1.
Praanggapan
a.
Pengertian
Secara etimologi praanggapan
(presuposisi) berasal dari kata to pre-suppose, yang dalam bahasa
Inggris berarti to suppose beforehand (menduga sebelumnya), dalam arti sebelum
pembicara atau penulis mengujarkan sesuatu ia sudah memiliki dugaan sebelumnya
tentang kawan bicara atau hal yang dibicarakan. Nababan dalam Eva (2012: 11)
mengemukakan bahwa praanggapan sebagai dasar atau penyimpulan dasar mengenai
konteks dan situasi berbahasa yang membuat bentuk bahasa yang mempunyai makna
bagi pendengar atau penerima bahasa itu dan sebaliknya membantu pembicara
menentukan bentuk-bentuk bahasa yang dipakainya untuk mengungkapkan makna atau
pesan yang dimaksud.
Menurut Lubis dalam Eva (2012: 11-12)
Praanggapan pragmagtik membedakan dua konsep, yakni (1) pranggapan semantik,
dan (2) praanggapan pragmatik. Praanggapan semantik adalah bila suatu
pernyataan dapat ditarik praanggapannya melalui leksikon. Praanggapan pragmatik
adalah bila suatu pernyataan dapat ditarik praanggapannya melalui konteks.
Jadi, suatu ujaran tidak selalu dapat ditanggakap maknanya hanya dengan
mengetahui ujaan itu saja, tetapi ujaran itu harus ditambah dengan pengetahuan
bersama yang dimiliki oleh pesapa sehingga makna sebuah ujaran dapat dipahami.
Praanggapan telah didefinisikan dengan
berbagai macam cara, namun secara umum berarti asumsi-asumsi atau
inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik tertentu (Cummings,
2007: 42). Menurut Yule dalam Eva (2012: 12) Praanggapan adalah sesuatu yang
diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa praanggapan
merupakan suatu anggapan awal yang secara tersirat dimiliki oleh sebuah
ungkapan kebahasaan sebagai wujud tanggapan awal pendengar dalam merespon suatu
ungkapan kebahasaan.
Contoh:
-
“Iqbal telah
berhenti mengayuh sepedanya”. Dalam kalimat tersebut terkandung beberapa
praanggapan yang mendukung arti kalimat itu sendiri, yaitu:
(a) Iqbal tentunya memiliki sepeda.
(b) Sebelum pernyataan itu diungkapkan
sebelumnya Iqbal pastilah sedang mengayuh sepedanya.
-
“Kayawan pendiam
itu paling rajin dibanding yang lain”. Praanggapan yang bisa saja muncul
dari kalimat tersebut adalah seorang karyawan yang pendiam namun rajin. Apabila
pada kenyataannya memang ada seorang karyawan yang pendiam dan rajin, ukuran
ini dapat dinilai benar atau salahnya. Sebaliknya apabila di tempat kerja tidak
ada karyawan yang pendiam dan rajin, makaukuran tersebut tidak dapat ditentukan
benar atau salahnya.
b.
Jenis-Jenis Praanggapan
Menurut Gorge Yule dalam Eva (2012: 14)
Gorge Yule mengklasifikasikan praanggapan ke dalam 6 jenis praanggapan, yaitu :
1)
Praanggapan Eksistensial
Presuposisi (praanggapan) eksistensial
adalah praanggapan yang menunjukkan eksistensi/ keberadaan/ jati diri referen
yang diungkapkan dengan kata yang definit (pasti). Contoh: (a) Orang itu berjalan; (b) Ada orang berjalan.
2)
Praanggapan Faktif
Presuposisi (praanggapan) faktif adalah
praanggapan di mana informasi yang dipraanggapkan mengikuti kata kerja dapat
dianggap sebagai suatu kenyataan. Contoh: (a) Saya gembira bahwa ini berakhir => praamggapan dalam tuturan ini
disebabkan kata “gembira” yang diasumsikan “bahwa ini berakhir”. (b) Kami
menyesal mengatakan kepadanya => kata
“Menyesal” diasumsikan sebagai bentuk kenyataan bahwa “kami” tidak berniat
mengatakan hal itu. (Eva, 2012: 15)
3)
Praanggapan Leksikal
Presuposisi (praanggapan) leksikal
dipahami sebagai bentuk praanggapan di mana makna yang dinyatakan secara
konvensional (secara umum) ditafsirkan dengan praanggapan bahwa suatu makna
lain (yang tidak dinyatakan) dipahami. Contoh: (a) Dia Berhenti Bekerja => Kata “berhenti” secara leksikal
mempunyai makna tidak beraktivitas. Sehingga kata tersebut mempunyai
praanggapan bahwa “dulu dia pernah bekerja”.
4)
Praanggapan Non-faktif
Presuposisi (praanggapan) non-faktif
adalah suatu praanggapan yang diasumsikan tidak benar. Contoh: (a) Andi
membayangkan bahwa dia kurus; (b)
Andi tidak kurus. (c) Tika berpura-pura sakit.
5)
Praanggapan Struktural
Presuposisi (praanggapan) struktural
mengacu pada sturktur kalimat-kalimat tertentu telah dianalisis sebagai
praanggapan secara tetap dan konvensional bahwa bagian struktur itu sudah
diasumsikan kebenarannya. Hal ini tampak dalam kalimat tanya, secara
konvensional diinterpretasikan dengan kata tanya (kapan dan di mana) seudah
diketahui sebagai masalah. Contoh:
(a) Di mana Anda membeli sepeda itu?; (b) Kapan dia pergi?
6)
Praanggapan Konterfaktual
Presuposisi (praanggapan) konterfaktual
berarti bahwa yang dipraanggapkan tidak hanya tidak benar, tetapi juga
merupakan kebalikan (lawan) dari benar atau bertolak belakang dengan kenyataan. Contoh: (a) Seandainya dia mempunyai ijazah SMA, pastilah akan memperoleh
pekerjaan yang lebih layak. (b) Andai kata kamu ikut kuliah mingu lalu, pasti
kamu tidak akan mengikuti ujian susulan.
2.
Implikatur (Makana Tersirat)
Konsep implikatur kali pertama dikenalkan
oleh H.P. Grice (1975) untuk memcahkan persoalan makna bahasa yang tidak dapat
diselesaikan oleh teori semantik biasa. Implikatur dipakai untuk
memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang dimaksud oleh penutur sebagai
hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah Brown dan Yule (1983:1).
Sebagai contoh, kalau ada ujaran panas disini bukan? Maka secara
implisit/didalamnya penutur menghendaki agar mesin pendingin di hidupkan atau
jendela dibuka.
Contoh: “Dia seorang perwira karena itu
dia pemberani,”. Pada contoh tersebut, penutur tidak secara langsung
menyatakan bahwa suatu ciri (pemberani) disebabkan oleh ciri lain (seorang
perwira), tetapi bentuk ungkapan yang dipakai secara konvensional berimplikasi
bahwa hubungan seperti itu ada. Kalau individu itu dimaksud seorang perwira dan
tidak pemberani, implikaturnya yang keliru tetapi ujaran tidak salah.
1) Deiksis,
Referensi dan Inferensi
a)
Deiksis
Deiksis adalah istilah yang berasal dari
bahasa Yunani yang berarti “penunjukan”. Sehingga ungkapan yang menunjukan
kepada suatu objek disebut dengan ungkapan deiksis (Yule, 1996). Misalnya kita
menggunakan ungkapan yang mengandung kata “ini”, “itu”, “-mu”, “-ku”, “-nya”,
“disini”, “disana”, “sekarang”, “tadi”, “kemudian”, maka ungkapan itu menjadi
ungkapan deiksis. Dengan demikian, ada rujukan yang ‘berasal dari penutur’,
‘dekat dengan penutur’ dan ‘jauh dari penutur’. Ada tiga jenis deiksis, yaitu :
-
Deiksis Ruang (berkaitan
dengan lokasi relatif penutur dan mitra tutur yang terlibat di dalam interaksi.
Di dalam bahasa Indonesia, misalnya, kita
mengenal di sini, di situ, dan di
sana. Titik tolak penutur diungkapkan dengan ini dan itu).
-
Deiksis Persona (dapat
dilihat pada bentuk-bentuk pronominal. Bentuk-bentuk pronominal itu sendiri
dibedakan atas pronominal orang pertama, pronominal orang kedua, dan pronominal
orang ketiga. Di dalam bahasa Indonesia, bentuk ini masih dibedakan atas bentuk
tunggal dan bentuk jamak).
-
Dieksis Waktu (berkaitan
dengan waktu relatif penutur atau penulis dan mitra tutur atau pembaca.
Pengungkapan waktu di dalam setiap bahasa berbeda-beda).
b)
Referensi dan Inferensi
Adapun variabel-variabel yang bermain
dalam deiksis adalah referensi dan inferensi. Referensi adalah rujukan yang dimaksud oleh penutur deiksis,
sementara itu inferensi konsep yang
kurang lebih harus sama dengan referensi tetapi ada dalam pikiran pendengar.
Setiap kata atau ungkapan deiksis yang dituturkan itu merujuk pada objek atau
pengertian tertentu (reference) dan
pendengar harus memiliki pengetahuan mengenai apa yang dirujuk oleh tuturan itu
(inference).
Dalam upaya untuk mencerna referensi
penutur, pendengar harus memperhatikan pilihan kata yang digunakan oleh penutur
sekaligus mengaitkan makna kata tersebut
dengan gestur penutur (Huang, 2007). Misalnya penutur menggunakan deiksis
spasial “itu” seraya menggunakan jari telunjuk, wajah, mata atau yang lain
untuk membantu pendengar mengetahui referensi yang dimaksud. Akan tetapi,
dapatkah itu terjadi jika ungkapan deiksis itu digunakan atau diproduksi lewat
alat komunikasi tak langsung seperti telepon, surat, SMS, dan sebagainya?.
Huang (2007:134) menyebutkan bahwa gestur
merupakan penggunaan dasar dan simbol seperti kata merupakan penggunaan yang
lebih luas. Kedua (gestur dan simbol) memang saling membantu satu sama lain,
agar ungkapan dapat dimengerti. Tetapi satu hal yang dilupakan oleh kedua pakar
ini adalah kondisi skemata pendengar (addressee)
yang juga bermain peran sangat penting dalam penelaahan inferensi.
Skemata pendengar yang berasal dari pengalaman
dialogis (pengalaman-pengalaman yang saling berhubungan) seharusnya mendapatkan
perhatian yang lebih penting daripada sekedar membahas bagaimana memproduksi
ungkapan deiksis.
3.
Contoh Analisi Praanggapan dalam sebuah wacana
Kartun Kompas Edisi Maret 2012 “Dia sebenarnya jujur” (4 Maret)
X : Saya terima tiga mobil itu dari mana?itu mereka
berhalusinasi...!!!
Yoga : Halah kutu kumpret, bohong.
Sukribo : Gak tahu malu, dasar.
Pak Haji : Heh, jangan nuduh
orang sembarangan dik.
Dia itu jujur
jangan
berburuk sangka!!!
Yoga : Mpphh, kayaknya tambah lagi nih kiayi baju
biru.
Pak Haji : Bisa saja kan dia gak terima tiga mobil, tapi empat...
Tuturan :
a)
ƒSaya terima tiga
mobil itu dari mana? itu mereka berhalusinasi...!!!„
b)
ƒHalah kutu kumpret,
bohong. Gak tahu malu, dasar„
c)
ƒMpphh, kayaknya
tambah lagi nih kiayi baju biru„
d)
ƒHeh, jangan
nuduh orang sembarangan dik. Dia itu
jujur jangan berburuk sangka!!!
Bisa saja kan dia gak terima tiga mobil, tapi empat„
Praanggapan:
(a) X dituduh menerima mobil dari
seseorang
(b) X berbohong
(c) Kiayi terlibat dalam pembicaraan
(d) X menerima empat mobil.
Analisi:
Praanggapan (a) adalah praanggapan non
faktif karena kata dituduh belum bisa dipastikan kebenarannya. Demikian
juga dengan pranggapan (b) dan (d) belum bisa dipastikan kebenerannya si X
berbohong atau tidak. Selanjutnya si X menerima empat mobil atau tiga mobil karena dalam percakapan tersebut tidak dinyatakan keberadaan suatu
bukti. Praanggapan (c)
merupakan praanggapan ekstensial karena pak Haji terlibat dalam pembicaraan mengenai mobil si X bukan terlibat atas pemerolehan
mobil si X. Oleh karena itu keberadaan pak haji diakui terlibat dalam pembicaraan
tersebut.
Sukribo,
Yoga, X, dan
pak Haji sebagai partisipan,
berbicara tentang mobil yang diterima oleh X. Dimana belum dapat
dipastikan X menerima tiga mobil atau empat karena pada pembicaraan tersebut
tidak disinggung mengenai bukti. Kemudian yang menjadi pengetahuan bersama
adalah bahwa Sukribo dan Yoga sedang marah, X sedang membela diri dan pak Haji
mencoba menenangkan situasi. Selanjutnya kita tahu biasanya Kiayi ahli dalam
menenangkan situasi yang sedang memanas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar