Informasi verbal, yakni pengetahuan dalam arti informasi dan fakta.
4.    Keterampilan motorik, yakni kemampuan dalam bentuk keterampilan menggunakan sesuatu, keterampilan gerak.
5.    Sikap dan nilai, yakni hasil belajar yang berhubungan dengan sikap, intensitas emosional.
Pada dasarnya setiap guru menginginkan agar materi pelajaran yang disampaikan kepada anak didiknya dapat dipahami secara tuntas. Sementara setiap guru juga menyadari bahwa untuk dapat memenuhi harapan tersebut bukanlah sesuatu yang dapat dianggap mudah, karena setiap siswa memiliki karakteristik yang berbeda baik dari segi minat, potensi, kecerdasan dan usaha siswa itu sendiri. Dari keberagaman pribadi yang dimiliki oleh siswa tersebut, kita sebagai guru hendaknya mampu memberikan pelayanan yang sama sehingga siswa yang menjadi tanggungjawab kita di kelas itu merasa mendapatkan perhatian yang sama. Untuk memberikan pelayanan yang sama tentunya kita perlu mencari solusi dan strategi yang tepat, sehingga harapan yang sudah dirumuskan dalam setiap rencana pembelajaran dapat tercapai.
Penggunaan model pembelajaran yang tepat dapat mendorong tumbuhnya rasa senang siswa terhadap pelajaran, menumbuhkan dan meningkatkan motivasi dalam mengerjakan tugas, memberikan kemudahan bagi siswa untuk memahami pelajaran sehingga memungkinkan siswa mencapai hasil belajar yang lebih baik. Sebagaimana sebelumnya sudah kita bahas bersama bahwa ukuran keberhasilan mengajar guru utamanya adalah terletak pada terjadi tidaknya peningkatan hasil belajar siswa. Karena itu melalui pemilihan model pembelajaran yang tepat guru dapat memilih atau menyesuaikan jenis pendekatan dan metode pembelajaran dengan karakteristik materi pelajaran yang disajikan. Menurut Killen (Aunurrohman, 2012:143) hal penting yang harus selalu diingat bahwa tidak ada satu strategi pembelajaran yang paling ampuh untuk segala situasi. Oleh sebab itu guru dituntut untuk memiliki pemahaman yang komprehensif serta mampu mengambil keputusan yang rasional kapan waktu yang tepat untuk menerapkan salah satu atau beberapa strategi secara efektif. Kecermatan guru di dalam menentukan  model pembelajaran menjadi semakin penting, karena pembelajaran adalah suatu proses yang kompleks yang di dalamnya melibatkan berbagai unsur yang dinamis. Menurut Huitt (Aunurrohman, 2012) mengingatkan meskipun keterlibatan siswa dalam pembelajaran di kelas merupakan hal yang sangat penting, akan tetapi guru harus tetap dapat mengontrol aktivitas perilaku siswa di kelas (classroom management activities), mencermati perbedaan-perbedaan antarsiswa serta karakteristik masing-masingin dividu.
Menurut Lieach & Scott (Aunurrohman, 2012: 144), mengingatkan beberapa hal yang perlu dipertimbangkan guru dalam memilih dan mentukan model pembelajaran dengan mengkaji kemana pembelajaran akan dititikberatkan, apakah pada outcome, proses atau content. Dalam uraian masing-masing orientasi tersebut terdapat beberapa aspek kegiatan yang harus dilakukan guru.
a.    Bilamana guru memutuskan untuk mengarahkan proses pambelajaran pada outcome, maka guru harus merumuskan beeberapa pertanyaan untuk dirinya sendiri tentang:
1.    Apa yang saya harapkan dari siswa-siswa pada akhir pembelajaran;
2.    Jenis pengetahuan dan dorongan seperti apa yang saya harapkan dapat dimiliki oleh siswa;
3.    Jenis ketrampilan seperti apa yang saya harapkan dapatdidemonstrasikan oleh para siswa;
4.    Sikap seperti apa yang seharusnya dimiliki oleh para siswa;
5.    Mengapa saya mkengharuskan siswa-siswa untuk mempelajari hal ini;
6.    Pengetahuan, sikap dan ketrampilan apa yang seharusnya penting dimiliki siswa yang harus saya ajarkan;
7.    Bagaimana cara saya mengetahui bahwa siswa dapat mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang saya harapkan.
b.    Bilamana guru memutuskan untuk menitikberatkan pada content pembelajaran, maka guru harus merumuskan beberapa pertanyaan untuk dirinya sendiri tentang;
1.    Apa saja materi esensial yang harus dimengerti oleh siswa untuk mendukung hasil belajar yang saya harapkan;
2.    Apa yang menjadi sumber-sumber belajar yang dapat dipergunakan untuk mendukung materi pembelajaran;
3.    Kemampuan berpikir siswa seperti apa yang perlu dinilai dan bagaimana cara saya melakukan penilaiannya. Mengapa hal itu penting untuk dilakukan;
4.    Kekeliruan pemahaman dan miskonsepsi seperti apa yang umumnya terjadi dalam penyampaian materi yang dilakukan;
5.    Bagaimana saya dapat meminimalisasi atau mengurangi kekeliruan pemahaman dan miskonsepsi pada siswa;
c.    Bilamana guru memutuskan untuk menitikberatkan pada proses pembelajaran, maka guru harus merumuskan beberapa pertanyaan untuk dirinya sendiri tentang:
1.    Bagaimana strategi yang harus dilakukan agar siswa dapat lebih mudah memahami melalui pembelajaran yang dilakukan;
2.    Bagaimana siawa dapat mengembangkan keterampilan yang dimilikinya;
3.    Bagaimana siiswa dapat mengembangkan sikap dan nilai;
4.    Bagaimana struktur pengorganisasian kelas yang harus dikembangkan untuk mendukung terjadinya proses pembelajaran yang efektif;
5.    Apa saja jenis atau bentuk strategi pembelajaran yang menjadi penekanan jika dikaitkan dengan jenis sikap, keterampilan dan pengetahuan yang dikembangkan melalui proses pembelajaran yang dilakukan;
6.    Bagaimana merancang dan mengorganisasi materi pembelajaran agar siswa mudah mempelajarinya;
7.    Apakah siswa memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk mendukung strategi pembelajaran yang dikembangkan;
8.    Seberapa banyak waktu, ruang dan sumber-sumber belajar yang dimiliki sehingga dapat mendukung strategi pembelajaran yang dipergunakan;
9.    Apakah strategi pemotivasian dapat dipergunakan untuk mempercepat tumbuhnya rasa percaya diri para siswa;
10.               Bagaimana cara mengetahui bahwa pembelajaran yang dilaksanakan telah dilaksanakan secara optimal seperti yang direncanakan.
Jika kita cermati beberapa dasar pemikiran tentang model pembelajaran seperti dikemukakan di atas, maka kita dapat memberikan arti yang lebih jelas dan konkret tentang model pembelajaran, Model pembelajaran dapat diartikan sebagai kerangka  konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan untuk mencapai ntujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para guru untuk merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran. Model pembelajaran juga dapat dimaknai sebagai perangkat rencan atau pola yang dapat dipergunakan untuk merancang bahan-bahan pembelajaran serta membimbing aktivitas-aktivitas pemmbelajaran. Menurut Brady (Aunurrohman, 2012: 146), mengemukakan bahwa model pembelajaran dapat diartikan sebagai blueprint yang dapat dipergunakan untuk membimbing guru di dalam mempersiapkan dan melaksanakn pembelajaran. Muntuk lebih memahami model pembelajaran, selanjutnya ia mengemukakan 4 premis tentang model pembelajaran, yaitu:
1.    Model memberikan arah untuk persiapan dan implementasi kegiatan pembelajaran. Karena itu model pembelajaran lebih bermuatan praktis implementatif daripada bermuatan teori.
2.    Meskipun terdapat sejumlah model pembelajaran yang berbeda, namun pemisahan antara satu model dengan model yang lain tidak bersifat deskrit. Meskipun terdapat beberapa jenis model yang berbeda, model-model tersebut memiliki keterkaitan, terlebih lagi di dalam proses implementasinya. Oleh sebab itu, guru harus menginterpretasikannya ke dalam perilaku mengajar guru mewujudkan pembelajaran yang bermakna.
3.    Tidak ad satu pun model pembelajaran yang memiliki kedudukan lebih penting dan lebih baik dari yang lain. Tidak satu pun model tunggal yang dapat merealisasikan berbagai jenis dan tingkatan tujuan pembelajaran yang berbeda.
4.    Pengetahuan guru tentang berbagai model pembelajarn yang memiliki arti penting di dalam mewujudkan efesiensi yang efektivitas pembelajaran. Keunggulan model pembelajaran dapat dihasilkan bilamana guru mampu mengadaptasikan atau mengkombinasikan beberapa model sehingga menjadi lebih serasi dalam mencapai hasil belajar siswa yang lebih baik.

B.       Kelompok dan Jenis Model-Model Pembelajaran
Ada sejumlah pandangan atau pendapat berkenaan dengan model pembelajaran yang perlu kita kaji untuk memperluas pemahaman dan wawasan kita sehingga kita dapat semakin fleksibel dalam menentukan salah satu atau beberapa model pembelajaran yang tepat. Beberapa model pembelajaran menurut Lapp, Bender, Ellenwood, & John (Aunurrohman, 2012: 147) yang berpendapat bahwa berbagai aktivitas belajar mengajar dapat dijabarkan dari empat model utama, yaitu :
1.    The Classical  Model, dimana guru lebih menitikberatkan perann ya dalam pemberian informasi melalui mata pelajaran dan materi pelajaran yang disajikannya.
2.    The Technological Model, yang lebih menitikberatkan peranan pendidikan sebagai transmisi informasi, lebih dititikberatkan untuk mencapai kompetensi individual siswa.
3.    The Personalized Model, dimana proses pembelajaran dikembangkan dengan memperhatikan minat, pengalaman dan perkembangan siswa untuk mengaktualisasikan potensi-potensi individualitasnya.
4.    The Interaction Model, dengan menitikberatkan pola interdepensi antara guru dan siswa sehingga tercipta komunikasi dialogis didalam proses pembelajaran.
Stalling (Aunurrohman, 2012: 147), mengemukakan 5 model dalam pembelajaran;
1.    The Exploratory Model, model ini pada dasarnya bertujuan untuk mengembangkan kreativitas dan independensi siswa.
2.    The Group Process Model, model ini utamanya diarahkan untuk mengembangkan kesadarandiri, rasa tanggung jawab dan kemampuan bekerjasama antara siswa.
3.    The Develop Mental Cognitive Model, yang menitikberatkan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan kognitif.
4.    The Programed Model, yang dititikberatkan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar melalui modifikasi tingkah laku.
5.    The Fundamental Model, yang dititikberatkan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar melalui pengetahuan factual.
Joyce Weil, dan Calhoun (Aunurrohman, 2012: 148) mendeskripsikan empat kategori model mengajar, yaitu kelompok model social (social family), kelompok pengolahan infornmsi(information processing family), kelompok model personal (personal family), dan kelompok model system perilaku (behavioral system family). Tiap-tiap model tersebut dijabarkan kedalam beberapa tipe yang lebih terukur. Jika dituangkan dalam bentuk table adalah sebagai berikut :
MODEL-MODEL PEMBELAJARAN
Families
The Social Family
The Information Processing Family
The Personal Family
The Behavioral System Family
Models
1.        Partners in learning
a.      Positive independence
b.     Structural inquiry
2.      Group investigation
3.    Role Playing
4.    Jurisprudential inquiry
1.    Inductive Thingking(classification oriented )
2.    Concept attainment
3.    Mnemonics (memory assist)
4.    Advance organizers
5.    Scientific inquery
6.    Inquery training
7.    Synectics
1.    non directive teaching
2.    enhancing self esteem
1.    mastery learning
2.  direct instruction
3.    simulation
4.    social learning
5.    progammed schedule (task performance reinforcement)

Berikut ini diuraikan beberapa diantara contoh kelompok model-model pembelajaran yang dapat diterapkan guru secara sinergis melalui aktivitas pembelajaran yang dikelolanya.
1.    Kelompok model interaksi sosial (social interaction models)
Model interaksi sosial adalah suatu model pembelajaran yang beranjak dari pandangan bahwa segala sesuatu tidak terlepas dari realita kehidupan, individu tidak mungkin melepaskan dirinya dari interaksi dengan orang lain. Kelompok model-model sosial ini dirancang dengan memanfaatkan kerjasama antara siswa melalui berbagai bentuk kegiatan. Menurut Joyce dan Weil (Aunurrohman, 2012: 149) dengan kerjasama manusia dapat membangkitkan dan menghimpun tenaga atau energy secara bersama yang kemudian disebut synergy. Model interaksi sosial didasarkan pada dua asumsi pokok, yaitu;
(1)          Masalah-masalah sosial dapat diidentifikasi dan dipecahkan melalui kesepakatan-kesepakatan bersama melalui proses-proses sosial dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat.
(2)          Proses sosial yang demokratis perlu dikembangkan dalam upaya perbaikan system kehidupan sosial masyarakat secara terarah dan berkesinambungan.
Model-model sosial ini telah banyak diteliti dalam rangka menguji keberlakuannya. David, Johnson dkk (1994; 1991), Slavin (1993) (Aunurrohman, 2012: 149) bahwasanya telah bekerjasama dengan para guru untuk mengkaji kemanfaatan dari penggunaan cooperative reward atau hadiah yang diberikan atas suatu kerjasama, dan struktur tugas-tugas kerjasama atau cooperative task structure dalam suatu kegiatan kelompok. Hasilnya cukup meyakinkan, ternyata belajar bersama dapat membantu siswa mengembangkan berbagai dimensi kemampuannya yang sangat dibutuhkan dalam proses belajar hal ini dikemukakan oleh Winataputra (Aunurrohman, 2012: 149). Kelompok model interaksi sosial ini meliputi sejumlah model, yaitu;
a.   Investigasi kelompok (Group Investigation)
Kebermaknaan pembelajaran sesungguhnya sangat bergantung pada bagaimana kebutuhan-kebutuhan siswa memperoleh dan mengembangkan pengetahuan, nilai-nilai, serta pengalaman mereka dapat terpenuhi secara optimal melalui kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan. Keaktifan siswa melalui investigasi kelompok ini diwujudkan dalam aktivitas saling bertukar pikiran melalui komunikasi yang terbuka dan bebas serta kebersamaan mulai dari kegiatan merencanakan sampai pada pelaksanaan pemilihan topik-topik investigasi.
Dalam pandangan Tsio, Goh dan Chia (Aunurrohman, 2012: 151), model investigasi kelompok secara filosofis beranjak dari paradigma konstruktivis, dimana terdapat suatu situasi yang didalamnya siswa-siswa berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dengan berbagai informasi dan melakukan pekerjaan secara kolaboratif untuk menginvestigasi suatu masalah, merencanakan, mempresentasikan serta mengevaluasi kegiatan mereka.
Menurut Joyce, Weil dan Calhoun (Aunurrohman, 2012: 151) mengungkapkan bahwa model investigasi kelompok menawarkan agar dalam mengembangkan masalah moral dan sosial, siswa diorganisasikan dengan cara melakukan penelitian bersama atau “cooperative inquiry” terhadap masalah-masalah sosial dan moral, maupun masalah akademis.
Kajian dan pembahasan berkenaan dengan model investigasi kelompok ini juga dikemukakan oleh Killen (Aunurrohman, 2012: 152), yang berpandangan bahwa model investigasi kelompok merupakan cara yang langsung dan efisien untuk mengajarkan pengetahuan akademik sebagai suatu proses sosial.
Seorang guru dapat menggunakan strategi investigasi kelompok di dalam proses pembelajaran dengan beberapa keadaan antara lain sebagai berikut;
1.    Bilamana guru bermaksud agar siswa-siswa mencapai studi yang mendalam tentang isi atau materi, yang tidak dapat dipahami secara memadai dari sajian-sajian informasi yang terpusat pada guru;
2.    Bilamana guru bermaksud mendorong siswa untuk lebih skeptis tentang ide-ide yang disajikan dari fakta-fakta yang mereka dapatkan;
3.    Bilamana guru bermaksud meningkatkan minat siswa terhadap suatu topik ddan motivasi mereka membicarakan berbagai persoalan diluar kelas;
4.    Bilamana guru bermaksud membantu siswa memahami tindakan-tindakan pencegahan yang diperlukan atas interpretasi informasi yang berasal dari penelitian-penelitian orang lain yang mungkin dapat mengarah pada pemahaman yang kurang positif;
5.    Bilamana guru bermaksud mengembangkan keterampilan-keterampilan penelitian, yang selanjutnya dapat mereka pergunakan di dalam situasi belajar yang lain, seperti halnya cooperative learning;
6.    Bilamana guru menginginkan peningkatan dan perluasan kemampuan siswa.
Killen (Aunurrohman, 2012: 152) memaparkan beberapa ciri esensial invertigasi kelompok sebagai pendekatan pembelajaran adalah;
1.    Para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil dan memiliki indepedensi terhadap guru,
2.    Kegiatan-kegiatan siswa terfokus pada upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan,
3.    Kegiatan belajar siswa akan selalu mempersyaratkan mereka untuk mengumpulkan sejumlah data, menganalisisnya dan mencapai beberapa kesimpulan,
4.    Siswa akan menggunakan pendekatan yang beragam di dalam belajar,
5.    Hasi-hasil dari penelitian siswa dipertukarkan di antara seluruh siswa.

Dalam kajian mendalam tentang model investigasi kelompok ini, Joyce dan Weil (Aunurrohman, 2012:153), menyimpulkan bahwa model investigasi kelompok memiliki kelebihan dan komprehensifitas, dimana model ini memadukan penelitian akademik, intregasi sosial, dan proses belajar sosial.

b.   Bermain Peran (Role Playing)
Model ini dirancang khusunya untuk membantu siswa mempelajari nilai-nilai sosial dan moral dan pencerminannya dalam perilaku. Sebagai model mengajar, model ini membantu individu untuk menemukan makna pribdi dalam dunia sosial dan berupaya memecahkan dilema-dilema dengan bantuan kelompok.
Jika ditelaah dari esensinya model bermain peran lebih menitikberatkan keterlibatan partisipan dan pengamat dalam situasi atau masalah nyata serta berusaha mengatasinya.
Shafel, dalam sebuah buku yang berjudul “Role Playing for Social Studies”,  yang dibahas kembali oleh Sumantri dan Permana (Aunurrohman, 2012: 155), menyarankan 9 langkah penerapan role playing di dalam pembelajaran, yaitu:
·      Fase pertama, membangkitkan semangat kelompok, memperkenalkan siswa dengan masalah sehingga mereka mengenalnya sebagai suatu bidang yang harus dipelajari.
·      Fase kedua, pemilihan peserta, dimana guru dan siswa menggambarkan berbagai karakter/ bagaimana rupanya, bagaimana rasanya, dan apa yang mungkin mereka kemukakan.
·      Fase ketiga, menentukan arena panggung, para pemain peran membuat garis besar  skenario, tetapi tidak mempersiapkan dialog khusus.
·      Fase keempat, mempersiapkan pengamat. Pelibatan pengamat secara aktif merupakan hal yang sangat penting agar semua anggota kelompok mengalami kegiatan tersebut dan kemudian menganalisisnya.
·      Fase kelima, pelaksanaan kegiatan. Pada fase ini para pemeran mengasumsikan perannya, menghayati situasi secara spontan dan saling merespon secara realistik.
·      Fase keenam, berdiskusi dan mengevaluasi, apakah masalahnya penting, dan apakan peserta dan pengamat terlibat secara intelektual dan emosional.
·      Fase ketujuh, melakukan lagi permainan peran.
·      Fase kedelapan, dilakukan lagi diskusi dan evaluasi.
·      Fase kesembilan, berbagai pengalaman dan melakukan generalisasi. Guru harus mencoba membentuk diskusi, setelah mengalami strategi bermain peran yang cukup lama, untuk dapat menggeneralisasi mengenai pendekatan terhadap situasi masalah serta akibat-akibat dari pendekatan itu. Semakin memadai pembentukan diskusi ini, kesimpulan yang dicapai akan semakin mendekati generalisasi.

c.    Model Penelitian yurisprudensi (Jurisprodential Inquiry)
Pada dasarnya metodi ini merupakan metode studi kasus dalam proses peradilan dan selanjutnya diterapkan dalam suasana belajar disekolah
Model ini bertujuan membantu siswa belajar berfikir secara sistematis tentang isu-isu mutahir. Para siswa dituntut merumuskan isu-isu tersebut dan menganalisis pemikiran-pemikiran alternatif. Model ini juga didasarkan atas konsep tentang masyarakat dimana terdapat perbedaan-perbedaan pandangan, prioritas dan konflik antara seseorang dengan yang lain.
Sumantri dan Permana (Aunurrohman, 2012: 157) mengemukakan penerapan model yurisprodensi di dalam proses pembelajaran meliputi enam fase yaitu:
·      Fase pertama, guru memperkenalkan materi kepada siswa dengan membacakan cerita atau sejarah, menyaksiskan film tentang kontroversi nilai, atau mendiskusikan sesuatu yang terlibat serta mengidentifikasi konflik-konflik nilai tersebut.
·      Fase kedua, para siswa diminta memahami dan menghayati melalui pengertian mereka tentang masalah atau isu yang didengar atau disaksikan.
·      Fase ketiga,siswa diminta untuk menentukan sikap dirinya terhadap isu yang dikembangkan dan landasan pemikirannya.
·      Fase keempat, siswa diminta untuk memperjelas konflik-konflik nilai dengan analogi-analoginya.
·      Fase kelima, memperjelas alasan posisi nilai.
·      Fase keenam, menguji posisi siswa terhadap nilai dan mengkajinya secara cermat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar