Jumat, 12 Juni 2015
A. HAKIKAT WACANA BI
Pengertian Wacana
Istilah
wacana berasal dari bahasa sansakerta wac/wak/vak, artinya berkata
berucap (Douglas, 1976:262). Menurut Webster wacana diartikan sebagai ucapan
lisan dan dapat juga berupa tulisan, tetapi persyaratannya harus dalam satu
rangkaian (connected) dan dibentuk oleh lebih dari sebuah kalimat.
Menurut Tarigan (dalam Djajasudarma, 1994:5), wacana adalah satuan bahasa
terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan
koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal
dan akhir yang nyata. Dari pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa
wacana merupakan satuan bahasa yang lengkap dan disusun secara teratur dan
membentuk suatu makna.
Wacana menurut Harimurti Kridalaksana (Kamus Linguistik, 2011: )
yaitu satuan satuan bahasa terlengkap, yang dalam hirarki kebahasaan merupakan
satuan gramatikal tertinggi, dan terbesar.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa, wacana adalah satuan gramatikal yang
merupakan tataran linguistik tertinggi. Atau dapat dikatakan bahwa, wacana
adalah satuan bahasa yang utuh dan mencakup satu kesatuan yang saling
berhubungan secara padu, baik berupa wacana lisan maupun tulisan.
B. PRASYARAT WACANA
Syarat Terpenuhinya Suatu Wacana ada tiga, dengan penjelasan
sebagai berikut:
1.
Topik
Topik di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2011) adalah pokok pembicaraan dalam diskusi, ceramah, karangan, atau
bahan diskusi, dan sebagainya.
2.
Kohesi
Kohesi
merupakan organisasi sintaksis, merupakan wadah kalimat-kalimat disusun secara
padu dan padat untuk menghasilkan tuturan. Hal ini berarti bahwa kohesi adalah
hubungan antar kalimat dalam sebuah wacana, baik dalam strata gramatikal maupun
dalam setrata leksikal tertentu. (Gutwinsky, 1976: 26 dalam Tarigan (2009: 93). Berikut
beberapa unsur bahwa suatu wacana mengandung prasyarat kohesi:
a)
Kepaduan
b)
Keutuhan
c)
Aspek
bentuk (form)
d)
Aspek
lahiriah
e)
Aspek
formal
f)
Organisasi
sintaksis
g)
Unsur
internal
3.
Koherensi
Koherensi adalah
kekompakan hubungan antar kalimat dalam wacana. Koherensi juga hubungan timbal
balik yang serasi antar unsur dalam kalimat Keraf (dalam Mulyana 2005: 30).
Sejalan dengan hal tersebut Halliday dan Hasan (dalam Mulyana 2005: 31)
menegaskan bahwa struktur wacana pada dasarnya bukanlah struktur sintaktik,
melainkan struktur semantik, yakni semantik kalimat yang di dalamnya mengandung
proposisi-proposisi. Sebab beberapa kalimat hanya akan menjadi wacana sepanjang
ada hubungan makna (arti) di antara kalimat-kalimat itu sendiri. Dan berikut
beberapa unsur bahwa suatu wacana dapat dikatakan koherensi:
a)
Kerapian
b)
Kesinambungan
c)
Aspek
makna (meaning)
d)
Aspek
batiniah
e)
Aspek
ujaran
f)
Organisasi
semantik
g)
Unsur
eksternal
C. TEKS, KOTEKS, DAN KONTEKS
1.
Pengertian Teks
Teks merupakan naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang.
(KBBI, 2011). Ada beberapa pegertian yang dikemukakan oleh para ahli terkait
dengan teks. Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan ahli tersebut
secara keseluruhan hampir sama. Luxemburg (1989) yang dikutip Tedi dalam
makalahnya menyatakan bahwa teks ialah ungkapan bahasa yang menurut isi,
sintaksis, dan pragmatik merupakan satu kesatuan. Teks dalam hal ini tidak
hanya dipandang dari sisi tata bahasa yang sifatnya tertulis atau unsur-unsur
kebahasaan yang dituliskan, lebih dari itu, suatu teks juga dilihat dari segi
maksud dan makna yang diujarkan. Teks memiliki kesatuan dan kepaduan antara isi
yang ingin disampaikan dengan bentuk ujaran, dan situasi kondisi yang ada.
Dengan kata lain, bahwa teks itu berupa ungkapan berupa bahasa yang di dalamnya
terdiri dari satu kesatuan antar isi, bentuk, dan situasi kondisi
penggunaannya.
Kridalaksana (2011:238) dalam Kamus Linguistiknya menyatakan bahwa
teks adalah (1) satuan bahasa terlengkap yang bersifat abstrak, (2) deretan
kalimat, kata, dan sebagainya yang membentuk ujaran, (3) ujaran yang dihasilkan dalam interaksi
manusia. Dilihat dari tiga pengertian teks yang dikemukakan dalam Kamus
Linguistik tersebut dapat dikatakan bahwa teks adalah satuan bahasa yang bisa
berupa bahasa tulis dan bisa juga berupa bahasa lisan yang dahasilkan dari
interaksi atau komunikasi manusia.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat diartikan bahwa teks
adalah suatu kesatuan bahasa yang memiliki isi dan bentuk, baik lisan maupun
tulisan yang disampaikan oleh seorang pengirim kepada penerima untuk
menyampaikan pesan tertentu. Teks tidak hanya berbentuk deretan kalimat-kalimat
secara tulis, namun juga dapat berupa ujaran-ujaran atau dalam bentuk lisan,
bahkan ada juga teks itu terdapat di balik teks.
2.
Pengertian Ko-Teks
Ko-teks adalah kalimat yang mendahului dan atau yang mengikuti di
dalam wacana. (KBBI Offline) Dilihat berdasarkan makna dalam Kamus Linguistik
(2011:137), koteks
diartikan sebagai kalimat atau unsur-unsur yang mendahului dan/atau mengikuti
sebuah unsur lain dalam wacana. Koteks
adalah teks yang mendampingi teks lain dan mempunyai keterkaitan dan
kesejajaran dengan teks yang didampinginya. Keberadaan teks yang didampingi itu
bisa terletak di depan (mendahului) atau di belakang teks yang mendampingi
(mengiringi). Sebagai contoh pada kalimat “Selamat
Datang” dan “Selamat Jalan” yang
terdapat di pintu masuk suatu kota, daerah, atau perkampungan.
Kedua kalimat di atas memiliki keterkaitan. Kalimat “Selamat Jalan” merupakan ungkapan dari
adanya kalimat sebelumnya, yaitu “Selamat
Datang”. Kalimat “Selamat Datang”
dapat dimaknai secara utuh ketika adanya kalimat sesudahnya, yaitu “Selamat
Jalan”, begitu juga sebaliknya. Keberadaan koteks dalam suatu wacana
menunjukkan bahwa struktur suatu teks memiliki hubungan dengan teks lainnya.
Hal itulah yang membuat suatu wacana menjadi utuh dan lengkap.
3.
Pengertian Konteks
Menurut Mulyana (2005: 21) konteks dapat dianggap
sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan/dialog. Segala sesuatu
yang berhubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud,
maupun informasinya, sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi
peristiwa tuturan itu. Seperti terpola dari bagan berikut:
Proses Peristiwa Bertutur
Pembicara
(O1) Pasangan Bicara (O2)
Maksud
(pra ucap) pemahaman (pascaucap)
Pensandian
(encoding) pembacaan
sandi (decoding)
Pengucapan
(fonasi) penyimakan (audisi)
Untuk
mendapatkan pemahaman wacana yang menyeluruh, konteks harus dipahami dan
dianalisi secara mutlak. Sebagaimana Contoh
dialog di bawah berikut ini:
Dialog I
Pembicara : Ibu
Pendengar : Bapak
Tempat : Rumah
Situasi : Sedang menunggu anaknya kembali dari rumah pamannya
Pendengar : Bapak
Tempat : Rumah
Situasi : Sedang menunggu anaknya kembali dari rumah pamannya
karena mengambil sesuatu yang dipinjam
Waktu : Pukul 09.00 WIB
Ketika si anak kembali, si ibu mengatakan, “Cepat sekali kamu pulang.”
Dialog II
Waktu : Pukul 09.00 WIB
Ketika si anak kembali, si ibu mengatakan, “Cepat sekali kamu pulang.”
Dialog II
Pembicara : Ibu
Pendengar : Bapak
Tempat : Rumah
Situasi : Menunggu anaknya yang belum kembali dari rumah temannya
Pendengar : Bapak
Tempat : Rumah
Situasi : Menunggu anaknya yang belum kembali dari rumah temannya
Waktu : Pukul 00.00
Wib
Ketika si anak datang, si Ibu mengatakan, “Cepat sekali kamu pulang”.
Ketika si anak datang, si Ibu mengatakan, “Cepat sekali kamu pulang”.
Kalimat “Cepat sekali kamu pulang” yang diucapkan si ibu pada
dialog I dan II memiliki bentuk yang sama, tetapi maknanya berbeda. Kalimat
pada dialog I, si ibu sungguh-sungguh mengatakan bahwa anaknya sangat cepat
kembali dari rumah paman atau dapat dikatakan si Ibu memuji anaknya yang
melaksanakan perintah/kerja dengan cepat. Berbeda dengan dialog II, kalimat itu
memiliki makna sindiran pada anaknya yang terlambat pulang ke rumah. Kata
“Cepat sekali kamu pulang” pada kalimat dialog II bukan makna sebenarnya yang
menyatakan si anak pulang dengan cepat, malah sebaliknya, yaitu pulangnya
lambat.
Hal ini harus diterangkan secara pragmatik karena kata-kata maupun
kalimatnya secara semantik tidak memperlihatkan arti sindiran. Dengan begitu,
pendengar atau pembaca harus mengetahui konteks kalimat tersebut agar dapat
mengetahui maksud suatu kalimat itu dengan tepat.
4.
Macam-Macam
Konteks
1)
Konteks Situasi
Halliday & Hasan (1994) mengatakan yang dimaksud dengan konteks
situasi adalah lingkungan langsung tempat teks itu benar-benar berfungsi. Atau
dengan kata lain, kontek situasi adalah keseluruhan lingkungan, baik lingkungan
tutur (verbal) maupun lingkungan tempat teks itu diproduksi (diucapkan atau
ditulis). Dalam pandangan Halliday (1994: 16), konteks situasi terdiri dari (1)
medan wacana, (2) pelibat wacana, dan (3) modus/sarana wacana. Medan wacana
merujuk pada aktivitas sosial yang sedang terjadi atau apa yang sesungguhnya
disibukkan oleh para pelibat. Pelibat wacana merujuk pada orang-orang yang
mengambil bagian, sifat para pelibat, kedudukan dan peran mereka, jenis-jenis
hubungan peranan apa yang terdapat di antara para pelibat. Sarana wacana
merujuk pada bagian bahasa yang sedang dimainkan dalam situasi, termasuk
saluran yang dipilih, apakah lisan atau tulisan.
Hymes dalam Brown & Yule (1983: 38-39) memberi
penjelasan lebih rinci mengenai ciri-ciri konteks yang relevan dalam konteks
situasi, yaitu:
a)
Pembicara/Penulis (Addressor)
b)
Pendengar/pembaca (Addresse)
c)
Topik
pembicaraan (Topic)
d)
Saluran
(Channel)
e)
Kode
(Code/bahasa)
f)
Bentuk
Pesan (Message Form)
g)
Peristiwa
(Event)
h)
Tempat
dan waktu (Setting)
2)
Konteks Pengetahuan
Schiffirin (2007: 549) mengatakan bahwa
teori tindak tutur dan pragmatik memandang konteks dalam istilah pengetahuan,
yaitu apa yang mungkin bisa diketahui oleh antara si pembicara dengan mitra tutur dan bagaimana pengetahuan tersebut
membimbing/menunjukkan penggunaan bahasa dan interpretasi tuturannya. Artinya
ketika pembicara dan mitra tutur memiliki kesamaan pengetahuan akan apa yang
dibicarakan atau dapat juga disebut common ground, maka kesalahpahaman
atau ketidaktepatan interpretasi tidak akan terjadi.
Imam Syafi’e (1990: 126) menambahkan bahwa, apabila
dicermati dengan benar, konteks terjadinya suatu percakapan dapat dipilah menjadi empat macam, yaitu: (a) Konteks
linguistik (kalimat); (b) Konteks epistemis (latar belakang pengetahuan yang
sama-sama diketahui oleh partisipan); (c) Konteks fisik (meliputi tempat
terjadinya percakapan, objek yang disajikan di dalam percakapan dan tindakan
para partisipan); (d) Konteks sosial (relasi sosio-kultural yang melengkapi
hubungan antarpelaku atau partisipan dalam percakapan).
5.
Hubungan Antara Teks, Ko-Teks Dan Konteks Dalam Kajian Wacana
Berdasarkan ketiga definisi dari
teks, koteks, dan konteks tersebut maka dapat dikatakan bahwa hubungan antara
teks, koteks dan konteks sangatlah erat atau selalu berkaitan dan tidak dapat
dipisahkan. Dengan adanya koteks dalam struktur wacana menunjukkan bahwa teks
tersebut memiliki struktur yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya
sehingga wacana menjadi utuh dan lengkap. Kemudian, dengan adanya konteks, maka
munculah sebuah wacana yang terdiri dari teks-teks. Hal tersebut dikarenakan
makna yang terealisasi di dalam teks merupakan hasil interaksi pemakai bahasa
dengan konteksnya, sehingga konteks merupakan wahana terbentuknya teks.
Langganan:
Postingan (Atom)