Jumat, 12 Juni 2015

F. PRAANGGAPAN




1.   Praanggapan
a.    Pengertian
Secara etimologi praanggapan (presuposisi) berasal dari kata to pre-suppose, yang dalam bahasa Inggris berarti to suppose beforehand (menduga sebelumnya), dalam arti sebelum pembicara atau penulis mengujarkan sesuatu ia sudah memiliki dugaan sebelumnya tentang kawan bicara atau hal yang dibicarakan. Nababan dalam Eva (2012: 11) mengemukakan bahwa praanggapan sebagai dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa yang membuat bentuk bahasa yang mempunyai makna bagi pendengar atau penerima bahasa itu dan sebaliknya membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa yang dipakainya untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud.
Menurut Lubis dalam Eva (2012: 11-12) Praanggapan pragmagtik membedakan dua konsep, yakni (1) pranggapan semantik, dan (2) praanggapan pragmatik. Praanggapan semantik adalah bila suatu pernyataan dapat ditarik praanggapannya melalui leksikon. Praanggapan pragmatik adalah bila suatu pernyataan dapat ditarik praanggapannya melalui konteks. Jadi, suatu ujaran tidak selalu dapat ditanggakap maknanya hanya dengan mengetahui ujaan itu saja, tetapi ujaran itu harus ditambah dengan pengetahuan bersama yang dimiliki oleh pesapa sehingga makna sebuah ujaran dapat dipahami.
Praanggapan telah didefinisikan dengan berbagai macam cara, namun secara umum berarti asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik tertentu (Cummings, 2007: 42). Menurut Yule dalam Eva (2012: 12) Praanggapan adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa praanggapan merupakan suatu anggapan awal yang secara tersirat dimiliki oleh sebuah ungkapan kebahasaan sebagai wujud tanggapan awal pendengar dalam merespon suatu ungkapan kebahasaan.
Contoh:
-       Iqbal telah berhenti mengayuh sepedanya”. Dalam kalimat tersebut terkandung beberapa praanggapan yang mendukung arti kalimat itu sendiri, yaitu:
(a) Iqbal tentunya memiliki sepeda.
(b) Sebelum pernyataan itu diungkapkan sebelumnya Iqbal pastilah sedang mengayuh sepedanya.
-       Kayawan pendiam itu paling rajin dibanding yang lain”. Praanggapan yang bisa saja muncul dari kalimat tersebut adalah seorang karyawan yang pendiam namun rajin. Apabila pada kenyataannya memang ada seorang karyawan yang pendiam dan rajin, ukuran ini dapat dinilai benar atau salahnya. Sebaliknya apabila di tempat kerja tidak ada karyawan yang pendiam dan rajin, makaukuran tersebut tidak dapat ditentukan benar atau salahnya.
b.    Jenis-Jenis Praanggapan
Menurut Gorge Yule dalam Eva (2012: 14) Gorge Yule mengklasifikasikan praanggapan ke dalam 6 jenis praanggapan,  yaitu :
1)   Praanggapan Eksistensial
Presuposisi (praanggapan) eksistensial adalah praanggapan yang menunjukkan eksistensi/ keberadaan/ jati diri referen yang diungkapkan dengan kata yang definit (pasti). Contoh: (a) Orang itu berjalan; (b) Ada orang berjalan.
2)   Praanggapan Faktif
Presuposisi (praanggapan) faktif adalah praanggapan di mana informasi yang dipraanggapkan mengikuti kata kerja dapat dianggap sebagai suatu kenyataan. Contoh: (a) Saya gembira bahwa ini berakhir => praamggapan dalam tuturan ini disebabkan kata “gembira” yang diasumsikan “bahwa ini berakhir”. (b) Kami menyesal mengatakan kepadanya => kata “Menyesal” diasumsikan sebagai bentuk kenyataan bahwa “kami” tidak berniat mengatakan hal itu. (Eva, 2012: 15)
3)   Praanggapan Leksikal
Presuposisi (praanggapan) leksikal dipahami sebagai bentuk praanggapan di mana makna yang dinyatakan secara konvensional (secara umum) ditafsirkan dengan praanggapan bahwa suatu makna lain (yang tidak dinyatakan) dipahami. Contoh: (a) Dia Berhenti Bekerja => Kata “berhenti” secara leksikal mempunyai makna tidak beraktivitas. Sehingga kata tersebut mempunyai praanggapan bahwa “dulu dia pernah bekerja”.
4)   Praanggapan Non-faktif
Presuposisi (praanggapan) non-faktif adalah suatu praanggapan yang diasumsikan tidak benar. Contoh: (a) Andi membayangkan bahwa dia kurus; (b) Andi tidak kurus. (c) Tika berpura-pura sakit.
5)   Praanggapan Struktural
Presuposisi (praanggapan) struktural mengacu pada sturktur kalimat-kalimat tertentu telah dianalisis sebagai praanggapan secara tetap dan konvensional bahwa bagian struktur itu sudah diasumsikan kebenarannya. Hal ini tampak dalam kalimat tanya, secara konvensional diinterpretasikan dengan kata tanya (kapan dan di mana) seudah diketahui sebagai masalah. Contoh: (a) Di mana Anda membeli sepeda itu?; (b) Kapan dia pergi?
6)   Praanggapan Konterfaktual
Presuposisi (praanggapan) konterfaktual berarti bahwa yang dipraanggapkan tidak hanya tidak benar, tetapi juga merupakan kebalikan (lawan) dari benar atau bertolak belakang dengan kenyataan. Contoh: (a) Seandainya dia mempunyai ijazah SMA, pastilah akan memperoleh pekerjaan yang lebih layak. (b) Andai kata kamu ikut kuliah mingu lalu, pasti kamu tidak akan mengikuti ujian susulan.
2.   Implikatur (Makana Tersirat)
Konsep implikatur  kali pertama dikenalkan oleh H.P. Grice (1975) untuk memcahkan persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa. Implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang dimaksud oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah Brown dan Yule (1983:1). Sebagai contoh, kalau ada ujaran panas disini bukan? Maka secara implisit/didalamnya penutur menghendaki agar mesin pendingin di hidupkan atau jendela dibuka.
Contoh: “Dia seorang perwira karena itu dia pemberani,”. Pada contoh tersebut, penutur tidak secara langsung menyatakan bahwa suatu ciri (pemberani) disebabkan oleh ciri lain (seorang perwira), tetapi bentuk ungkapan yang dipakai secara konvensional berimplikasi bahwa hubungan seperti itu ada. Kalau individu itu dimaksud seorang perwira dan tidak pemberani, implikaturnya yang keliru tetapi ujaran tidak salah.
1)   Deiksis, Referensi dan Inferensi
a)    Deiksis
Deiksis adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti “penunjukan”. Sehingga ungkapan yang menunjukan kepada suatu objek disebut dengan ungkapan deiksis (Yule, 1996). Misalnya kita menggunakan ungkapan yang mengandung kata “ini”, “itu”, “-mu”, “-ku”, “-nya”, “disini”, “disana”, “sekarang”, “tadi”, “kemudian”, maka ungkapan itu menjadi ungkapan deiksis. Dengan demikian, ada rujukan yang ‘berasal dari penutur’, ‘dekat dengan penutur’ dan ‘jauh dari penutur’. Ada tiga jenis deiksis, yaitu :
-       Deiksis Ruang (berkaitan dengan lokasi relatif penutur dan mitra tutur yang terlibat di dalam interaksi. Di dalam bahasa Indonesia, misalnya, kita mengenal di sini, di situ, dan di sana. Titik tolak penutur diungkapkan dengan ini dan itu).
-       Deiksis Persona (dapat dilihat pada bentuk-bentuk pronominal. Bentuk-bentuk pronominal itu sendiri dibedakan atas pronominal orang pertama, pronominal orang kedua, dan pronominal orang ketiga. Di dalam bahasa Indonesia, bentuk ini masih dibedakan atas bentuk tunggal dan bentuk jamak).
-       Dieksis Waktu (berkaitan dengan waktu relatif penutur atau penulis dan mitra tutur atau pembaca. Pengungkapan waktu di dalam setiap bahasa berbeda-beda).
b)   Referensi dan Inferensi
Adapun variabel-variabel yang bermain dalam deiksis adalah referensi dan inferensi. Referensi adalah rujukan yang dimaksud oleh penutur deiksis, sementara itu inferensi konsep yang kurang lebih harus sama dengan referensi tetapi ada dalam pikiran pendengar. Setiap kata atau ungkapan deiksis yang dituturkan itu merujuk pada objek atau pengertian tertentu (reference) dan pendengar harus memiliki pengetahuan mengenai apa yang dirujuk oleh tuturan itu (inference).
Dalam upaya untuk mencerna referensi penutur, pendengar harus memperhatikan pilihan kata yang digunakan oleh penutur sekaligus mengaitkan  makna kata tersebut dengan gestur penutur (Huang, 2007). Misalnya penutur menggunakan deiksis spasial “itu” seraya menggunakan jari telunjuk, wajah, mata atau yang lain untuk membantu pendengar mengetahui referensi yang dimaksud. Akan tetapi, dapatkah itu terjadi jika ungkapan deiksis itu digunakan atau diproduksi lewat alat komunikasi tak langsung seperti telepon, surat, SMS, dan sebagainya?.
Huang (2007:134) menyebutkan bahwa gestur merupakan penggunaan dasar dan simbol seperti kata merupakan penggunaan yang lebih luas. Kedua (gestur dan simbol) memang saling membantu satu sama lain, agar ungkapan dapat dimengerti. Tetapi satu hal yang dilupakan oleh kedua pakar ini adalah kondisi skemata pendengar (addressee) yang juga bermain peran sangat penting dalam penelaahan inferensi.
Skemata pendengar yang berasal dari pengalaman dialogis (pengalaman-pengalaman yang saling berhubungan) seharusnya mendapatkan perhatian yang lebih penting daripada sekedar membahas bagaimana memproduksi ungkapan deiksis.
3.   Contoh Analisi Praanggapan dalam sebuah wacana
Kartun Kompas Edisi Maret 2012 “Dia sebenarnya jujur” (4 Maret)
X                 : Saya terima tiga mobil itu dari mana?itu mereka berhalusinasi...!!!
Yoga                        : Halah kutu kumpret, bohong.
Sukribo        : Gak tahu malu, dasar.
Pak Haji       : Heh,  jangan  nuduh  orang  sembarangan  dik.  Dia  itu  jujur  jangan
  berburuk sangka!!!
Yoga                        : Mpphh, kayaknya tambah lagi nih kiayi baju biru.
Pak Haji       : Bisa saja kan dia gak terima tiga mobil, tapi empat...
Tuturan     :
a)      ƒSaya terima tiga mobil itu dari mana? itu mereka berhalusinasi...!!!„
b)      ƒHalah kutu kumpret, bohong. Gak tahu malu, dasar„
c)      ƒMpphh, kayaknya tambah lagi nih kiayi baju biru„
d)     ƒHeh,  jangan  nuduh orang  sembarangan dik.  Dia itu  jujur jangan  berburuk sangka!!! Bisa saja kan dia gak terima tiga mobil, tapi empat„
Praanggapan:
(a) X dituduh menerima mobil dari seseorang
(b) X berbohong
(c) Kiayi terlibat dalam pembicaraan
(d) X menerima empat mobil.

Analisi:
Praanggapan (a) adalah praanggapan  non  faktif karena kata dituduh belum bisa dipastikan kebenarannya. Demikian juga dengan pranggapan (b) dan (d) belum bisa dipastikan kebenerannya si X berbohong atau tidak. Selanjutnya si X menerima empat mobil atau  tiga mobil karena dalam percakapan  tersebut tidak dinyatakan keberadaan  suatu  bukti.  Praanggapan (c) merupakan  praanggapan  ekstensial karena pak  Haji terlibat dalam pembicaraan  mengenai mobil si X bukan terlibat atas pemerolehan mobil si X. Oleh karena itu keberadaan pak haji diakui terlibat dalam pembicaraan tersebut.
Sukribo,  Yoga,  X,  dan  pak Haji sebagai partisipan,  berbicara tentang mobil yang diterima oleh X. Dimana belum dapat dipastikan X menerima tiga mobil atau empat karena pada pembicaraan tersebut tidak disinggung mengenai bukti. Kemudian yang menjadi pengetahuan bersama adalah bahwa Sukribo dan Yoga sedang marah, X sedang membela diri dan pak Haji mencoba menenangkan situasi. Selanjutnya kita tahu biasanya Kiayi ahli dalam menenangkan situasi yang sedang memanas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar